TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalan Berliku Dugaan Pemerkosaan Anak oleh Ayah Tiri di Tangerang

Berikut fakta dan kronologi kasus di Tangerang ini

IDN Times/Sukma Shakti

Kota Tangerang, IDN Times - Sebuah kasus kekerasan seksual ayah tiri terhadap anak di bawah umur menjadi sorotan di Kota Tangerang. Salah satu alasannya, kasus tersebut kini justru ditangani Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Tangerang Selatan (Tangsel). 

Kini, kasus dugaan pemerkosaan anak berusia 13 tahun itu masuk tahap persidangan. Fakta terbaru yang terungkap dalam sidang, pelaku mengaku sempat meminta korban mengirimkan foto tak senonoh. Hal itu terungkap dalam persidangan yang berjalan Selasa (26/10/2021). 

Berikut rangkuman fakta-fakta perjalanan kasus ini, yang dirangkum IDN Times.

Baca Juga: Kasus Pencabulan Anak di Kota Tangerang Berlarut Sampai 11 Bulan 

1. Kasus ini diungkap ke publik oleh anggota DPRD Kota Tangerang

Ilustrasi DPRD Kota Tangerang (Facebook: DPRD Kota Tangerang)

Kasus terungkap ke publik setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang melakukan kunjungan kerja ke Kota Tangerang Selatan (Tangsel) pada Oktober 2020.

Anggota Komisi II DPRD Kota Tangerang, Saiful Milah mengaku mendapat aduan dari P2TP2A Kota Tangsel bahwa terdapat warga Kota Tangerang Selatan yang diperkosa dengan tempat kejadian perkara (TKP) di Kota Tangerang.

Saiful mengatakan korban merupakan anak perempuan berusia 13 tahun. Dia yang masih berstatus sebagai siswi SMP. Anak berinisial itu dicabuli oleh ayah tirinya berinisial RMS hingga berkali-kali dan kini mengalami trauma.

Diungkapkan Saiful, TKP itu di salah satu perumahan mewah di Kota Tangerang yang tak lain milik ayah tirinya. Selain itu, TKP lainnya adalah hotel.

Baca Juga: Anggota DPRD Ini Ungkap Kasus Pencabulan Anak di Kota Tangerang

2. Anggota DPRD sesalkan lambannya kinerja P2TP2A Kota Tangerang

IDN Times/Sukma Shakti

Saiful mengatakan saat itu, pihak keluarga korban sebenarnya telah melaporkan kejadian ini kepada P2TP2A Kota Tangerang. Lantaran TKP ada di Kota Tangerang.

Namun, keluarga korban menilai respons petugas P2TP2A Kota Tangerang lamban, bahkan hingga setahun lebih belum ada tindakan. "Si orangtua korban merasa posisi ini kurang berjalan baik maka dia kembali ke Tangsel. Maka turunlah P2TP2A Kota Tangsel mendampingi sampai ke polres," katanya.

Saiful mengungkap, P2TP2A Kota Tangsel memberikan pendampingan pada korban mulai dari psikologi, pemulihan trauma, hingga pendampingan hukum.  "Ini yang kita sesalkan, P2TP2A Kota Tangerang yang tidak reaktif dengan penuh," tambahnya.

Kini, korban telah ditempatkan di rumah aman untuk didampingi. P2TP2A Kota Tangsel, kata Saiful, juga telah mengumpulkan bukti seperti hasil visum dan psikologi korban. Hasilnya menunjukkan korban memang menjadi korban pencabulan.

"Semua komplit sesuai (hasil visum, hasil psikologi dan bukti lainya) dari psikologi. Runtutan ceritanya (kronologi) juga sudah," katanya.

3. Kronologi awal mula kasus ini terkuak hingga korban trauma berat

Ilustrasi pemerkosaan. IDN Times/Sukma Shakti

Kepala UPT P2TP2A Kota Tangsel Tri Purwanto menjelaskan kronologi kasus ini mencuat. Semua bermula ketika korban curhat ke teman sekolahnya bahwa dia menerima perlakuan tak senonoh dari ayah tiri. .

