Para pengunjung saat ngafe di Kedai Kopi Wantutu Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)
Yudha memilih untuk berkecimpung di dunia food and beverage (FnB) karena menurutnya, bisnis tersebut memiliki pangsa pasar yang luas dan berkelanjutan. FnB bukan hanya sekadar gaya hidup, tapi juga kebutuhan masyarakat.
Salah satu bisnis FnB yang, menurutnya, bisa berkelanjutan dan memiliki pangsa pasar besar adalah kedai kopi. "Ngopi bukan lagi tren, tapi adalah kebutuhan bagi masyarakat di perkotaan, terutama Surabaya. Jadi kalau ditanya sustainable, saya yakin sustainable," tutur dia.
Yudha sadar betul, bisnis FnB adalah bisnis yang memiliki persaingan ketat dengan banyak segmentasi. Namun, hal itulah yang menjadi tantangan baginya untuk terus melakukan inovasi.
"Bagaimana kami membuat gimik-gimik, seperti kami di Watutu ada photobox, kemudian nanti ada kebetulan ada komunitas KPop bikin birtday party dan sebagainya itu adalah gimik-gimik yang bisa mempertahankan jumlah konsumen yang hadir dan juga perputaran usaha yang berjalan," ujar Yudha.
Pangsa pasar Wantutu mayoritas memang anak muda. Meski begitu, mereka tak meninggalkan market lain. Itu terlihat, di kafe tersebut tak cuma ada anak muda tapi juga bapak-bapak hingga ibu-ibu.
"Tempo hari kita kedatangan komunitas Cinta Berkain, yang mana itu isinya ibu-ibu penggemar tradisi kain nusantara, batik tenun dan sebagainya. Mereka juga beberapa kali mengadakan acara di tempat kita. Jadi Wantutu tidak terbatas pada usia tertentu saja, semua usia masuk," tuturnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Central for Urban And Regional Studies (CURS), Erwin Oktaviano menilai, menjamurnya kedai kopi dan kafe yang masih berlangsung hingga saat ini memang selaras dengan kebutuhan ruang publik, khususnya pasca-pandemik.
Setelah berdiam lama di rumah, masyarakat membutuhkan ruang publik dan jika hal itu tidak terakomodasi dengan baik, maka akan memunculkan pihak lain, termasuk swasta, untuk menyediakan ruang nyaman masyarakat untuk berkumpul.
“Restoran itu kan identik dengan makanan saja. Minuman pun hanya pelengkap. Kemudian tren pun berubah karena anak muda saat ini tak hanya ingin datang ke tempat yang gak cuma menyediakan makanan, tapi juga ruang yang nyaman untuk berbincang, berdiskusi, atau bertukar pikiran dan ditemani secangkir kopi. Maka, kafe adalah tempatnya,” katanya.
Fenomena ini yang kemudian ditangkap pengusaha kafe untuk menyajikan sesuatu yang berbeda. "Karena coffee shop tergantung dengan ciri khasnya masing-masing. Bisa dari menunya atau konsep kafenya,” ujarnya.
Pangsa pasar kafe juga tergantung pada konsep kafe itu sendiri. Berbicara soal kopi juga berarti bicara soal rasa. Ada rasa tertentu yang bisa diminati anak muda ada rasa tertentu yang bisa dinikmati oleh usia tua.
“Bisa saja pangsa pasarnya ke banyak usia. Walau saya yakin usia 40 ke atas jarang ada yang ke kafe, tapi bisa juga, misalnya, pakai kafe konsep keluarga, yang datang bisa satu keluarga. Desain juga penting di mana sekarang yang instagramable lebih dicari. Terakhir harga, karena itu memang harus dipertimbangkan dari daya beli masyarakatnya,” terangnya.
Hal senada dikatakan dosen Kewirausahaan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang (Unpam), Feb Amni. Kebutuhan masyarakat untuk bersosialisasi usai pandemik yang masih sangat tinggi menjadi salah satu faktor mengapa bisnis kedai kopi dan kafe masih menjanjikan dan berkelanjutan hingga saat ini.
Dia menjelaskan, setiap bisnis yang dimulai dengan adanya kebutuhan dari masyarakat, seharusnya tetap bisa cuan. "Asal, (usaha itu) dikelola dengan baik, fokus dan terus berinovasi," kata dia.
Meski demikian, Feb Amni menekankan bahwa usaha semacam kedai kopi dan kafe ini lambat laun akan kehilangan pasarnya jika bisnis hanya dijalankan karena mengikuti tren dan tanpa konsep yang jelas.
"Pemilik coffee shop harus selalu berinovasi dan mempunyai karakter dari usahanya di tengah ketatnya persaingan usaha sejenis yang sangat ketat," kata dia.
Menurutnya, resep jitu agar bisnis ini menjadi usaha ekonomi berkelanjutan, yakni pengusaha coffee shop harus dapat memetakan secara jelas segmen pasarnya.
Misal, lanjutnya, pada strategi pemasaran yang sesuai dengan segmen pasar anak muda akan berbeda dengan stategi yang dapat diterapkan pada segmen pasar eksekutif muda atau pekerja kantoran.
"Selain itu pengusaha coffee shop harus memiliki konsep yang unik untuk gerai atau produknya, yang membuat konsumen loyal terhadap usaha atau produk kita," kata dia.
Menurut Feb Amni, pangsa pasar coffee shop bukan hanya anak muda. Para pegawai kantoran atau segmen keluarga juga dapat menjadi sasaran pasar dari usaha ini.
"Akan tetapi perlu dicatat bahwa untuk segmen yang berbeda tersebut, maka coffee shop harus menyediakan layanan, produk dan suasana yang disesuaikan dengan kebutuhan segmen pasar yang dituju," ungkapnya.
Misalnya, kata dia, jika pemilik usaha ingin target pasar pegawai kantoran atau pengusaha, maka dia perlu menyediakan ruang meeting yang nyaman dengan wifi, meja untuk laptop, stop kontak atau colokan listrik untuk men-charger gawai atau perangkat kerja.
"Dan juga menu-menu makanan prasmanan atau paket. Keunikan bisa dari suasananya, tempat, pelayanannya, jenis kopinya, menu-menunya," ungkap perempuan yang juga menjabat Koodinator SPME lembaga penjaminan mutu Unpam ini.
Sekretaris Asosiasi Kopi Indonesia (ASKI) Provinsi NTB M Huzaini Areka mengungkap, bisnis coffee shop bukan saja ditekuni para pegiat kopi, tapi memang digandrungi anak muda hingga politisi. Dia memberikan contoh, seperti anggota DPR RI Rachmat Hidayat, punya coffee shop Kopling (Kopi Lingkar).
Selain Rahmat, ada juga anggota DPR RI Suryadi Jaya Purnama, punya coffee shop di daerah wisata Sembalun. Begitu juga anggota DPR RI M Syamsul Lutfi, juga punya bisnis coffee shop. Selain itu, mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah juga punya coffee shop Revolusi dan Tuwa Kawa di Kota Mataram.
"Jualan kopi, bukan saja dilakoni pedagang kaki lima, pedagang asongan, tetapi semua kalangan. Bisnis kopi di Mataram berjalan sangat cepat. Hampir di seluruh sudut kota, pasti ada. Artinya bisnis ini tumbuh pesat," terang Areka.
Infografis kedai kopi di Indonesia (IDN Times/M Shakti)