Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Buruh Tangerang. (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Kota Tangerang, IDN Times - Sebelum pandemik COVID-19 melanda, Ngatino Anjar menjalani hidupnya yang damai dengan anak dan istrinya meski dengan penghasilan standar Upah Minimum Kota (UMK) Kota Tangerang.

Kedamaian itu runtuh ketika kasus COVID-19 masuk Indonesia, Maret 2020. Produksi perusahaan tempatnya bekerja mulai goyah dan harus menurunkan 80 persen pembayaran upah para pekerjanya. Ngatino getir, karena saban hari mesti ia lalui karena terus-menerus ribut dengan istrinya.

"(Hidup saya hancur) bukan ancur lagi, ini mah udah ribut mulu sama istri, karena mau buat ini (itu) kaga bisa, mau bikin itu kaga bisa, ribut lagi, jadi numpuk masalahnya," kata Ngatino kepada IDN Times.

1. Sudah bekerja puluhan tahun, perusahaan Ngatino terdampak pandemik

Warga antre untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 saat Vaksinasi Massal COVID-19 dalam rangka HUT ke-75 Bhayangkara di Kota Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 26 JWarga antre untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 saat Vaksinasi Massal COVID-19 dalam rangka HUT ke-75 Bhayangkara di Kota Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 26 Juni 2021 (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Pria 48 tahun itu adalah satu dari 100 pekerja PT SIA sebuah perusahaan jasa tekstil di Kota Tangerang yang menjadi korban dampak ekonomi dari pandemik.

Ngatino sudah bekerja di perusahaan tersebut selama 21 tahun. Kata dia, masa kerjanya paling muda dibanding puluhan rekan senasibnya yang lain. "Statusnya karyawan tetap. Saya kerja 21 tahun, termasuk paling muda.Kalau yang lain ada 30 tahun ada 31 tahun," ungkapnya.

Setelah April, mereka dipaksa mengurangi hari kerja oleh perusahaan, setelahnya setiap gajian mereka hanya menerima Rp500 ribu. Paling banter mencapai Rp800 ribu.

"Dari April 2020 sampai saat ini tiap bulannya kerja hanya empat sampai delapan hari per bulan," kata dia.

2. Sebagian buruh mundur karena bekerja dengan skema tertentu

Editorial Team

Tonton lebih seru di