"Jadi korban punya teman, dia curhat ke temanya dan temannya cerita ke ibunya, lalu ibunya yang lapor ke ibu korban dari sini peristiwa ini terungkap," ungkapnya.

Setelah mendapat cerita utuh, Sang Ibu kemudian melapor ke Polres Metro Tangerang Kota pada 21 Oktober 2020 oleh ibu korban dengan tanda bukti lapor nomor : TBL/B/907/X/2020/PMJ/ Restro Tangerang Kota.

Adapun tindak pidana yang dilaporkan yakni persetubuhan atau pencabulan anak di bawah umur anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan atau 82 UU RI No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dalam laporan itu, dugaan pemerkosaan terjadi sejak September 2019 hingga Oktober 2020. Sebenarnya kasus itu terjadi di Kota Tangerang, namun pelaku dan korban warga Tangerang Selatan.

Namun, kata Tri, hingga 11 bulan sejak laporan itu, tak ada perkembangan signifikan dalam proses hukum. Setelah ditekan oleh P2TP2A Kota Tangerang, akhirnya Polres Metro Tangerang Kota melakukan tindakan. Kasus tersebut sudah masuk tahap P21 di Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang.

Ayah tiri korban ditetapkan sebagai tersangka di awal 2021. Namun, polisi tidak menahannya, kala itu. Tri mengungkapkan RMS merupakan seorang pengusaha alat kesehatan (alkes).

Menurut Tri, korban saat ini masih trauma berat, meski pihaknya sudah memberikan pendampingan dan pemulihan mental di rumah aman. "Korban sekarang sulit tidur di malam hari, membatas interaksi, dan ada keinginan untuk membalas dendam," ungkap Tri.

Kondisi korban, imbuhnya, tidak bisa pulih dengan cepat dan membutuhkan proses yang lama. "Masih perlu penanganan psikologi agar dia punya keberanian," kata dia. 

4. Apa alasan polisi tidak menahan tersangka RMS?

Ilustrasi Garis Polisi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dikonfirmasi, Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota Kompol Abdul Rachim mengatakan, ada beberapa alasan pihaknya belum menahan pelaku RMS meski yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka. Alasan itu adalah pelaku dipastikan tidak akan melarikan diri, tidak merusak barang bukti dan sanggup dihadapkan ke pengadilan.

Menurut, Abdul semua penahanan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga tersangka tak mesti harus ditahan.

Sementara itu, Kepala Seksi Pidana Umum untuk Kejari Kota Tangerang Dapot Dariarma mengatakan pihaknya sudah meneliti berkas perkara kasus tersebut. Pihaknya pun telah menyatakan P21.

5. KPAI: pelaku RMS harus dihukum berat

IDN Times/Afriani Susanti

Setelah kasus ini mencuat ke publik, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut bicara dan menekankan agar aparat mempercepat pengusutan kasus ini. Komisioner KPAI, Putu Elvina menegaskan, polisi wajib mengusut kasus ini, apalagi semua bukti yang dilampirkan sudah jelas.

Jika tidak, imbuhnya, akan menjadi masalah di mana akan terbentuk persepsi di tengah masyarakat bahwa penegakan hukum untuk kasus pemerkosaan ini ternyata sangat rumit untuk mendapat keadilan.

Putu mengungkap, banyak kasus serupa yang kemudian mendapat kendala pada proses hukum yang berlarut-larut sehingga, tidak memberikan kepastian terhadap korban yang mengharapkan keadilan.

Bahkan, beberapa kasus serupa justru sempat mendapat arahan dari kepolisian untuk melakukan mediasi antara korban dan pelaku. "Hal ini tidak dapat dibenarkan," kata Putu, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut dia juga menegaskan, kasus pemerkosaan, termasuk kepada anak di bawah umur, bukan termasuk delik aduan. Ini adalah pidana murni sehingga proses hukum tidak bisa dihentikan.

Lantaran bukan delik aduan, Putu pun meminta aparat penegak hukum segera bertindak.  Dia berharap pelaku pemerkosaan di Tangerang ini dapat dihukum lebih berat. Lantaran, pelaku yang seharusnya menjadi subjek pelindung, namun malah memperkosa anak tirinya sendiri.

