TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pilah-pilah dari Rumah Ibadah, Kelola Sampah Agar Dapat Berkah

Gerakan memilah sampah tumbuh di sejumlah rumah ibadah

IDN Times/Muhamad Iqbal

Tangerang, IDN Times - Jam belum menunjukkan pukul sembilan pagi, kala Annisa dan sejumlah temannya mulai berkutat mengumpulkan, memilah, menimbang hingga mencatat sampah organik yang disedekahkan jemaah masjid. Dengan cekatan, mereka memilah juga kemasan botol air mineral menjadi tiga jenis karena badan botol, tutup dan kemasan itu memiliki nilai jual berbeda.

Annisa dan teman-temannya tergabung dalam komunitas remaja masjid Sobat An-Anashr disingkat Sonar. Masjid An-Nashr sendiri berada di Jalan Bintaro Utama V, Sektor 5, Tangerang Selatan (Tangsel).

Komunitas Sonar yang diisi pemuda dan pemudi berusia 20 tahunan itu memulai kegiatan Sedekah Sampah dari 2021, setelah beberapa kali mengikuti acara kajian keagamaan dengan tema-tema bahwa tugas manusia menurut ajaran Islam adalah menjaga lingkungan. Dalam kajian itu, sejumlah ustaz mendorong mereka agar tak hanya bicara soal agama saja. 

“Bahwa Islam itu nggak cuma ritual ibadah, tapi juga bagaimana kami bisa menjadi manusia yang bermanfaat salah satunya lingkungan kami nih karena sampah di mana-mana sudah banyak banget kan di sungai dan di mana-mana,” kata Annisa, saat dijumpai IDN Times di lokasi, Sabtu (7/10/2023).

Dari situlah, kata Annisa, kemudian muncul ide awal untuk memulai kegiatan sedekah sampah yang dilakukan di lingkungan masjid, yakni jemaah dan warga pemukim sekitar. Komunitas Sonar ingin kegiatan sedekah sampah menjadi edukasi untuk masyarakat agar mau memilah sampah dan mengurangi sampah dari sumber.

“Lalu bisa dikirimkan ke Masjid An-Nashr, untuk kami timbang dan nanti disedekahkan hasilnya,” kata dia.

Annisa lantas menjelaskan alur sedekah sampah yang biasa dia dan teman-temannya lakukan. Pertama masyarakat membawa sampahnya yang sudah terpilah dan sudah dibersihkan ke komunitas Sonar.

“Misal sampah kardus bekas itu dibersihkan dulu, dikeringin, baru nanti dibawa ke sini," kata Annisa. 

Komunitas Sonar akan menimbang dan mencatat sampah dari jemaah dan warga. Untuk melayani program sedekah sampah ini, kata Annisa, ada sekitar 20 relawan Sonar yang stand by di masjid setiap hari secara bergantian. 

"Nanti sama kami di sini, (sampah) dipilah lebih detail lagi, sesuai dengan kategori pengepulnya.  Misal tutup botol, botol kaca, botol plastiknya juga beda ada yang botol plastiknya juga tebal ada yang tipis itu dipisahkan,” kata Annisa. 

Nantinya, komunitas Sonar akan menginformasikan kepada jemaah dan warga yang bersedekah sampah-- baik secara langsung melalui aplikasi atau melalui media sosial--mengenai data sampah yang berhasil terkumpul. 

Kemudian, relawan Sonar mengumpulkan sampah hingga minimal 200 kilogram (kg). Jumlah ini biasanya terkumpul sekitar dua pekan. 

Jika sampah sudah memenuhi angka minimal itu, petugas dari bank sampah Ecomart,  Kabupaten Tangerang menjemput. Sampah itu bakal didaur ulang menjadi produk kreatif dan produk jadi hingga disalurkan ke industri untuk menjadi bahan baku.

"Nah nanti dari situ ada bayaran,” kata dia.

Uang yang terkumpul, kata Annisa, selanjutnya dialokasikan ke kegiatan sosial yang bisa dimanfaatkan warga kembali dan 10 persen lainnya digunakan untuk operasional kegiatan sedekah sampah.

“Makanya dibilangnya sedekah sampah. Karena dari sampah masyarakat, kami bisa dapat uang tapi uangnya bisa kami putar lagi buat kegiatan masjid,” kata Annisa.

Meski telah mendapat dukungan dari para pengurus atau DKM masjid, komunitas Sonar tetap saja menemui berbagai kendala dan tantangan. Salah satu tantangan utama adalah ada saja jemaah atau warga yang belum belum memahami cara pemilahan sampah yang benar.

