Bagi bocah kampung di sebuah Kecamatan bernama Ciseeng di Kabupaten Bogor, seperti saya, momen Idul Fitri selalu menjadi momen paling dinanti saat masih kecil. Ada banyak hal yang membuat lebaran begitu istimewa di desa—mulai dari malam takbiran yang gegap gempita, baju baru yang beraroma khas, makanan melimpah, hingga THR yang mengalir deras dari para saudara yang lebih tua.
Namun, kini semua itu perlahan berubah. Desa tempat saya tumbuh kini mulai disesaki bangunan-bangunan baru, sawah dan irigasi yang dulu dipenuhi air kini tinggal kenangan, dan yang paling menyedihkan, entah kenapa saya merasa asing di era teknologi yang membuat orang-orang tak lagi berinteraksi dengan hangat, kini seakan justru berjarak.
Berkumpul dengan teman kecil kini sambil melihat Tiktok atau reels Instagram juga media sosial lain yang terus menawarkan hiburan, juga dengan cerita yang lagi ceria, musabab taraf hidup yang tak kunjung naik.
Ada baiknya kita kembali seperti dulu. merayakan hadirnya matahari, hempasan angin, dan debu beterbangan. Karena di bawah langit adalah hiburan nyata yang patut dinikmati. Tak ada godaan eksistensi dan kemasyuran di sana. Karena yang terbaik adalah saling tatap dan bertukar udara. Ada hal yang tak ditemukan dari sebuah layar hape. Deru nafas. Aroma tubuh. Kerling mata yang menghujam ulu hati. Sentuhan jemari pada kulit.