6. Sidang perdana dan tersangka sakit

ilustrasi sakit perut dan perut kembung (medicalnewstoday.com)

Setelah "mandek" setahun, kasus pemerkosaan ini akhirnya disidangkan perdana pada 12 Oktober 2021. Dalam sidang itu, RMS tak bisa hadir dengan alasan sakit sehingga sidang pun ditunda.

Menurut kuasa hukum korban, Muhammad Rizki Firdaus, pengacara tersangka mengungkap dalam persidangan bahwa RMS menderita hepatitis B kronis. 

Keluarga korban beserta pihak yang mengawal kasus ini pun merasa ragu tentang diagnosa tersangka. Keluarga kemudian menyurati Rumah Sakit Primier Bintaro satu hari pasca jadwal sidang pertama.

Kuasa Hukum korban, Muhammad Rizki Firdaus mengatakan keluarga korban meminta hasil diagnosa dan waktu perawatan tersangka mulai 22 September hingga Oktober 2021. Namun, pihak rumah sakit baru memberikan resume medis tersebut di 22 hingga 23 September.

Pada diagnosa per 22 hingga 23 September itu, tersangka RMS bukan menderita hepatitis B kronis, melainkan dispepsia. Menurut resume medis itu, RMS hanya dirawat satu hari dan diberikan obat lambung saja.

Diketahui, dispepsia merupakan sekumpulan gejala yang dideskripsikan sebagai rasa tidak nyaman pada perut. Seperti perut terasa penuh, kembung, sakit perut, dan nyeri ulu hati. Namun, kata Rizki, perlu ditekankan bahwa dispepsia bukanlah penyakit, melainkan gejala dari penyakit atau gangguan pencernaan.

"Kesimpulannya seperti itu, Itu poinnya. Kalau versi rumah sakit yang disimpulkan ibu korban, itu bukan hepatitis B kronis. Kan waktu di persidangan pengacara terdakwa dia kena hepatitis B kronis dan ternyata bukan itu," jelas Rizki.

Namun demikian, Rizki juga masih menunggu hasil terbaru dari diagnosa tersangka. Klaim diagnosa hepatitis B kronis juga bisa saja benar. Dari informasi yang diperoleh pula, tersangka sudah pulang dari perawatan pada 14 Oktober lalu.

Rizki menuturkan pihaknya akan berupaya menginformasikan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang terkait fakta yang mereka temukan itu. Sehingga, dapat menjadi pertimbangan.

"Tinggal lihat keberpihakan aparat penegakan hukum kepada anak korban ini seperti apa dan kita harapannya pada saat sidang berikutnya kalau alasannya sakit lagi kami minta agar majelis hakim ini detail meneliti berkas rumah sakitnya tidak sesingkat kemarin," urai Rizki.

7. Menjadi terdakwa, RMS terancam hukuman 20 tahun bui

Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Sidang pembacaan dakwaan untuk RMS akhirnya bisa digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A pada Selasa, (19/10/2021).

Sidang yang dipimpin oleh Hakim ketua Arif Budi Cahyono ini dihadiri oleh terdakwa RMS dan kuasa hukumnya. Kemudian, dari pihak korban dihadiri oleh kuasa hukum dan jajaran PT2TP2A Kota Tangsel yang mengawal kasus ini.

Mitra hukum P2TP2A Kota Tangsel, Andre Rizaldy mengatakan dalam sidang Jaksa Penuntut Umum (JPU) Prisilia mendakwa RMS dengan Pasal 81 dan 82 nomor 17 tahun 2016 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Kuasa Hukum Terdakwa RMS, Johnson mengatakan pihaknya masih akan menunggu keterangan saksi-saksi yang akan dihadirkan pada sidang selanjutnya. Pihaknya pun telah memberikan keterangan dalam kasus ini.

Kepala UPT P2TP2A Kota Tangsel, Tri Purwanto mengatakan saksi yang dihadirkan yakni, korban, ibu dan bapak kandung serta kakaknya.

"Untuk korban akan didampingi oleh psikolog. Karena kondisinya saat ini masih sangat Trauma. Dia masih enggak mau ketemu sama orang-orang," katanya.

Berita Terkini Lainnya