Ilustrasi: Petugas melakukan tes HIV pada darah seorang warga saat pemeriksaan HIV secara gratis di halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2019). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Saat mengetahui tubuhnya terjangkit HIV pada 2008, AJ sempat kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Bahkan, opsi "mengakhiri hidup" sempat terpikir untuk menuntaskan keputusasaannya.
"Di situ gua drop, karena nganggep HIV virus mematikan. Satu hari gua tunggu, gak mati. Dua hari, gua tunggu ga mati," kata dia.
Dari titik penantian kematian itu, justru semangat perlahan timbul dalam benak AJ. Setelah bergumulan batin yang begitu hebat, AJ sampai pada satu titik bahwa HIV merupakan penyakit yang harus 'dikelola'.
"Kalau kita me-manage diri sendiri, pasti kita bisa hidup sehat lagi dan langgeng," kata dia.
Rasa terkucil karena stigma buruk di tengah masyarakat dan rasa keterasingan berangsur sirna, terutama setelah dia mendapat dukungan moril dari sesama pengidap HIV.
"Gua bergaul dengan teman-teman komunitas, gua tetap berobat gua tetap semangat. Sekarang ini gua punya istri gua punya anak gua punya kerjaan, alhamdulillah," kata dia.
Dia pun mematahkan anggapan banyak orang yang menyebut, pengidap HIV tidak bisa kerja, tidak bisa nikah, bahkan tidak bisa punya anak. "(Gak) terbukti," kata dia.
Sebagaimana diketahui, semenjak obat ARV atau antiretroviral untuk para pengidap HIV/AIDS beredar di Indonesia, banyak orang yang mengonsumsinya demi mengurangi risiko penularan.
Dalam penelitian yang dibiayai National Institutes of Health (NIH), ARV bisa menekan penularan HIV kepada pasangan yang sehat hingga 96 persen.
"Di masyarakat umum, (pengidap) HIV masih menjadi label kotor. Temen-temen HIV sekarang stigma masih seperti itu. Adanya teman-teman pendamping sebaya untuk mengangkat moril teman-teman agar dia ga terpuruk. Mereka akan didampingi untuk ARV," kata dia.