Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jejak Tata Ruang Tangsel di Era Kolonial Hindia Belanda (1)

Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Intinya sih...
  • Kecamatan Setu lampau: Sawah, kampung di tepian Cisadane, dan jejak kebun karet pemerintah
  • Kecamatan Pamulang lampau: Situ Cileduk, petak sawah besar, dan tanah-tanah erfpacht
  • Nantikan Jejak Tata Ruang Tangsel di era Kolonial Hindia Belanda
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tangerang Selatan, IDN Times – Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang Selatan tengah dibahas ulang untuk menjawab persoalan kekinian: banjir, kemacetan, hingga kebutuhan transportasi publik, seperti MRT dan LRT. Namun jauh sebelum kota ini berkembang sebagai kawasan urban penyangga Jakarta, wilayah Tangsel sudah memiliki bentang ruang yang khas sebagai kawasan pinggiran pusat pemerintahan pada masa kolonial.

Jejak historis itu terekam jelas dalam Dutch Colonial Map tahun 1938, peta buatan pemerintah kolonial yang kemudian disalin ulang oleh U.S. Army pada 1943. Wilayah selatan Tangsel yang kini dipenuhi perumahan, cluster, dan kawasan komersial elite, dulunya merupakan hamparan kebun karet milik pemerintah, sawah yang terhubung irigasi, serta jalan darat yang menghubungkan kampung-kampung di Serpong, Pamulang dan sebagian Ciputat.

1. Kecamatan Setu lampau: Sawah, kampung di tepian Cisadane, dan jejak kebun karet pemerintah

Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Jika melihat area selatan bagian barat daya Tangsel, wilayah yang kini menjadi Kecamatan Setu, peta kolonial menunjukkan deretan kampung tua yang sebagian besar terletak di tepian Sungai Cisadane. Nama-nama seperti Kranggan, Kotjeak (Koceak), dan Tjipeutjang (Cipeucang) muncul sebagai titik permukiman pada masa itu.

Hamparan sawah mendominasi lanskapnya, terutama di Cipeucang yang kini berubah drastis menjadi kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang. Dari peta terlihat bahwa hanya Kranggan dan Koceak yang menunjukkan kepadatan pemukiman mencolok, sementara wilayah lainnya dicatat sebagai area dengan penduduk jarang.

Di antara tiga perkampungan itu tampak jaringan kali dan irigasi yang berkelindan seperti akar. Seluruh aliran itu bermuara ke Sungai Cisadane dan menjadi nadi utama pengairan sawah. Sistem irigasi kolonial ini menjadi bukti bahwa Setu di masa lalu merupakan kawasan agraris yang hidup dari produksi pangan lokal.

Bagian tengah wilayah Setu tercatat sebagai kawasan yang lebih variatif. Nama-nama seperti Rawapitjung, Setoe, Sengkol, Kademangan, dan Serpong Lengkong muncul sebagai penanda wilayah. Namun berbeda dari bagian barat, wilayah ini justru didominasi oleh G.R.O (Gouvernment Rubber Ondernemings) atau perkebunan karet milik pemerintah kolonial.

Letaknya diperkirakan berada di wilayah yang kini menjadi kawasan BRIN, Institut Indonesia, dan Taman Tekno BSD. Irigasi dan anak-anak kali masih terlihat, tetapi sawah tidak sebanyak di tepian Cisadane; kepadatan penduduk pun tampak lebih jarang.

Sementara itu, bagian barat Kecamatan Setu ditandai oleh keberadaan Kali Djeletereng (Jeletreng), serta kampung Babakan, Tjoeroeg, dan Paboearan (Pabuaran). Wilayah ini digambarkan penuh oleh jaringan kali dan irigasi yang menyebar seperti serabut dari Kali Jeletreng.

Di sepanjang serabut air itu terbentang petak-petak sawah yang luas. Permukiman padat hanya terlihat di Tjoeroeg yang berada tepat di tengah lingkar sawah dan tepian Jeletreng serta sebagian kecil di Pabuaran. Wilayah lainnya dicatat sebagai area dengan penduduk jarang, sekaligus menunjukkan kontur tanah yang tidak rata.