“Pas kami sudah terima tuh, (sampah) kotor banget sama bau. Nggak jarang juga ditemuin bangkai-bangkai hewan.  Itu sih yang bikin kami harus banyak sabar,” ungkapnya.

Pihaknya pun menyadari bahwa sampah basah atau organik --semacam sisa makanan-- merupakan sampah terbanyak jika dibandingkan dengan jumlah sampah anorganik. 

Ilustrasi: Madya Shakti

Komunitas Sonar, kata Annisa, sudah melihat peluang besar dari jenis sampah basah ini. Sayangnya, pengolahan jenis sampah ini membutuhkan lahan yang luas serta skill dan penguasaan teknologi pendukung agar prosesnya tidak mengeluarkan bau tak sedap.

“Waste food, nggak menutup kemungkinan.  Kami masih berharap dari awal itu, masyarakat bisa memilah," kata dia.

Saat ini, pihaknya tengah berkomunikasi dengan pengelola masjid untuk rencana pengolahan sampah basah ini. Kebetulan, imbuhnya, Masjid An-Nashr punya taman Agro.

"Kemungkinan one day kami bisa menerima sampah organik untuk dijadikan pupuk,” kata dia.

Gema Jaga Lingkungan dari Gereja

IDN Times/Muhamad Iqbal

IDN Times juga kemudian mengunjungi Gereja Santa Helena di Taman Permata Lippo Karawaci, Curug, Kabupaten Tangerang pada Minggu (15/10/2023). Tampak jemaat hilir mudik usai melakukan ibadah misa serta mengikuti kegiatan sosial di dalam area gereja.

Di area gereja itu--tepatnya sebelah kiri area parkir luar-- IDN Times juga melihat sebuah bangunan semi permanen sederhana. Dengan luas sekitar 12 meter persegi,  bangunan itu dihiasi dengan tulisan besar ‘Imanku Tak Sebatas Kata.’ Selain itu, tampak juga tulisan mengenai jenis-jenis sampah nonorganik dilengkapi gambar ilustrasi.

Rumah Peduli Santa Helena. Itulah nama bangunan yang kemudian dijadikan lokasi penampungan program donasi sampah. Pengelolanya adalah Seksi Lingkungan Hidup, Gereja Santa Helena, Paroki Curug di Kabupaten Tangerang.

Waktu belum genap pukul 10.00 WIB, hari itu, kala beberapa jemaat datang dan mengumpulkan donasi sampah. Mereka datang dengan membawa minyak jelantah, botol plastik, kaca, logam, hingga bermacam jenis kertas dan kardus.

Salah satu jemaat gereja bernama Agus mengaku menyumbang sampah kering dan 18 kg minyak jelantah-- yang ia kumpulkan selama empat bulan. “Dari pada dibuang gitu aja," kata dia. 

Warga Binong, Kabupaten Tangerang ini yakin bahwa sampah rumah tangga keluarganya ini bisa bermanfaat untuk orang lain. Dengan jarak lima kilometer (km) dari rumah ke Rumah Peduli di area Gereja Santa Helena, Agus biasa mengangkut donasi sampah tersebut menggunakan kendaraan pribadi.

Program Rumah Peduli milik Gereja Santa Helena sudah menerima donasi sampah dari jemaat gereja sejak tahun 2015. Di awal beroperasi, Rumah Peduli Santa Helena hanya menerima satu jenis sampah, yakni minyak jelantah. Tahun berlalu, Rumah Peduli ini berinovasi dengan menerima sampah kering nonorganik.

Inovasi lainnya yang kini tengah digalakkan pengurus adalah "sampah tukar pohon." Dengan program ini, jemaat gereja bisa mendapat imbalan berupa bibit tanaman jika bisa mendonasikan sampah yang bersih dan sesuai yang disyaratkan.

Setelahnya, sampah yang terkumpul sekitar ratusan kg itu akan diangkut oleh Rapel-- sebuah aplikasi pengelolaan sampah berkelanjutan produk dari PT Wahana Anugerah Energi. Sampah disalurkan ke industri daur ulang dan menjadi bahan baku untuk industri pengolah biji plastik, industri kertas, dan lainnya.

Program donasi sampah di Gereja Santa Helena juga kerap dijadikan ajang berbagi kasih dengan pembagian sembako kepada warga atau jemaat yang membutuhkan. Dana berbagi kasih itu berasal dari penjualan sampah yang dilakukan rata-rata sebulan sekali.

Anggota Seksi Lingkungan Hidup Gereja Santa Helena, Chris mengatakan, setelah beberapa tahun program ini berjalan--meski sempat terganggu akibat pandemik COVID-19-- angka jemaat yang berpartisipasi terus meningkat. Sampah nonorganik juga terus bertumbuh. 

