Rumini lantas membeberkan, Pungli yang masif terjadi di SDN Pondok Pucung 02 meliputi banyak hal, di antaranya adalah soal pengadaan buku sekolah, iuran praktik laboratorium komputer, uang kegiatan sekolah pertahun, biaya daftar ulang, dan iuran pemasangan instalasi infokus.
Untuk buku-buku sekolah, tiap siswa harus membeli sendiri secara kolektif di luar sekolah. Buku itu disediakan per-tema, di mana setiap tahunnya terdiri dari 1 hingga 9 tema. Per-tema kisaran harganya bisa mencapai Rp65 ribu. Padahal, dalam Laporan kegiatan BOSDa SDN Pondok Pucung 02 dicantumkan adanya pembelian buku siswa.
"Kan saya cek di data BOSDa, di situ dianggarkan. Ada volume-nya, harga satuan, dan ada juga jumlahnya. Tapi data itu sepertinya tidak sesuai dengan kenyataannya," imbuhnya.
Sedangkan untuk iuran praktik laboratorium komputer, tiap siswa diharuskan membayar antara Rp15 ribu hingga Rp25 ribu per bulan. Padahal semua itu telah ditunjang oleh dana BOS. Meskipun kenyataannya, para siswa sangat jarang mendapat pembelajaran praktik komputer.
Begitu pun sama halnya dengan iuran kegiatan sekolah per tahun, tiap siswa dipatok Rp130 ribu. Lalu ada pula iuran daftar ulang siswa tiap tahun, iuran pengadaan instalasi projektor infokus yang dibebankan sebesar Rp2 juta per kelas. Padahal semua itu telah tercantum dan ditanggung sepenuhnya oleh dana BOS ataupun BOSDa.
"Sekitar bulan Oktober 2018, saya sempat mengecek data BOS dan BOSDa dari komputer sekolah. Tujuannya untuk menganalisis anggaran yang didapat sekolah. Jadi dana BOS dan dana BOSDa itu tumpang tindih, padahal kan tidak boleh, dalam aturannya tidak boleh. Jadi misalnya pembelian buku dimasukin ke BOS, lalu di BOSDa juga dimasukkin, harusnya tidak boleh, harusnya salah satunya saja," ungkapnya.