Ilustrasi Koperasi Merah Putih di Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Pengamat ekonomi dari Lampung, Erwin Oktavianto menilai, program digadang sebagai bentuk baru pemberdayaan ekonomi kerakyatan ini disebut belum menunjukan arah konkret dan cenderung mengulang narasi lama, tanpa solusi nyata di tengah dinamika ekonomi modern.
“Koperasi Merah Putih ini seperti cerita lama yang dibungkus ulang. Jadi seperti ada nostalgia terhadap program masa lalu, tapi dengan tantangannya hari ini jauh lebih kompleks,” kata dia pada Jumat (8/8/2025).
Erwin juga mempertanyakan efektivitas koperasi ini bila difokuskan pada model simpan pinjam. Pasalnya, saat ini masyarakat lebih akrab dengan layanan seperti kredit usaha rakyat (KUR), pinjaman online, dan mobile banking lebih menawarkan proses lebih cepat dan fleksibel.
“Apakah koperasi ini bisa menandingi kecepatan fintech? Atau kedinamisan perbankan digital? Ini harus dijawab lewat desain bisnis yang matang, bukan sekadar jargon merakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengkritisi ketidakjelasan segmentasi pasar dari koperasi tersebut. Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan apakah Koperasi Merah Putih akan bersaing dengan e-commerce besar, seperti Shopee, pasar tradisional, atau hanya sebatas toko kelontong rakyat.
“Semua orang sekarang bisa belanja online dengan harga murah. Kalau koperasi hanya ingin jual sayur atau produk lokal tanpa strategi pasar, maka akan kalah bersaing sejak awal,” tambah dia.
Lebih lanjut Erwin menilai, model bisnis bersifat adaptif dan terukur harus menjadi landasan utama sebelum program ini berjalan lebih jauh. Pasalnya, tanpa strategi itu koperasi justru bisa menjadi beban anggaran negara.
“Saya lihat tujuannya mulia, yakni memasarkan produk unggulan lokal agar bernilai ekonomi. Tapi apakah semua itu sudah punya model bisnis yang layak? Jangan sampai koperasi ini hanya jadi tempat menjajakan barang tanpa arah pasar yang jelas,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan Koperasi Merah Putih harus aktif membangun kolaborasi dengan marketplace besar dan influencer lokal, untuk memperluas jangkauan pasar. "Ini penting supaya koperasi tidak terjebak sebagai entitas usaha kecil yang bersaing tidak sehat dengan entitas yang sudah ada sebelumnya," lanjut dia.
Erwin menambahkan, Koperasi Desa Merah Putih juga harus memiliki kejelasan terhadap produk-produk dijajakan ke tengah-tengah masyarakat luas, semisal, penjualan makanan atau jenis produk teknologi.
“Perlu diingat, sampai sekarang belum ada produk teknologi kita yang benar-benar mewakili standar lokal. Kalau koperasi mau ke sana, ini butuh kesiapan dan roadmap yang jelas,” ucapnya.
Bukan tanpa alasan, pembentukan entitas baru seperti Koperasi Merah Putih di tengah kondisi efisiensi anggaran saat ini, sehingga urgensinya patut dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah.
“Kalau hanya menjadi entitas baru dengan nama baru, tapi model dan strukturnya sama seperti koperasi sebelumnya, ini berpotensi tumpang tindih bahkan bersaing tidak sehat dengan Koperasi Unit Desa (KUD) yang sudah lebih dulu ada,” sambung dia.
Sementara itu, pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Amirullah Setya Hardi mengakui, kebijakan Koperasi Merah Putih merupakan langkah yang tepat dalam memperkuat perekonomian desa. Ia menyebutkan bahwa penguatan ekonomi lokal penting karena desa menyimpan potensi besar yang selama ini belum digarap secara maksimal.
Dia juga mencatat bahwa jumlah anggota koperasi di Indonesia telah mencapai 8 juta orang. Menurutnya, angka ini cukup besar untuk memperluas gerakan koperasi di tingkat akar rumput.
“Menggerakkan potensi ekonomi desa menjadi salah satu hal paling penting," kata dia.
Amirullah menjelaskan bahwa tantangan utama koperasi bukan sekadar kuantitas, melainkan kemampuannya dalam menerapkan prinsip koperasi secara universal. Ia menyebut bahwa koperasi berbeda dari badan usaha lain karena mengutamakan kesejahteraan anggotanya. Untuk itu, prinsip kemandirian, keberlanjutan usaha, dan partisipasi aktif anggota perlu diterapkan agar koperasi tidak sekadar formalitas.
Amirullah juga menyoroti pentingnya terobosan layanan agar koperasi bisa bersaing dengan sumber pembiayaan informal, seperti pinjaman online atau rentenir. Menurutnya, koperasi perlu hadir sebagai opsi yang aman, mudah diakses, serta memberdayakan masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa layanan koperasi sebaiknya mencakup penyediaan bahan pokok, pupuk, serta kebutuhan dasar lainnya bagi warga desa.
“Koperasi harus mampu hadir sebagai alternatif yang aman, cepat, dan benar-benar memberdayakan masyarakat desa. Layanan keuangan, penyediaan bahan pokok, pupuk, dan kebutuhan dasar lainnya harus terjamin,” ujarnya.
Amirullah berharap keberadaan Koperasi Merah Putih bukan sekadar proyek jangka pendek.
Sementara pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menilai, program ini terlalu ambisius dan potensi beberapa koperasi tidak maju atau gagal sangat besar.
Koperasi sebagai sebuah organisasi ekonomi memang bertujuan untuk bisa memperbaiki kualitas perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat. Namun, faktanya ada koperasi yang maju dan lebih banyak koperasi yang sebaliknya.
"Ini kan masalahnya sekarang Koperasi Merah Putih ini seolah-olah bahwa ada target tertentu jumlah yang dituju bahwa setiap desa harus kemudian setiap kelurahan harus ada. Padahal kan kalau kita lihat kemampuan antar daerah, kemampuan antar desa, antar kelurahan itu kan berbeda-beda," kata Acu, Jumat (8/8/2025).
Program ini, menurut dia, sudah bagus, namun dengan metode yang massal dan sporadis itu membuat kemudian adanya potensi koperasi ini tidak semuanya berjalan dengan maju.
"Apalagi lebih dari 80 persen itu adalah koperasi baru ya kan sekarang ini koperasi yang ada aja banyak kemudian gulung tikar. Sementara ini koperasi yang baru. Terlepas ada pendanaan, kemudian ada dukungan kebijakan dan sebagainya," tuturnya.
Pemerintah seharusnya belajar dari KUD yang faktanya tidak terlalu bagus dan dampak kesejahteraan terhadap masyarakat masih minim.
"Saya sih melihat tantangan terbesar koperasi ini harus sukses ya akselerasi terkait dengan model bisnisnya. Kemudian juga sumber daya manusia dan tata kelola itu yang paling penting," ucapnya.
Jika dibandingkan dengan beberapa koperasi di negara lain, Acu menjelaskan, mereka besar tidak harus dihadirkan di setiap desa dan kelurahan, melainkan gagasan dan konsep misi yang besar dapat membawa kesejahteraan anggotanya. Seperti Danone di Eropa.
Oleh karena itu, menurut Acu, bukan dia menampikkan ada potensi daripada keberhasilan program ini, namun ia melihat ketika sesuatu itu targetnya hanya kuantitas bukan kualitas potensi beberapa koperasi yang gagal sangat besar.
"Apalagi model bisnis ini baru dicoba ya, terlalu besar resikonya dengan pembiayaan sampai ratusan triliun," jelasnya.