“Kesimpulan kami, itu karena jumlah umat yang berpartisipasi bertambah, bukan karena sampah rumah tangganya yang bertambah,” kata Chris.

Bagi Chris pribadi, program tersebut merupakan bentuk partisipasi dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Donasi sampah itu juga menjadi salah satu bentuk edukasi secara praktik.  

“Kami tahu bahwa rumah ibadah itu jadi konsentrasi kegiatan umat. Praktis, selain persembahan kolekte, ada juga persembahan donasi sampah,” kata dia.

Tak sekadar donasi sampah, Gereja Santa Helena juga memberikan layanan pelatihan eco-enzim, hidroponik, aquaponik, kompos  hingga sosialisasi merawat lingkungan. Pemuka agama gereja memberikan semua layanan itu kepada sekitar 2 ribu keluarga yang menjadi jemaat di Santa Helena. 

"Imanku tak sebatas kata"

IDN Times/Muhamad Iqbal

Sampah menjadi persoalan serius, saat ini. Program donasi sampah melalui Rumah Peduli Santa Helena hanya menjadi bagian kecil untuk mencegah sampah lebih banyak lagi masuk tempat pembuangan akhir atau TPA. 

Dengan donasi ini, jemaat dan pengelola Rumah Peduli Santa Helena berusaha memilah sampah, supaya benda-benda yang masih bisa digunakan, tidak begitu saja berakhir di TPA.  Selain itu sampah juga bisa jadi sumber rejeki bagi yang membutuhkan.

“Imanku tak sebatas kata. Kan kalau kami gereja Katolik ini, iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati, demikian kutipannya yang ada di kitab suci. Maka kalau kami percaya kepada Tuhan, mencintai ciptaan Tuhan, lingkungan sekitar kami, dunia ini, bumi ini kan adalah ciptaan Tuhan. Kalau kami mencintai bumi ini, menyayangi tanah air udara sungai makhluk hidup, hewan tumbuhan, maka cintanya jangan hanya cuma kata-kata.”

-Chris-

Iman tak sebatas kata itu pun berusaha diwujudlkan pada aktivitas, salah satunya, dengan mengurangi sampah dan mengatasi sampah yang dihasilkan dari rumah masing-masing jemaat. "Jadi tak sebatas kata, harus ada buktinya,” lanjutnya.

Gerakan donasi sampah ini sebetulnya dimulai dari jemaat Gereja Keluarga Kudus Rawamangun, di bawah Keuskupan Agung Jakarta. Di sana, gerakan tersebut bahkan lebih modern sampai dibuat menjadi badan hukum dann berbentuk bank sampah sejak tahun 2016.

Bank sampah ini boleh disebut sebagai perintis kemunculan gerakan pengelolaan sampah dengan model serupa, berbasis rumah ibadah di Indonesia.

Anggota Divisi Lingkungan Hidup Keuskupan Agung Jakarta, Lucia Mona Hartari yang juga pendiri bank sampah di Gereja Keluarga Kudus Rawamangun menyebut, konsep gerakan ini memfokuskan pada umat agama.

“Kenapa rumah ibadah? Karena kalau rumah ibadah itu, kalau pemuka agama yang bicara mungkin dihubungkan dengan ayat, pastinya gitu yah, itu kan bisa mengena. Karena secara orang awam itu sulit untuk melakukan sosialisasi,” kata Mona. 

Pernyataan Mona tersebut setali mata uang dengan hasil survei Literasi Digital Nasional yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada periode 18-31 Agustus 2020. Adapun margin of error survei ini 2,45 persen. 

Dalam survei itu terungkap, sebanyak 50,6 persen dari 1.670 responden menjawab percaya terhadap tokoh agama dan 34,7 persen yang menjawab biasa saja. Persentase responden yang menjawab "sangat percaya" untuk tokoh agama berjumlah 11,1 persen. Sementara gabungan yang tidak percaya dan sangat tidak percaya 2,7 persen.

Mona bercerita, setelah tahun-tahun sebelumnya hanya berkutat pada upaya sosialisasi, imbauan dan sebagainya, singkat cerita pada tahun 2016 dimulailah gerakan bank sampah di gereja. Mona masih ingat betul hari itu tanggal 21 Februari 2016. 

“Saya bilang gini aja, 'jadi bismillah, itu pasti dapat sampah.'' Setiap yang kumpulkan sampah dibikinin buku (tabungan) nih, mau jumlahnya berapa dibikinin buku dulu, untuk memancing orang setidaknya orang sudah punya buku tabungan," kata Mona.

