Dihimpun dari berbagai sumber, keberadaan Rumah Lengkong tak bisa dipisahkan dari nama besar Mayor Daan Mogot-- yang kini namanya diabadikan menjadi nama jalan penghubung Tangerang dan Ibu kota Jakarta.
Bernama lengkap Elias Daniel Mogot, dia adalah anggota Tentara Keamanan Rakyat atau TKR.
Kisah heroik itu bermula ketika Mayor Daan Mogot, 2 perwira berpangkat mayor, dan 70 taruna yang tergabung dalam Resimen IV ditugaskan untuk melucuti senjata tentara Jepang di Lengkong Tangerang pada pada 25 Januari 1946.
Ketika itu Jepang telah resmi dinyatakan kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II. Misi pasukan Mayor Daan Mogot adalah untuk mencegah senjata Jepang jatuh ke tangan Belanda yang berkedudukan di Bogor.
Pelucutan senjata ini bukan tanpa sebab. Resimen IV--yang dulu sebagai penjaga keamanan setelah kemerdekaan di Tangerang--menilai harus melucuti senjata Jepang di Lengkong karena pasukan sekutu Belanda dan Inggris saat itu sudah menduduki Parung Bogor.
“Tersiarnya kabar bahwa Belanda yang berkedudukan di Bogor akan menduduki Parung, kemudian Lengkong, mengancam kedudukan TKR di Tangerang,” demikian tertulis di papan Monumen Palagan Lengkong.
Sesampainya di markas Jepang, yang kini bernama Rumah Lengkong, Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna yang fasih berbahasa Jepang bernama Sajoeti bertemu dengan Kapten Abe, pimpinan tentara Jepang di Lengkong.
Puluhan taruna lainnya menunggu di luar di bawah pengawasan Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo, yang bersiap melucuti senjata Jepang. Namun, semua berubah, ketika terdengar suara letusan tembakan dan pecahlah aksi saling tembak karena tentara Jepang menganggap pelucutan itu adalah penyergapan.
“Tentara yang panik dan mengira diserang serentak, menembak pasukan TRI Resimen 4. Para taruna yang tidak menyangka terjadi peristiwa itu berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Pertempuran tersebut berakhir dengan menelan korban 34 taruna, dan 3 perwira, termasuk Mayor Daan Mogot,” demikian keterangan dalam sebuah papan Monumen Palagan Lengkong.