2. Kecamatan Pamulang lampau: Situ Cileduk, petak sawah besar, dan tanah-tanah erfpacht

Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Masuk ke kawasan tenggara Tangsel, yang kini sebagai Kecamatan Pamulang dan sebagian Ciputat pada peta tahun 1938 menunjukkan bahwa bagian barat wilayah ini ditandai oleh Kali Angke, lengkap dengan perbedaan elevasi tanah yang signifikan.

Nama-nama seperti Pondok Salak, Pondok Benda, dan Parakan muncul dalam peta, yang sebagian lahannya diberi tanda R.v.E (Rechten van Erfpacht) atau status tanah hak guna usaha di masa Hindia Belanda. Hampir tak terlihat pemukiman padat di titik ini, tetapi petak-petak sawah membentang sepanjang aliran Kali Angke.

Bagian tengah Pamulang tampak jauh lebih mencolok, terutama karena kehadiran Sitoe Tjiledoek (Situ Cileduk) yang besar dan memiliki bentuk unik menyerupai Pulau Sulawesi namun memiliki cabang di bagian baratnya, dan memiliki dua pulau kecil di tengahnya. Di sekeliling situ tersebut, di sisi utara, barat, dan selatan hamparan sawah tampak luas dengan saluran irigasi buatan yang terhubung langsung dengan kawasan yang kini dikenal sebagai Cinangka dan Serua di Kota Depok.

Peta tersebut menunjukkan bahwa pusat permukiman padat terdapat di bagian barat, wilayah yang kini berada di sekitar barat Jalan Pajajaran, utara Jalan Dr. Setiabudi, dan sisi selatan Situ Pamulang. Permukiman padat itu diapit sawah yang mengisi ruang-ruang antar kampung. Sebaliknya, wilayah timur Pamulang, yang kini menjadi kawasan Perumahan Pamulang Permai dulu merupakan tanah kosong berstatus erfpacht dan area jarang penduduk.

Pada sisi barat Pamulang dan sebagian Ciputat, peta kolonial menandai keberadaan jalan utama yang kini menjadi Jalan Raya Jakarta–Bogor. Di sisi timurnya, terlihat titik-titik sawah, lahan belukar, serta permukiman kecil yang tersebar.

Nama-nama lama seperti Pondok Tjabe Oedik, Rawalindoeng, Doekoe, Tjipajoeng, dan Pondok Tjabek Hilir tercatat dalam peta. Pemukiman padat paling besar berada di sekitar Tjipajoeng. Di seluruh wilayah ini, sawah-sawah tampak dialiri saluran air dari selatan, sementara Kali Pesanggrahan membelahnya dari selatan ke utara.

3. Nantikan Jejak Tata Ruang Tangsel di era Kolonial Hindia Belanda

Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Peta berjudul Paroeng koleksi Dutch Colonial Map (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Namun jejak kolonial Tangerang Selatan tidak berhenti di wilayah selatan saja. Jika pada bagian pertama ini kita menelusuri Setu, Pamulang dan sebagian Ciputat sebagai lanskap agraris dengan situ, sawah, kebun karet, dan kampung-kampung yang bertumpu pada aliran kali, maka pada Part 2 nanti pembaca akan diajak menelusuri wajah utara Tangsel yang sama sekali berbeda.

Kawasan yang kini dikenal dengan nama besar BSD, Alam Sutera, hingga Bintaro, ternyata memiliki sejarah tata ruang yang jauh dari gemerlap properti modern. Bagaimana jejak kolonial membentuk, membatasi, atau justru tidak menyentuh kawasan yang kini menjadi pusat pertumbuhan real estat terbesar di Jabodetabek itu? Jawabannya akan hadir pada lanjutan tulisan ini.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ita Lismawati F Malau
EditorIta Lismawati F Malau
Follow Us

Latest News Banten

See More

Jejak Tata Ruang Tangsel di Era Kolonial Hindia Belanda (1)

23 Nov 2025, 07:39 WIBNews