Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan Anak

 Eva ingin buka wawasan masyarakat soal kekerasan perempuan

Tangerang, IDN Times – Eva Nurcahyani tidak menyangka keikutsertaannya di forum anak tingkat Provinsi Banten pada 2015 lalu, mampu memberikan berbagai pengalaman hebat tentang berbagai kasus kekerasan hingga pelecehan yang menimpa anak dan perempuan.

Dari forum tersebut, perempuan yang akan menginjak usia 23 tahun pada 13 Desember nanti, memutuskan untuk menggeluti dan memperkokoh keyakinannya memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Kekerasan dan pelecehan seksual menjadi fokus utama perjuangannya, sebab di Provinsi Banten dan Tangerang Raya, dua kasus tersebut kerap terjadi. Pada 2016, Eva mendalami ilmu kesehatan di bidang Kebidanan STIKes Widya Darma Husada Tangerang Selatan. Di sana ia semakin berkeyakinan untuk meneruskan perjuangannya, membantu para korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Meski terbilang usianya lebih muda dari aktivis anti kekerasan perempuan dan anak lainnya di Provinsi Banten, Eva membulatkan tekad dengan kembali menekuni ilmu hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Menteng, Jakarta. Di sana, Eva bertemu dengan rekan-rekan seperjuangannya yang ingin membantu para korban. Berikut kisah perjuangan perempuan yang memiliki hobi traveling ini.

Baca Juga: Mengenal Asmania, Perempuan yang Memperjuangkan Hak Nelayan di Pari

1. Pernah jadi korban, Eva ingin buka wawasan masyarakat soal kekerasan perempuan dan anak

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIDN Times/Candra Irawan

Eva mengatakan, ia masih melihat masyarakat Indonesia masih menganggap pembahasan mengenai kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan perempuan sebagai hal yang tabu. Hal ini, kata Eva, merupakan masalah serius yang perlu dibenahi.

Tentunya dengan tujuan agar masyarakat lebih memahami dan lebih mengerti langkah apa yang perlu diambil, ketika mereka mengalami kekerasan dan pelecehan.

“Karena saya juga pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), oleh karena itu saya meyakini diri sendiri dan faktor lingkungan. Bahkan kekerasan yang terjadi saat ini bukan hanya berupa fisik, tetapi juga memarjinalisasi perempuan, dan menganggap perempuan itu nomor dua, itu yang sudah saya alami seperti itu," ujar Eva kepada IDN Times, saat ditemui di halaman Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (30/11).

"Jadi ingin meyakinkan masyarakat bahwa isu-isu perempuan saat ini tuh bukan hanya isu perempuan, tetapi isu kemanusiaan dan siapa pun perlu tahu,” dia melanjutkan. 

2. Eva mengawali perjuangan dari praktik kebidanan

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIDN Times/istimewa

Eva menjelaskan, selama mengenyam pendidikan Diploma 3 (D3) Kebidanan, ia kerap memanfaatkan praktik di masyarakat untuk memberikan penyuluhan ke para perempuan dan anak-anak terhadap bahaya kekerasan dan pelecehan seksual.

Saat ini Eva mengabdikan diri di salah satu klinik di Kabupaten Tangerang, membantu proses kelahiran para ibu.

“Bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya ingin menularkan isu-isu perempuan dan anak dengan tujuan membuka mata mereka untuk lebih peduli. Kok masih miris kalau perempuan saat ini masih dianggap second sex, dan itu termasuk dari kekerasan. Harus kita pahami kekerasan itu tidak hanya fisik, tetapi marjinalisasi dan labeling terhadap perempuan itu juga termasuk,” ujarnya.

3. Dirikan Komunitas Lingkar Studi Feminis, hingga direkrut jadi relawan Komnas Perempuan

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIDN Times/Dini suciatiningrum

Menurut Eva, kajian dan dikusi yang matang bagi rekan sejawat dan para aktivis perempuan di HMI perlu dilakukan, dengan membentuk Lingkar Studi Feminis. Dari sinilah jalannya menjadi aktivis anti kekerasan perempuan dan anak dimulai.

Eva mulai mengikuti relawan yang dibentuk khusus dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sampai direkrut Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta.

“Isu perempuan itu meliputi semuanya, dari kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Kita coba tanamkan pendidikan tentang perempuan dan kesehatan tentang perempuan kami kritisi untuk Pemerintah Daerah (Pemda) Tangerang Selatan waktu 2018 lalu, dan di Kabupaten Tangerang itu saya coba usulkan untuk sisi keamanan perempuan. Karena di sana itu masih belum banyak penerangan,” katanya.

4. Kasus kekerasan dan pelecehan di Tangerang Raya masih didominasi KDRT

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIlustrasi pemerkosaan (IDN Times/Sukma Shakti)

Eva melanjutkan, sampai saat ini ia masih menemukan kasus KDRT terhadap perempuan yang terjadi di Tangerang Raya. Tapi tidak hanya KDRT, beragam kasus kekerasan juga kerap terjadi di generasi muda. Salah satunya adalah kasus kekerasan dalam suatu hubungan, yang terjadi di kalangan mahasiswa dan pelajar.

“Dalam berbagai penanganan kepada korban, saya juga menemukan bahwa aparat penegak hukum pun masih perspektif gender. Jadi malah yang lebih banyak mereka menyalahkan korban (perempuan). Lalu juga ada kendala regulasi yang hari ini belum pro korban, seperti kasus pemerkosaan terhadap perempuan dan para pelaku memasukan gagang cangkul ke dalam vagina korban. Itu dimasukkan ke dalam pasal pembunuhan, padahal di situ juga ada pasal pemerkosaan,” ungkapnya.

5. Masih banyak kekeliruan dalam penanganan korban kekerasan

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIDN Times/Candra Irawan

Eva mengaku, selama ini dalam proses pendampingan hukum untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban, masih ada kekeliruan di dalam penanganannya. Terutama dari sisi psikologis korban, kerap kali aparat menilai berdasarkan kondisi fisik dan bukan kondisi psikologis korban.

“Hal yang utama ketika anak dan perempuan menjadi korban adalah psikisnya, dan kerap juga para korban ini disepelekan,” katanya.

6. Penanganan kasus kekerasan berbasis gender masih lemah

Pernah jadi Korban, Eva Kini Aktivis Anti Kekerasan Perempuan dan AnakIDN Times/Candra Irawan

Eva mengaku, berbagai rintangan dalam perjuangannya itu dihadapi, seperti kasus kekerasan berbasis gender. Eva mencontohkan, salah satu kasus kekerasan berbasis gender yang masih lemah ditangani aparat penegak hukum adalah kasus hubungan antar mahasiswa.

“Ada salah salah satu mahasiswa perguruan tinggi yang tidak terima diputusin dan foto-foto (vulgar) kekasihnya disebar, dan ketika dilaporkan ke aparat itu mereka menganggap biasa. Malah korbannya yang dibenturkan Undang-Undang ITE,” ujarnya.

Eva optimistis perjuangannya itu akan membuahkan hasil suatu hari nanti untuk perempuan dan anak di Indonesia. Kendati demikian, Eva tidak memungkiri bilamana dirinya sering diintervensi oleh pihak-pihak yang merasa terganggu saat Eva melakukan pendampingan hukum kepada korban.

“Paling seperti SMS dan Whatsapp yang mengatakan “elu ngapain sih”, dan ada beberapa yang mencoba menyuap dan itu terjadi saat saya di LBH,” ucap Eva.

Baca Juga: Bagi Perempuan, Ini Cara Laporkan Kekerasan Online di Medsos

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya