Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan Pandeglang

Labuan contoh baik toleransi antarumat beragama di Banten

Pandeglang, IDN Times - Kehidupan antarumat beragama khususnya warga Katolik dan Islam di wilayah Labuan, Kabupaten Pandeglang sangat toleran dan penuh kedamaian. Hal itu tergambarkan jelas melalui buku yang ditulis seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta bernama Deni Iskandar.

Tak hanya toleransi dan kedamaian, buku hasil penelitian pemuda kelahiran Pandeglang ini juga menunjukkan adanya kontribusi umat Katolik di Labuan dalam pendidikan di Labuan dengan hadirnya sekolah Yayasan Mardiyuana Keuskupan Sufragan Bogor.

1. Labuan sebagai wilayah persinggahan

Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan PandeglangPantai Carita, Pandeglang (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Deni Iskandar dalam bukunya menerangkan, secara historis, Labuan berasal dari kata "Labuhan" dengan arti kata Persinggahan atau tempat berlabuh. Pada abad XIV Labuan merupakan sebuah tempat persinggahan para pedagang yang berasal dari Tiongkok dan Portugis.

Selain berdagang, orang-orang Portugis dan Tiongkok juga singgah dan menetap di Labuan. Oleh karena itu, bila melihat latar belakang masyarakat Labuan saat ini. Masyarakat Labuan, terdiri dari masyarakat asli dan pendatang.

Sebagai wilayah persinggahan, pada konteks kehidupan beragama, masyarakat asli di Labuan tidak pernah melakukan penolakan kepada masyarakat pendatang yang notabebenya beragama non muslim. Termasuk kepada masyarakat pendatang yang memeluk agama Katolik.

"Semua pemeluk agama Katolik di Labuan maupun di luar Labuan dalam lingkup Kabupaten Pandeglang, adalah masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Tionghoa," tulis Deni dalam bukunya.

Berdasarkan data Stasi tahun 2018, jumlah umat Katolik di Labuan hanya ada 108 orang dan itu terdiri dari 31 Kepala Keluarga (KK). Jumlah ini, terhitung paling sedikit, dari jumlah pemeluk agama di luar Katolik. Seperti halnya pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, Hindu-Buddha, dan Konghuchu.

Baca Juga: Tempat Wisata Pandeglang Ini Gak Jauh dari Jakarta, Yuk Berlibur!

2. Kehadiran dan kontribusi umat Katolik di Labuan

Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan PandeglangIlustrasi Natal. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Kehadiran umat Katolik di Labuan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat maupun sosial keagamaan, cukup diterima oleh masyarakat pribumi Labuan. Hal itu ditandai oleh adanya sekolah Katolik milik Keuskupan Sufragan Bogor yang didirian pada Tahun 1959.

Lembaga pendidikan itu bernama, Yayasan Mardiyuana. Pada umumnya, masyarakat pribumi Labuan, lebih akrab menyebut nama lembaga pendidikan itu dengan sebutan Sekolah MY.

"Yayasan Mardiyuana adalah sekolah Katolik milik Keuskupan Sufragan Bogor. Namun, jumlah siswa maupun tenaga pengajar Yayasan Mardiyuana itu, tidak semuanya pemeluk agama Katolik. Saat ini, jumlah siswa yang belajar di Yayasan Mardiyuana, ini teridiri dari umat Islam, Kristen Protestan, Konghuchu, Hindu-Buddha, dan umat Katolik," ungkap Deni.

Sejak didirikannya Yayasan Mardiyuana oleh Keuskupan Sufragan Bogor pada Tahun 1959. Umat Katolik di Labuan, tidak pernah sama sekali melakukan perekrutan atau syiar kepada umat agama di luar Katolik.

Meskipun pada faktanya, umat Katolik sendiri mempunyai lembaga pendidikan bernama Yayasan Mardiyuana. Uniknya, kehadiran sekolah milik Katolik di Labuan, justru tidak dijadikan sebagai alat untuk merekrut atau mensyiarkan ajaran agama Katolik agar umat di luar Katolik, memeluk agama Katolik.

