Eks Kadis DLH Tangsel Didakwa Korupsi Proyek Sampah Rp21,6 Miliar

- Wahyunoto Lukman dan rekan-rekannya didakwa korupsi proyek sampah Rp21,6 miliar
- Mereka bersekongkol agar PT EPP menang lelang dengan kualifikasi yang tak sesuai
- PT EPP sudah menerima uang Rp75,9 miliar, tapi tak bisa mengerjakan proyek dan membuang sebagian sampah ke tempat yang tidak sesuai kontrak
Serang, IDN Times – Eks Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Wahyunoto Lukman (52) didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek pengangkutan dan pengelolaan sampah yang merugikan negara Rp21,6 miliar.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten, Subardi, menyebut Wahyunoto bersekongkol dengan Direktur PT Ella Pratama Perkasa (EPP) Sukron Yuliadi Mufti (54), serta dua pegawai DLH Tangsel, yakni Zeky Yamani (44) dan Tubagus Apriliadhi Kusumah Perbangsa (35).
Keempat terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Sukron Yuliadi Mufti selaku Direktur Utama PT Ella Pratama Perkara yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yakni merugikan keuangan negara sebesar Rp21,6 miliar,” kata JPU Kejati Banten, Subardi saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (1/10/2025).
1. Mereka didakwa bersekongkol agar PT EPP menang lelang, padahal tak sesuai kualifikasi

Subardi mengatakan persekongkolan para terdakwa bermula pada 20 Mei 2024 saat PT EPP dipilih menjadi pemenang lelang pekerjaan pengangkutan dan pengelolaan sampah sebanyak 144.100 ton dengan nilai kontrak Rp75,9 miliar.
Pemenang lelang itu diumumkan oleh Tubagus yang ketika itu menjabat sebagai pejabat penandatanganan kontrak, namun, terpilihnya perusahaan milik terdakwa Sukron itu diduga hasil kongkalikong dengan Wahyunoto.
Sebelum ikut lelang, Wahyunoto meminta Sukron agar perusahaannya memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) di bidang pengelolaan sampah, selain KBLI pengangkutan sampah. Permintaan itu dipenuhi Sukron dengan mengurus KBLI tambahan pada Januari 2024.
Persiapan PT EPP menjadi penyedia jasa pengelolaan sampah berlangsung serampangan. Perusahaan itu belum memiliki lahan untuk pengelolaan, minim personel, dan tanpa prasarana penunjang memadai.
Pada Februari 2024, Wahyunoto meminta Agus Syamsudin dan Sukron mendirikan CV Bank Sampah Induk Rumpintama, perusahaan pengelolaan sampah yang dimaksudkan untuk mendukung aktivitas PT EPP. Selanjutnya, Agus ditunjuk menjadi direktur utama perusahaan tersebut. Agus merupakan penjaga kebun di tempat tinggal Wahyunoto.
PT EPP sebagai pengelola sampah ternyata hanya memiliki 3 dump truck, padahal dokumen pengadaan mensyaratkan minimal 40 dump truck. PT EPP juga tidak memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan dan pengangkutan sampah.
“PT Ella Pratama Perkasa tidak memiliki tempat pengelolaan sampah sesuai ketentuan yang berlaku akan tetapi tetap terpilih menjadi penyedia,” kata Subardi.
2. PT EPP sudah menerima uang Rp75,9 miliar, tapi tak bisa mengerjakan proyek

Pada saat pekerjaan dimulai, PT EPP tidak melaksanakan pekerjaan dan malah mengalihkan pekerjaannya kepada CV Bank Sampah Induk Rumpintama yang tidak sesuai dengan perjanjian kontrak awal.
Mereka juga sudah menerima pembayaran dari DLH Tangsel sebesar Rp75,9 miliar. Dari jumlah itu sebanyak Rp15,4 miliar dikelola oleh Zeky Yamani yang penggunaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Berdasarkan data yang ada, pembayaran untuk pengelolaan sampah dari PT EPP kepada CV Bank Sampah Induk Rumpintama untuk periode Juni sampai Desember 2024 adalah sebesar Rp25,2 miliar,” katanya.
Pekerjaan pengelolaan dan pengangkutan sampah itu akhirnya benar-benar tidak bisa terlaksana karena CV Bank Sampah pun tidak bisa melakukan pekerjaan karena ada penolakan dari warga setempat.
Mendengar penolakan tersebut, Sukron segera menghubungi Wahyunoto. Wahyunoto lalu mengontak Rega Andriansyah, ASN Disdukcapil Kota Tangerang, untuk mencarikan lahan pembuangan sampah. Mereka bertemu di rumah Zeky Yamani.
Kemudian dipilihlah lahan milik seorang bernama Mahpudin yang lokasinya terlelak di Desa Gintung dan Desa Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang. Lahan itu sebetulnya bukan merupakan tempat pembuangan sampah sementara atau tempat pemrosesan akhir. Sampah yang diangkut ke sana berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeuncang, Kota Tangerang Selatan.
Zeky kemudian meminta Rp15 miliar kepada Sukron dengan alasan untuk membayar Mahpudin sebesar Rp9,3 miliar sebagai kompensasi penggunaan lahannya sebagai tempat pembuangan sampah. Sisanya disebut akan dipakai untuk biaya koordinasi di lapangan.
“Faktanya saudara Mahpurdin hanya menerima uang jasa pembuangan sampah dari Zeky Yamani sebesar Rp1,3 miliar,” katanya.
3. Akhirnya mereka membuang sebagian sampah ke TPA yang tak sesuai kontrak

Pengelolaan sampah akhirnya hanya dikerjakan sebagian, dengan membuang sampah ke PD PBM di TPA Bangkonol, Pandeglang, serta ke PT JBL di Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional Lulut Nambo, Bogor. Pola pembuangan itu tidak sesuai dengan kontrak awal dengan DLH Tangsel.
“Sukron Yuliadi Mufti selaku Direktur PT Ella Pratama Perkasa tidak melaksanakan pekerjaan pengelolaan sampah sehingga terjadi kerugian keuangan negara atau daerah sebesar Rp21,1 miliar,” tuturnya.
Setelah mendengar dakwaan, Sukron dan Zeky menyatakan keberatan dan berencana mengajukan eksepsi pada sidang berikutnya. Sementara itu, Wahyunoto dan Tubagus memilih tidak mengajukan eksepsi.