5 Alasan Kesultanan Banten Runtuh
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Seperti halnya provinsi-provinsi di Pulau Jawa, pembentukan Provinsi Banten dipengaruhi oleh sejarahnya. Ini terutama terjadi selama dua periode signifikan, yaitu masa kejayaan kerajaan dan perkembangan serta perjuangan selama masa kolonial.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan besar yang menguasai separuh dari Pulau Jawa hingga ke wilayah Lampung. Dari masa kejayaan hingga kehancurannya, jejak Kesultanan Banten menyimpan kisah yang tak hanya menggugah, tetapi juga memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika politik, perdagangan, dan kebudayaan pada zamannya.
Mengutip laman resmi Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Provinsi Banten, secara historis, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692). Banten bukan hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi juga pusat perdagangan internasional yang termashur.
Namun begitu, mengapa akhirnya kerajaan yang jaya tersebut runtuh? Berikut pembahasan singkat tentang mengapa Kesultanan Banten runtuh, yang menarik untuk disimak!
Baca Juga: Buat Camilan Lebaran, Bikin Kue Jojorong Khas Banten Ini Yuk
1. Campur tangan VOC
Kesultanan Banten berawal kedatangan Sunan Gunung Jati pada tahun 1525 M, yang tiba di Banten sebagai bagian dari misi Sultan Trenggono untuk mengusir Portugis dari Nusantara. Meskipun berhasil menguasai Banten, Sunan Gunung Jati tidak menjadi raja.
Pada tahun 1552 M, pemerintahan Banten diserahkan kepada putranya, Sultan Maulana Hasanuddin, yang menjadi raja pertama Kesultanan Banten.
Dikutip dari situs resmi Universitas Sumatera Utara, VOC atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie, yang dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Dutch East India Company, adalah sebuah perusahaan dagang yang bersejarah dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ekonomi dan politik di Belanda pada abad ke-17 hingga ke-18.
Kala itu saat VOC turut masuk ke Banten, terdapat penerapan peraturan yang mengharuskan persetujuan VOC sebelum pengangkatan sultan menimbulkan ketegangan yang meningkat.
2. Ada konflik internal
Dalam buku "Sandyakala Kejayaan dan Kemashyuran Kerajaan Nusantara" (2018), Joko Darmawan dan Rita Wigira Astuti menjelaskan bahwa campur tangan VOC dalam urusan internal Kerajaan Banten membuat Sultan Ageng Tirtayasa marah.
Sementara di sisi lain, salah satu anggota Kesultanan Banten, yaitu Pangeran Gusti, meminta dukungan VOC untuk meredakan pemberontakan yang sedang berlangsung.
Konflik di dalam kesultanan pun pada akhirnya menyebabkan Banten jatuh di bawah kendali Hindia Belanda tahun 1752.
3. Terjadi pemberontakan
Meskipun pengaruh VOC yang dipimpin oleh Kapten Francois Tack awalnya dibawa oleh Pangeran Gusti, puncak konflik terjadi ketika Tirtayasa menyerang Pendopo Pangeran Gusti.
Ini memicu perang saudara selama 3 tahun hingga akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa menyerah pada tahun 1672.
4. Sultan Banten yang baru dianggap lemah
Pangeran Gusti mengambil alih posisi Sultan Ageng Tirtayasa dengan gelar Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar. Pada periode 1672 hingga 1687 M, Pangeran Gusti memimpin Kesultanan Banten.
Sayangnya, ternyata Sultan baru ini hanya dianggap menjadi boneka Belanda. Situasi ini menyebabkan melemahnya kekuasaan Kesultanan Banten.
5. Pergantian penjajah
Kedudukan VOC yang berasal dari Belanda, digantikan oleh Inggris. Kesultanan Banten mengalami kehancuran sepenuhnya ketika dihapuskan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1813.
Proses runtuhnya kesultanan ini dipimpin oleh Sultan Rafiuddin. Saat itu, Thomas Stamford Raffles adalah pemimpin Inggris yang berhasil mengalahkan Belanda di bawah kepemimpinan Daendels dan kemudian menjajah di Pulau Jawa.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.