ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Konstitusi kita mengatur kebebasan pendapat ketika RKUHP justru membatasi pendapat publik, maka itu melanggar spirit kebangsaan kita.
Soal pasal, kalau engga salah pasal 240, yang rencana di RKUHP yang soal hina pemerintah itu di hukum dan lain-lain. Tapi kita harus tahu bahwa tingkat intelektulitas masyarakat sangat variatif. Enggak semua mengkritik itu bisa sopan.
Kadang ada masyarakat karena pengetahuannya rendah menyebut atau mengkritik dengan kata "DPRD bodoh yang kayak gitu aja nggak beres" Nah kan kita sebenarnya diuntungkan dengan pakai yang ada di RKUHP masuk (penjara) itu. Padahal sebenarnya masyarakat misal cuma ingin menyampaikan "DPRD Lebak atau ketua DPRD Lebak bodoh misalkan Kenapa di ketua DPRD Lebak sampai hari ini belum menghasilkan produk Pemda padahal dibutuhkan oleh masyarakat." Bodoh banget kan gitu sebenarnya.
Dia ingin menarasikan itu dengan kalimat sederhana tapi tingkat intelektualitasnya kurang, tapi itu tetap bentuk kritikan.
Bahkan kita tahu kritikan masyarakat yang paling ikonik ketika ada yang membawa sapi atau kerbau untuk mengkritik presiden, ya itu bentuk ekspresi kritikan.
Kalau kemudian ketika kritikan harus secara sopan secara ilmiah kenyataannya nggak selalu bisa karena masyarakat variatif tingkat intelektualitas dan tingkat cara menyampaikan komunikasinya.
Logika sederhana saja, saat ini diberlakukan maka ada konsekuensi ada potensi bahwa masyarakat akan dibatasi suaranya karena akan semakin sedikit ya cara menyampaikan kritik takut menghina dan lain-lain gitu kan.
Dan sebenarnya yang menggunakan pasal ini untuk menghukum rakyatnya sejatinya adalah yang menerima mandat kekuasaan dari rakyat itu sendiri, mandat kekuasaan itu kan sebenarnya di masyarakat.
Logikanya nggak masuk masa kita ketika pejabat dievaluasi oleh masyarakat yang sebagai bos yang memberikan mandat kekuasaan kita malah memenjarakan bos kita.
Padahal itu karena masyarakat sedang mengevaluasi kinerja kita, itu kan enggak masuk. Karena seperti itu kemudian itu yang membuat saya mau menyampaikan surat ke bapak presiden ke DPR RI termasuk ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mempertimbangkan ulang pasal-pasal yang nantinya berpotensi untuk mencelakakan warganya dalam konteks berpendapat atau mengungkapkan kebebasan berpendapat meskipun kemudian ada yang bilang kritik dan hinaan ini berbeda.
Tapi yang jelas, yang saya lakukan juga bagian dari pada upaya kita untuk menjaga dan merawat semangat demokrasi kita karena demokrasi hanya bisa hidup ketika dari mulai tingkat elit hingga masyarakat melegitimasi bahwa Demokrasi adalah cara main kita yang harus kita jaga.
Saya juga pejabat publik yang bakal diuntungkan ketika pasal ini disahkan, tapi saya menolak karena kita berbicara demokrasi kita harus menjaga bahwa kekuasaan yang tunggal dan hakikat itu di masyarakat maka jangan dibatasi masyarakat untuk mengevaluasi kita sebagai pejabat atau penerima mandat kekuasaan.
Demikianlah wawancara dengan Agil Zulfikar. Bagaimana, apakah kamu para milenial tertarik terjun ke dunia politik?