Pengelola televisi di daerah bak berada di jalan bercabang yang sulit. Di satu sisi, pengelola harus mengikuti aturan pemerintah dan menerapkan teknologi terbaru dalam TV digital. Di sisi lain, pengelola televisi juga harus sabar menanti para pemirsanya untuk migrasi.
Pemindahan televisi analog ke digital memang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Salah satu televisi lokal di Jawa Timur, JTV, akhirnya membuat dua model penyiaran ganda, yakni analog dan digital.
Dengan demikian, masyarakat belum bisa menonton secara digital mereka bisa nonton JTV secara analog. "Jumlah pemirsa kita tidak berubah, yang pakai analog bisa melihat, yang pakai digital juga bisa lihat," kata Pimpinan Redaksi JTV, Abdul Rokhim.
Model penyiaran ganda yang dilakukan JTV ini dilakukan karena mereka tak mau kehilangan penonton. Hingga saat ini, menurut Abdul Rokhim, belum seratus persen saluran televisi di Indonesia beralih ke digital.
"Kita layani semua (analog dan digital), kita gak mau karena alasan saluran televisinya hilang akhirnya nonton yang lain," kata dia.
Sebenarnya, dari sisi teknologi, JTV sudah mempersiapkan tranisisi ini sejak dua tahun silam. Namun, menurutnya regulasi yang dikeluarkan pemerintah masih pasti, seperti misalnya seharunya diterapkan serentak 1 November 2022 ternyata hanya wilayah Jabodetabek saja.
"Aturannya tidak kunjung pasti, jadi kami menyusun bisnis plan atau menganggarkan sebuah program itu dalam ketidakpastian dan semua tau kalau ketidakpastian tidak bagus secara kinerja," kata Rokhim.
Untuk mempercepat pemindahan TV analog ke digital, pihaknya berharap perbantuan STB ke masyarakat bisa segera terealisasi. "Kalau gak ada bantuan dari pemerintah ya terasa sekali pengurangan (pemirsanya)," kata dia.
Pilihan serupa pun diambil sejumlah pengelola televisi lokal di Kediri. Meski mengikuti aturan pemerintah untuk bermigrasi ke digital, mayoritas TV lokal di sana belum mematikan siaran analognya. Dari 6 TV lokal yang ada di Kediri, baru satu yang telah melakukan ASO, sesuai ketentuan pemerintah. TV lokal ini adalah KSTV.
Manager Program KSTV, Yacob Bastian mengatakan pihaknya mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan ASO pada 2 November lalu. Secara bisnis perpindahan siaran TV dari analog ke digital ini dirasa sangat berat. Hal ini dikarenakan kondisi bisnis media baru membaik pasca pandemik yang melanda dalam 2 tahun terakhir. Namun perpindahan ini tetap harus dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas siaran.
"Dari segi pembiayaan sedikit lebih berat karena harus mengeluarkan biaya untuk sewa MUX setiap bulannya berkisar antara Rp 17 juta hingga Rp 20 juta," ujarnya, Minggu (13/11/2022).
Kondisi ini terasa lebih berat lagi karena masyarakat dinilai belum siap dengan perubahan ini. Mereka masih bingung dengan cara menggunakan STB, agar dapat menikmati siaran TV digital tersebut.
Perpindahan analog ke digital ini juga akan berpengaruh ke pendapatan iklan mereka. Hal ini dikarenakan belum banyak masyarakat yang menonton siaran digital. "Selama ini penonton TV kita masih di analog, mungkin butuh waktu bertahap juga," tuturnya.
Sementara itu, Penanggung Jawab Program News Dhoho TV, Budi Sutrisno memilih untuk tidak mematikan siaran analognya. Mereka menggunakan siaran dengan sistem Simulcast. Dalam sistem tersebut mereka menyiarkan TV dengan analog dan digital. Hal ini masih diperbolehkan oleh pemerintah hingga dua bulan kedepan. Strategi tersebut dipilih agar warga yang belum memiliki STB masih dapat menikmati siaran mereka.
"Ini hanya dapat dilakukan bagi stasiun TV lokal yang izin siarannya masih aktif, izin kami masih berlaku hingga bulan Juni tahun depan," jelasnya.
Menurut Budi, perpindahan siaran dari analog ke digital yang dilakukan saat ini sudah tepat. Masyarakat kini banyak yang kembali menonton TV karena kualitas gambar dan suara yang jernih. Dengan migrasi ini, kualitas gambar dan suara TV lokal tak kalah dengan TV skala nasional. Budi juga optimis migrasi ini juga akan diikuti dengan perkembangan bisnis.
"Saat ini warga banyak yang penasaran dengan hasil siaran TV digital, mereka seperti berlomba-lomba untuk menyaksikannya," kata dia.
Hal ini pun menjadi sorotan pakar dan dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahayu. Meski mengakui ada keuntungan dari migrasi ke TV digital, Tahayu menegaskan hal itu tidak akan berjalan bagus jika peemrintah tidak melakukannya dengan hati-hati.
Masyarakat, kata dia, bisa kehilangan haknya untuk dapat mengakses siaran TV jika infrastruktur TV digital belum siap dan pengelola TV analog belum mengadopsi teknologi digital, serta masyarakat belum mampu menyediakan perangkat yang dapat mengakses TV digital.
“Migrasi memberikan beban investasi yang besar bagi penyelenggara TV analog, terutama televisi lokal. Pengelolaan TV lokal merasa terbebani karena sewa mux yang mahal, sementara pendapatan yang terbatas. TV lokal juga tidak sepenuhnya merasa aman karena mereka bergantung pada pengelolaan MUX untuk dapat bersiaran," tuturnya.
Pemerintah perlu memecahkan persoalan ini.