Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Pedalaman di Kaki Gunung Halimun
Bagi mereka, padi hingga nasi tidak boleh diperjualbelikan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Lebak, IDN Times - Di Provinsi Banten ada dua kelompok masyarakat adat, yakni masyarakat adat Baduy atau orang Kanekes dan masyarakat adat Kasepuhan. Selama ini, Suku Baduy sudah banyak dibahas, kini giliran kasepuhan.
Ada perbedaan mencolok antara masyarakat adat Baduy dengan kelompok adat Kasepuhan. Masyarakat adat kasepuhan terbuka dengan budaya modern, sementara orang Kanekes lebih tertutup dengan perubahan zaman.
Salah satu masyarakat adat Kasepuhan yang masih eksis hingga kini adalah Kasepuhan Cisungsang. Kompok ini berada di kaki Gunung Halimun, Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.
Baca Juga: Tidak Punya NIK, Bagaimana Nasib Vaksinasi Suku Baduy Dalam?
1. Sejarah berdirinya adat Kasepuhan Cisungsang
Sejarah awal berdirinya Kasepuhan Adat Banten Kidul ini dimulai dengan musyarawah para sesepuh pada zaman dahulu. Dari musyawarah itu, tercipta lima turunan mandiri kasepuhan adat di seputar Banten selatan.
Satu kasepuhan berada di daerah Bayah, sedangkan saudara serumpun tercipta di daerah lainnya. Saudara serumpun itu dibagi menjadi dua istilah, yaitu ‘dulur awewe’ (saudar perempuan dan ‘dulur lalaki’ (saudara lelaki). Dulur Awewe saat ini, yaitu Kasepuhan Cicarucub dan Citorek. Sedangkan Dulur Lalaki adalah Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Ciptagelar yang ada di Sukabumi, Jawa Barat.
Karena tinggal di pegunungan, tak heran jika leluhur masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang merupakan masyarakat agraris. Mereka mengandalkan cocok tanam, terutama padi.
Masyarakat ini dipimpin oleh seorang Abah yang memiliki puncak piramida kekuasaan, memiliki keahlian dalam bidang pertanian teknis dan simbolis, pemberi doa dan restu segala kegiatan masyarakat di Kasepuhan Cisungsang.
Sementara untuk menangani kesehatan, ritual pertanian dan siklus hidup diurus oleh seorang yang diberi gelar dukun.
Juru Wicara Adat Kasepuhan Cisungsang Henriana Hatra Nochi mengatakan, dari berbagai legenda masyarakat agraris di Nusantara, keberadaan Dewi Sri sangat disakralkan. Tak terkecuali, para leluhur Sunda yang dahulu mengamalkan keyakinan Sunda Wiwitan dan Hindu.
Meski kini sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun warga adat seperti di Kampung Cisungsang masih meyakini keberadaan Dewi Sri--yang dalam masyarakat Sunda disebut Nyi Pohaci-- sebagai lambang kesuburan.
"Meskipun demikian warga adat kasepuhan umumnya memeluk agama Islam. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya tradisi dan mempertahankan tradisi leluhur," kata Henriana kepada IDN Times, Selasa (23/3/2021).
Baca Juga: Di Balik Ritual Kawalu Suku Baduy Dalam, Doa dan Puasa untuk Indonesia