Penerapan Ganjil Genap di Tangerang Raya Dinilai Tak Efektif
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Serang, IDN Times - Pengamat kebijakan publik dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menilai perluasan penerapan ganjil genap hingga wilayah Tangerang Raya tidak efektif untuk menekan polusi udara.
Pasalnya, hingga saat ini penerapan ganjil genap pun masih belum bisa menekan angka mobilitas kendaraan di DKI Jakarta.
"Jakarta aja gak efektif, berarti daerah lain juga gak efektif karena orang bisa membuat plat nomor 2 minimal," kata Djoko, Kamis (31/8/2023).
Baca Juga: Pemerintah Bakal Terapkan Ganjil Genap di Wilayah Tangerang Raya
1. Ganjil genap malah bakal menambah jumlah kendaraan
Selain membuat pelat nomor cadangan, penerapan ganjil genap di daerah penyangga DKI Jakarta itu justru berpotensi menambah jumlah kendaraan. Masyarakat yang memiliki uang lebih memilih membeli kendaraan lagi.
"Nah kira-kira polisi bisa gak mendeteksi pelat nomor palsu dan tidak palsu. Nampak di Jakarta gak berhasil itu. Berulang kali saya naik mobil pakai plat palsu lolos-lolos aja," katanya.
2. Harusnya kebijakan pembenahan transportasi publik yang diambil
Seharusnya, upaya pembenahan transportasi publik yang harus dilakukan di daerah penyangga Ibu Kota untuk menekan kepadatan lalu lintas dan polusi udara. Ia menilai Kondisi transportasi umum di Tangerang dan daerah penyangga lainnya belum sebaik Kota Jakarta.
"Ada ketimpangan, sehingga diperlukan percepatan program untuk membenahi transpportasi umum di wilayah penyangga Ibu Kota Jakarta," katanya.
Kemacetan berkelanjutan yang masih mendera Kota Jakarta tidak terlepas dari peran warga daerah sekitar yang beraktivitas di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi.
"Meskipun sudah ada KRL Commuter Line dan tidak lama lagi rencana Juli 2023 akan beroperasi LRT Jabodebek, belum mampu mereduksi kemacetan," katanya.
Berdasarkan, evaluasi kinerja angkutan umum di Wilayah Jabodetabek (2021), menyatakan mode share perjalanan masyarakat Jabodetabek masih didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi, yaitu sepeda motor 51 persen, mobil pribadi 19 persen, dan sepeda 1 persen. Sedangkan penggunaan moda transportasi angkutan umum sebesar 25 persen.
"Artinya harus menyediakan publik transport yang murah dan mudah," katanya.
3. Buruknya sarana transportasi umum, memaksa orang beli kendaraan
Masalah kondisi sarana transportasi umum yang buruk mengakibatkan masyarakat terpaksa harus membeli rumah dan berpikir membeli kendaraan pribadi agara mobilitas warga menjadi lancar.
"Beban hidup makin bertambah, lantaran penghasilan setiap bulan yang didapat tidak hanya untuk mengangsur cicilan rumah, namun juga untuk kendaraan pribadi," katanya.
Baca Juga: Bupati Tangerang Siap Terapkan Ganjil Genap Atasi Polusi Jabodetabek