TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Belajar Kedaulatan Pangan Ala Masyarakat Adat Cisungsang

Masyarakat pedalaman ini punya stok pangan melimpah

Dok. Istimwa/Noci

Lebak, IDN Times - Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang  merupakan salah satu kelompok yang masih memegang teguh adat istiadat dari leluhur terutama pada sistem ketahanan pangan. Mereka hidup di bawah kaki Gunung Halimun, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. 

Hal itu berbanding terbalik dengan pemerintah Indonesia yang saat ini sedang mewacanakan untuk mengimpor impor beras.

1. Padi dan beras memiliki strata istimewa bagi masyarakat adat

Dok. Istimewa/Noci

Bertani merupakan keharusan bagi masyarakat Kasepuhan. Bahkan warga yang tidak mempunyai sawah pun, tetap bisa menggarap sawah orang lain. Praktik ini dikenal dengan "nengah" yaitu sistem bagi hasil.

Karena, menurut mereka bertani adalah simbol untuk kehidupan ke depan, bukan untuk mencari keuntungan. Beras merupakan komoditas yang memiliki strata istimewa bagi masyarakat adat.

Masyarakat Adat Kasepuhan menyadari bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat harus menitikberatkan pada keseimbangan. Artinya, apa yang diambil, harus berbanding lurus dengan apa yang diberikan terhadap alam. Tak heran setiap tahapan pelaksanaan pertanian selalu digelar acara adat.

"Senin depan kita akan ritual dimulainya panen baru seren taun syukuran setelah panen. Jadi setiap siklus kita mengadakan ritual," kata Juru Wicara Adat Kasepuhan Cisungsang Henriana Hatra Nochi kepada IDN Times, Kamis (25/3/2021).

2. Penanaman padi hanya dilakukan setahun sekali

Ilustrasi padi (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Sistem penanaman padi dilakukan masyarakat hanya satu tahun sekali. Hal itu berbeda dengan apa yang dianjurkan pemerintah untuk menanam padi bisa berkali-kali.

Bagi mereka sawah atau alam itu perlu juga mensiklus, mengolah sendiri unsur hara yang ada dalam tanah, sebab jika terus-menerus ditanami mereka memiliki keyakinan alam tidan akan bertahan lama dan akan berpengaruh terhadap kesuburan tanah.

"Kan berpikir bukan satu sama lima tahun mendatang, tapi berpikir ratusan tahun akan datang. Kalau sawah 'diperkosa', itu akan berpengaruh ketahanan pangan yang akan datang untuk anak cucu," katanya.

Baca Juga: Di Balik Ritual Kawalu Suku Baduy Dalam, Doa dan Puasa untuk Indonesia

Berita Terkini Lainnya