TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Revolusi Sosial 1946: Kisah Ce Mamat Kamerad dari Banten 

Ce Mamat dan dewan rakyat berhasil ditumpas

Ilustrasi Revolusi (IDN Times/Arief Rahmat)

Serang, IDN Times - Usai diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, situasi keamanan di beberapa wilayah di Indonesia cenderung stabil.

Musababnya, setelah kepemimpinan penjajah Jepang melemah, gerakan-gerakan massa, baik berbasis perjuangan kedaerahan hingga yang ideologis bermunculan. Salah satu gerakan berbasis ideologis yang paling terekam adalah gerakan revolusi sosial kaum komunis.

Baca Juga: 8 Rekomendasi Hotel Murah di Cilegon, Harganya Mulai Rp200 Ribuan 

1. Tan Mala dan gerakan komunis di Banten

Berbagai sumber

Salah satu gerakan revolusi sosial kaum komunis terjadi di Keresidenan Banten atau yang kini dikenal sebagai wilayah Provinsi Banten. Dalam buku Dokter Gerilya (1993) karya Matia Madijah, gerakan kaum komunis di Banten salah satu sebabnya adalah ajaran-ajaran dan konsolidasi tokoh Partai Musyawarah Banyak (Murba) asal Minang, Tan Malaka.

Tan Malaka diketahui sempat mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan pemuda, termasuk utusan pemuda dari Jakarta. Untuk daerah Banten, konsep Tan Malaka yang hendak menggelar aksi massa itu dilaksanakan di bawah kepemimpinan Ce Mamat atau nama aslinya Mohammad Mansur.

2. Pembentukan Dewan Rakyat ala kamerad Ce Mamat

Ilustrasi karya Willem Steelink Jr. tentang suasana pertempuran dalam Pemberontakan Trunojoyo (1674-1680) di Jawa Timur dalam buku cerita De kroon van Mataram (The Crown of Mataram) karya J. Hendrik van Balen yang terbit pada tahun 1890. (Wikimedia Commons)

Berdasarkan tulisan Suharto berjudul Revolusi Sosial di Banten, 1945-1946: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Dampaknya (FIB UI: 1996), semenjak residen Banten era Jepang, Tirtasuyatna melarikan diri dari Banten Jabatan residen menjadi kosong, penunjukan sebagai gantinya belum dilakukan, sedang pejabat tinggi yang ada--yaitu Bupati Serang Raden Hilman Jayadiningrat-- tidak berani mengambil alih tanggung jawab sebagai residen.

Atas desakan Pemuda Angkatan Pemuda Indonedia diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang antara lain KH Akhmad Khatib, KH Syam’un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa.

Dalam perundingan itu, para pemuda mengusulkan kepada Pemerintah RI agar segera mengangkat Akhmad Khatib sebagai Residen Banten dan Syam’un menangani urusan militer.

Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, Akhmad Khatib diangkat sebagai Residen Banten oleh pemerintah pusat melalui sebuah telegram.

Setelah Akhmad Khatib diangkat menjadi residen, yang pertama dilakukan adalah menyusun aparat bawahannya. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, Khatib menunjuk Zulkarnaen Surya Kartalegawa sebagai wakil residen.

Sedangkan untuk jabatan bupati di daerah itu, Khatib meminta pada para bupati lama untuk sementara tetap dalam jabatannya.  Pertimbangannya, dalam masa transisi, para bupati lamalah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan di daerah masing-masing.

Para Bupati itu adalah R Hilman Djajadiningrat sebagai Bupati Serang, Mr Djumhana sebagai Bupati Pandeglang dan R.Hardiwinangun sebagai Bupati Lebak.

Pada suatu hari, sekitar pukul 10.00 pagi, pada waktu di keresidenan berkumpul Akhmad Khatib, Syam’unm dan Abdul Hadi, datang rombongan yang menamakan diri Dewan Rakyat pimpinan Ce Mamat.

Dengan ancaman kasar, mereka memaksa residen untuk membatalkan surat pengangkatan aparat pemerintahan di seluruh Keresidenan Banten dan agar menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat.

Karena serangan yang tiba-tiba dan ancaman itu, Residen terpaksa menyetujui keinginan Dewan Rakyat itu.

3. Gerombolan komunis membunuh Bupati Lebak

Ilustrasi Revolusi (IDN Times/Arief Rahmat)

Singkat cerita, Ce Mamat memimpin orang-orang beraliran komunis di Banten melalui Dewan Rakyat dan aparat-aparat keamanan di bawah kendalinya. Dalam aksinya, Ce Mamat banyak melakukan tindakan ekstreem seperti mempersekusi para pegawai yang pernah bekerja kepada penjajah.

Sampai yang paling menggegerkan adalah penculikan dan pembunuhan Bupati Lebak, Ardiwinangun.

Kala itu, Dewan Rakyat melaksanakan fungsinya sebagai badan eksekutif, sedangkan residen dibuatnya hanya mempunyai kedudukan simbolis saja. Dewan Rakyat membentuk kepolisian sendiri, yang dikenal dengan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian menjadi Polisi Khusus. Dewan juga membentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan.

Dewan mengambil alih cadasngan beras, gula, garam dan tapioka dari Jepang dan membagi-bagikannya kepada rakyat dan mengatur penggeladahan rumah-rumah priyayi.

4. Hatta yang pendiam yang lantang teriakan 'Bubarkan Dewan Rakyat'

Ilustrasi Mohammad Hatta (IDN Times/Arief Rahmat)

Kejadian di Banten itu mendorong pemerintah pusat untuk menanganinya. Pada tanggal 9 hingga 11 Desember 1945, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama Jaksa Agung, Sekretaris Negara, dan pejabat lainnya, meninjau daerah Banten.

Sebelum pidato Presiden dan Wakil Presiden RI, di hadapan ribuan rakyat dan wakil-wakil, rakyat Banten menegaskan kesanggupan mereka untuk mempertahankan Republik Indonesia.

Mereka menyatakan berdiri di belakang pemerintah, melawan setiap penjajahan bangsa lain. Seorang wakil rakyat menyatakan dengan tegas bahwa desas-desus yang mengatakan bahwa Banten mau berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Pemerintah Pusat, tidak benar. Dikatakan bahwa seluruh rakyat Banten berdiri di belakang Pemerintah RI dan siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai akhir jaman.

Wakil presiden Mohammad Hatta yang dikenal sebagai sosok pendiam bahkan dalam pidatonya mengharapkan agar rakyat dari berbagai lapisan dan golongan memperkuat persatuan untuk menegakkan negara Indonesia.

Hatta juga mengingatkan agar rakyat mengikuti petunjuk pemerintah dan tidak berbuat menurut kehendak sendiri, karena perbuatan demikian adalah anarki. Hatta juga meminta rakyat Banten untuk menentang setiap orang yang bertindak semaunya sendiri.

"Untuk mengatur dan menyusun penghidupan dan kesejahteraan rakyat diperlukan disiplin yang kuat. Hatta, di luar kebiasaannya berbicara, menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru agar dibubarkan," tulis Suharto dalam penelitiannya.

Beberapa waktu kemudian, penentangan terhadap tindakan Dewan Rakyat pimpinan kamerad Ce Mamat terus meningkat, hingga eskalasi berlanjut dengan aksi militer dari TKR.

Baca Juga: Brigjen Kyai Haji Syam'un, Ulama Pejuang di Tanah Jawara 

Berita Terkini Lainnya