Hal itu dibuktikan dengan basis kurikulum sekolah yang dibuat oleh pihak Yayasan Mardiyuana. Dimana setiap mata pelajaran agama yang diberikan pada setiap siswa, itu dipisahkan. Misalnya, untuk siswa yang memeluk agama Islam yang belajar Yayasan Mardiyuana, diberikan mata pelajaran agama Islam dengan status tenaga pengajar adalah seorang muslim.

Begitu juga sebaliknya, saat siswa pemeluk agama Katolik belajar mata pelajaran agama Katolik, siswa yang beragama non Katolik termasuk umat Islam, tidak diperbolehkan untuk mengikuti mata pelajaran agama Katolik. Menurut hemat penulis, Yayasan Mardiyuana sebagai sekolah Katolik ini, mempunyai batasan etik, dan umat Katolik sangat paham soal etika beragama. Pemberlakuan tersebut adalah bagian dari penghormatan umat Katolik kepada pemeluk agama lain.

Dari hasil penelitian Deni, kehadiran umat Katolik di Labuan ini, cenderung lebih banyak diam dan hanya fokus pada aktifitas mengajar dan berdagang dan bermasyarakat. Sehingga, kehadiran umat Katolik di Labuan, yang notabenenya sebagai entitas yang sangat minor, diterima oleh masyarakat Islam.

3. Peristiwa Cap Gedor jadi bukti warga Labuan saling melindungi

Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan PandeglangIlustrasi korban massal G30S/PKI (IDN Times/Rosa Folia)

Peralihan kekuasaan dari Orde Lama pimpinan Sukarno ke Orde Baru Suharto memunculkan era kekerasan kepada warga sipil yang berkait dengan Partai Komunis Indonesia bahkan pada etnis Tionghoa. Di Banten peristiwa kekerasan atau bahkan pembantaian itu jamak disebut peristiwa Cap Gedor yang terjadi pada 1965 hingga 1966.

"Sebaliknya, provokasi yang dilakukan negara pada tahun 1965 itu, tidak dijadikan sebuah momentum masyarakat Labuan, untuk membantai orang-orang Tiongkok dan Non Muslim. Sebaliknya, masyarakat pribumi Labuan, justru malah ikut serta dan aktif melindungi masyarakat pendatang, terutama orang-orang Tiongkok dan Non Muslim, terutama umat Katolik di Labuan," tulis Deni.

Dari itu, adanya peritiwa Cap Gedor pada tahun menjadi sebuah babak baru bagi perkembangan umat Katolik di Labuan. Orang-orang Tiongkok yang semula memeluk agama Konghucu, berbondong-bondong pindah agama. Upaya negara kala itu dikenal sebagai asimilasi secara paksa etnis Tionghoa yang dipaksa mengubah identitas seperti nama, agama hingga pelarangan adat istiadat.

"Tindakan orang-orang Tiongkok yang pindah agama itu sangat beragam. Ada yang pindah memeluk agama Islam dengan skema perkawinan silang, ada yang masuk Buddha, Kristen hingga pindah menjadi pemeluk agama Katolik dengan cara di baptis," kata Deni.

Baca Juga: Tempat Makan di Pandeglang, Wisatawan Wajib Datangi

Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan PandeglangPenulis Deni Iskandar (Dok. IDN Times/Deni Iskandar)

Sementara saat diwawancarai, Deni Iskandar menyebut hadirnya Lembaga Pendidikan bernama Yayasan Mardiyuana milik keuskupan Sufragan Bogor ini, adalah satu karya nyata umat Katolik di Labuan dan Yayasan ini berdiri sejak Tahun 1959.

“Nah, uniknya, di Labuan ini meskipun kota Santri, namun justru di dalamnya ada semua pemeluk agama, salah satunya pemeluk Agama Katolik. Dan kehadiran Umat Katolik di Labuan ini, sepanjang sejarahnya, tidak pernah diganggu, bahkan pada saat adanya peristiwa Cap Gedor Tahun 1965 dan 1998, masyarakat Labuan ini justru bahu membahu saling melindungi, terutama sikap masyarakat Labuan terhadap pendatang, yang itu beragama di luar Islam,” ungkapnya.

Dikatakan Deni, umat Katolik di Labuan ini, semuanya adalah Pendatang. Tapi meskipun kondisinya demikian, kehadiran umat Katolik di Labuan, yang notabenenya sebagai Kota Santri, itu diterima oleh masyarakat setempat.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya