Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Yadi, Perawat Naskah Kuno Sejarah Kesultanan Banten

Dok. Yadi Ahyadi
Dok. Yadi Ahyadi

Serang, IDN Times - Tak bisa dipungkiri, Banten pernah berjaya dan terkenal sebagai salah satu kota perdagangan rempah-rempah di kawasan Asia Tenggara, pada abad 16-19. Banten juga dikenal sebagai salah satu daerah pusat pengetahuan Islam di nusantara.

Jejak sejarah Kesultanan Banten itu bisa dilacak melalui catatan manuskrip atau kitab kuno. Sayangnya, karya yang tak ternilai itu banyak yang lenyap dimakan waktu.

Hilangnya naskah-naskah kuno itulah yang memicu Yadi Ahyadi untuk menyelamatkan yang tersisa. Dengan modal seadanya, ia melakukan misi penyelamatan warisan budaya itu dari kepunahan.

Sejak 1999 dia pun mulai menyisir ke kampung-kampung. "Karena tidak dirawatnya oleh masyarakat, sehingga saya gimana caranya berusaha untuk mampu minimal memahami isi informasi dari kitab kuno yang tidak disentuh para pengkaji modern itu," kata Yadi saat dikonfirmasi, Jumat (27/8/2021).

1. Awal mula ketertarikan merawat manuskrip kuno

Dok. Yadi Ahyadi
Dok. Yadi Ahyadi

Ketertarikannya untuk merawat kitab kuno itu bermula saat Yadi masih menjadi mahasiswa di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Serang. Kala itu, dia menemukan manuskrip sejarah Banten di Kawasan Banten Lama.

Saat dia ingin membukanya, kitab itu justru hancur ketika dipegang. Kala itu, dia memang belum tahu cara memegang kitab tua dengan benar. Di sisi lain, masyarakat pun tidak tahu cara merawat kitab tua. 

Selama ini, kitab kuno itu hanya dikasih minyak wangi-wangian setiap malam Jumat dan dibakari kemenyan. "Karena puluhan tahun gak pernah dibuka, ketika dibuka hancur lebur jadi tanah yang tersisa hanya cover atas," kata dia.

Dari situ, Yadi mulai merasa ini harus ada yang merawat kitab atau manuskrip tua. Selain itu, Yadi juga merasa perlu melacak manuskrip yang lain, yang ada di masyarakat. "Itu hancur lebur sehingga tidak bisa dimanfaatkan informasinya," katanya.

2. Sudah 12 manuskrip kuno yang dititip ke Yadi

Dok. Yadi Ahyadi
Dok. Yadi Ahyadi

Usaha Yadi untuk merawat warisan leluhur itu tak sia-sia. Selama 20 tahun misi pelacakan, setidaknya sudah 12 manuskrip kuno yang telah dititipkan masyarakat kepada dirinya. Sisanya, masih disimpan beberapa warga.

"Yang di masyarakat gak boleh diapa-apain, disimpen di saya juga gak boleh, akhirnya tetap dikontrol saja 3 bulan sekali untuk menjaga keamanan manuskripnya," katanya.

Namun, perjalanan Yadi dalam penyelamatan manuskrip kuno tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada saja tantangan saat dia mendatangi warga yang memiliki kitab atau manuskrip tua itu.

Ada orang yang menolak dan tidak percaya kepadanya. "Karena khawatir diambil paksa, mereka khawatir manuskripnya hilang segala macam. Itu butuh perjuangan hampir 4 sampai 5 tahun untuk melobinya," katanya.

3. Sebagian masyarakat menganggap kitab itu jadi jimat

Dok. Yadi Ahyadi
Dok. Yadi Ahyadi

Bahkan, ada sebagian masyarakat menjadikan manuskrip kuno itu sebagai jimat karena ada pesan leluhurnya tidak boleh dibuka oleh orang sembarangan. Ancaman yang diturunkan dari generasi ke generasi: orang yang membuka bakal kena kualat.

"Kalau bagi saya itu sangat diuntungkan kalau dimitoskan karena walaupun tidak dibaca setidaknya masih terawat dengan baik dan gak hilang," katanya.

4. Isi 12 naskah kuno yang dititip kepada dirinya

Dok. Yadi Ahyadi
Dok. Yadi Ahyadi

Dari 12 kitab yang dititipkan kepadanya, ditulis dengan aksra arab pegon dan aksara hancaraka. Menurut Yadi, hampir seluruhnya berisi pengetahuan kaegamaan seperti, fikih, filsafat dan tafsir Alquran yang tidak familiar di masyarakat-- karya-karya ulama Banten.

Hal ini membuktikan, bahwa Banten di masa lampau merupakan salah satu daerah pusat pengetahuan islam. "Dibuktikan dengan karya tulis ulama di Banten justru lebih mendominasi," katanya.

Pasca Kesultanan Banten hancur, para ulama ini hijrah ke berbagai daerah di penjuru nusantara sehingga saat itu Banten ditinggalkan oleh para akdemisinya.

"Itu yang saya lihat dan Banten mampu mengendalikan pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat lebih luas, terutama di UU Kesultanan Banten karena mengadaptasi dari hukum Islam digabung dengan hukum adat supaya tidak bentrok," katanya.

5. Warisan budaya ini masih luput dari perhatian pemerintah

Masjid Agung Kesultanan Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Masjid Agung Kesultanan Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Namun, dia menyayangkan perhatian pemerintah daerah terhadap warisan budaya itu masih rendah karena menganggap manuskrip kuno itu hanya sebagai nilai budaya, bukan nilai pengetahuan.

Sejauh ini pemerintah hanya merawat, monumen fisik seperti Masjid Agung dan Menara Banten. Padahal, monuman tersebut bisa hancur sementara, nilai keilmuan akan abadi jika dipelajari dan dikaji.

"Kalau bicara nilai pengetahuan pasti penting untuk dibahas untuk dikaji. Jadi pelajaran masa sekarang," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Khaerul Anwar
Ita Lismawati F Malau
Khaerul Anwar
EditorKhaerul Anwar
Follow Us