BRIN: Banyak Industri Tak Serap Hasil Inovasi

- Amarulla Octavian, Wakil Kepala BRIN, menyoroti kurangnya minat industri dalam mengembangkan inovasi lokal yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
- Peran perguruan tinggi diharapkan dapat mempercepat transfer teknologi dan kolaborasi dengan industri untuk mengatasi tantangan komersialisasi hasil riset.
- Diskusi panel membahas model QuadHelix untuk menciptakan transfer teknologi berkelanjutan, sementara potensi riset Indonesia belum terintegrasi optimal dengan industri.
Tangerang, IDN Times - Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amarulla Octavian mengungkapkan, banyak industri yang tidak mau mengembangkan hasil inovasi yang telah dibuat oleh anak bangsa. Padahal, banyak inovasi yang telah sesuai dengan kebutuhan industri.
"BRIN saat ini sudah berhasil membuat reaktor pengolah limbah biomassa sawit menjadi listrik di Pekanbaru, namun industri belum tertarik mengembangkannya untuk di banyak perkebunan, sehingga masyarakat sekitar dapat memanfaatkan listrik yang dihasilkan," kata Amarulla di Binus University Alam Sutera, Tangerang, Jumat (8/11/2024).
1. Perlu adanya kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk transfer teknologi

Untuk mengatasi hal itu, menurut Amarulla, peran perguruan tinggi berpotensi bisa mempercepat transfer teknologi dan kolaborasi dengan industri. Pasalnya, meski transfer teknologi sudah berjalan, tantangan terbesar ada pada komersialisasi lantaran belum ada regulasi yang mewajibkan industri untuk menindaklanjuti hasil riset.
"BRIN juga membuka pintu bagi masukan dari masyarakat dan perguruan tinggi, serta menangani kebutuhan riset industri seperti solusi energi di sektor nikel, dengan harapan dapat menggandeng lebih banyak industri untuk berinovasi," ungkapnya.
2. Hanya 7 persen dosen di Indonesia yang terlibat riset dalam tiga tahun terakhir

Salah satu topik bahasan utama yang diangkat pada diskusi panel ini adalah model QuadHelix yang mengintegrasikan peran seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan transfer teknologi yang berkelanjutan. Model ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing global Indonesia dengan mengoptimalkan talenta lokal dan mendorong riset yang sesuai dengan kebutuhan pasar domestik.
Seperti yang dikatakan Direktur Riset, Teknologi, dan Pengabdian Masyarakat, Kemendikbudristek M. Faiz Syuaib, bahwa Indonesia memiliki potensi besar dengan 4.300 perguruan tinggi, 334.000 dosen, dan 10 juta mahasiswa. Namun, hanya 7 persen dosen yang terlibat dalam riset selama tiga tahun terakhir, dan tingkat kesiapan teknologi (TKT) sebagian besar berada di tahap awal (1-3), sekitar 78 persen belum mencapai tahap pengembangan atau aplikasi. Apalagi, dari 2 ribu riset, hanya sekitar 11 yang telah menghasilkan paten.
"Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, perlu strategi untuk mentransformasi potensi ini menjadi inovasi nyata yang melibatkan kolaborasi antara universitas, industri, dan masyarakat, serta meningkatkan transfer ilmu ke masyarakat agar teknologi bisa diterapkan secara praktis," katanya.
3. Kolaborasi Quad Helix bisa percepat penyerapan inovasi ke industri

Sementara itu, Rektor Binus University Nelly, menyatakan peran artificial intelligence (AI) terus meningkat di berbagai sektor, mulai dari kesehatan hingga pendidikan dan ekonomi. Di balik kemajuan ini, tantangan besar yakni menciptakan ekosistem transfer teknologi yang inklusif dan berkelanjutan harus diberikan perhatian.
Untuk itu, pihaknya berkomitmen membina dan memberdayakan masyarakat untuk membangun dan melayani bangsa, dengan harapan setiap lulusan dapat menghasilkan karya yang relevan dan bermanfaat bagi masyarakat.
"Saat ini, banyak riset yang dihasilkan perguruan tinggi dinilai baik secara akademis, tetapi belum terintegrasi dengan industri secara optimal," ungkapnya.
Sementara itu, CEO Digital Tech Ecosystem & Development Sinar Mas Land Irawan Harahap mengatakan, kolaborasi antara industri dan akademisi menjadi semakin penting dalam menjawab tantangan ini dan mendorong inovasi yang dapat dikomersialisasi. Dari perspektif industri, kecepatan dan efisiensi implementasi adalah prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, terutama dalam sektor properti yang memiliki banyak pemangku kepentingan.
"Sinar Mas Land menjalankan transformasi digital melalui dua jalur utama, yakni investasi pada startup dan riset internal," katanya.
Dalam proses ini, pihaknya menghadapi beberapa tantangan yang konkret, termasuk bagaimana mengintegrasikan aplikasi residensial dengan AI, kebutuhan untuk mendeteksi titik dan panjang Fiber Cut di proyek kabel optik, serta menciptakan smart building yang berfungsi sebagai digital twin yakni bangunan yang dilengkapi teknologi digital berupa replika virtual yang akurat, sehingga dapat meningkatkan efisiensi energi, pengelolaan fasilitas, dan kenyamanan penghuni.
"Melalui diskusi panel ini, kami berharap dapat menggali potensi dan strategi terbaik dalam memanfaatkan teknologi, khususnya AI, untuk membangun ekosistem transfer teknologi yang bermanfaat bagi semua pihak," kata dia.