Hari itu, kata dia, ada 400 orang di Gereja Kudus Rawamangun yang membawa sampah.  Kini, sekali angkut dalam seminggu, bank sampah yang ia inisiasi mampu menjual 1,5 ton sampah terpilah.

Upaya progresif ini, lantas diadopsi oleh gereja lain. Tercatat, hingga saat ini di Keuskupan Agung Jakarta saja, 15 gereja sudah mengadopsi gerakan ini. 

“Ada juga gereja yang bahkan mempunyai UMKM pembuatan lilin dari minyak jelantah di bank sampah. Ada kelompok yang seperti itu, setiap bulannya mereka sudah sampai 4.000 lilin jualan, karena gereja kalau doa pakai lilin," ungkap Mona.

“Keberhasilannya jangan pakai jumlahnya, tapi berapa banyak orang yang mendapat kesadaran harus memilah sampah,” kata dia.

Haram bagi muslim membuang sampah sembarangan, berbuat mubazir, serta berlebih-lebihan

IDN Times/Muhamad Iqbal

Ada 12 ayat Al-Quran dan sembilan hadis yang menjadi landasan Majelis Ulama Indonesia (MUI)--lembaga yang mewadahi para ulama dan cendekiawan Islam-- dalam mengeluarkan Fatwa Nomor 47 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan. Fatwa ini dibuat untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia.

Fatwa yang ditetapkan pada 7 November 2014 lalu ini secara tegas mewajibkan umat Islam di Indonesia untuk menjaga lingkungan. MUI bahkan menyatakan, membuang sampah sembarangan adalah perbuatan haram!

Selain itu, MUI juga mengatur beberapa hal, mulai dari mewajibkan pemerintah dan pengusaha untuk mengelola sampah; mendaur ulang sampah. Fatwa tersebut juga menetapkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, para legislator, pelaku usaha, tokoh agama lembaga pendidikan, dan masyarakat hingga rumah ibadah. 

Rekomendasi itu berisi, antara lain, bidang terkait meningkatkan penegakan hukum kepada setiap pelaku pencemaran lingkungan, pembentukan bank sampah secara masif, edukasi hingga peran aktif dalam upaya penanganan masalah sampah.

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu S Prabowo mengatakan bahwa fatwa tersebut hadir agar umat Islam termotivasi dalam menjaga lingkungan sebab hal itu adalah ibadah.

MUI sendiri tidak diam saja. Badan ini menginisiasi Gerakan Sedekah Sampah Indonesia atau disingkat Gradasi. Melalui gerakan ini, MUI mengajarkan umat untuk mengurangi sampah dari sumbernya. 

“Waktu itu kami bingung, fatwa ini mau ngapain nih, terus solusinya seperti apa gitu yah. Waktu dua tahun yang lalu,  gimana kalau kami ngelarang terus solusinya apa, secara keagamaan maksudnya yang ada ibadahnya,” kata Hayu.

Hayu menyebut, sedekah sampah bisa jadi solusi progresif dalam upaya pengurangan sampah dari sumber dengan ganjaran pahala.

"Kalau solusi konvensional ya 3R (Reduce, Reuse, Recycle) itu. Sampai sekarang, 3R juga nggak sukses-sukses. Ini kami motivasinya berbeda, motivasi berbasis agama. Jadi dia dapat pahala dan berdosa bila meninggalkannya,” kata dia.

Meski begitu, Hayu mengakui bahwa gerakan sedekah sampah masih hanya ‘laku’ di kelas masyarakat menengah ke atas, khususnya di wilayah perkotaan. Sejauh ini, gerakan sedekah sampah ini belum menjangkau wilayah pedesaan.

Fenomena itu terjadi karena belum meratanya informasi pengetahuan soal pemilahan sampah dan peluang ekonomi di dalamnya, dan belum meratanya off taker pengepul sampah di daerah-daerah yang bisa menciptakan pasar sampah yang sudah dipilah. 

Hayu menyebut, berdasar pengalamannya, masjid yang sukses melaksanakan bank sampah atau sedekah sampah adalah masjid yang memiliki tim yang di dalamnya memahami isu lingkungan hidup. Masalahnya, tidak semua masjid memiliki tim seperti ini. 

“Nah sekarang kami sedang cari siapa yang mau mendampingi masjid-masjid untuk kegiatan itu. (Kami) mau kerja sama dengan NGO yang mengurusi persoalan plastik, nah mereka bisa jadi pendamping masjid,” kata Hayu.

Berita Terkini Lainnya