Warga Disiplin Memilah Sampah, Beban TPA Cipeucang Berkurang

- TPS3R Batan Indah berhasil menekan kiriman sampah ke TPA Cipeucang dari 25 menjadi 4 bak amrol per bulan sejak warga rutin memilah sampah.
- Kedisiplinan warga dibangun lewat sosialisasi berjenjang melibatkan RT/RW dan aturan tegas sampah tak dipilah tidak diangkut.
- Pemilahan dari rumah mempermudah pengolahan, meningkatkan bahan organik untuk maggot, dan mendukung target zero waste.
Tangerang Selatan, IDN Times - Tempat Pengolahan Sampah Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R) Batan Indah di Kelurahan Kademangan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa berjalan efektif dan berkelanjutan.
Sejak berdiri pada 2013, fasilitas ini berhasil menekan drastis jumlah sampah yang dikirim ke TPA Cipeucang, dari semula sekitar 25 bak amroll per bulan menjadi hanya empat bak amroll yang hanya berisi residu.
“Yang kita buang ke TPA sekarang itu hanya residu. Dari yang dulu 25 amroll, sekarang tinggal empat amroll per bulan,” kata Sunarto, pengelola TPS3R Batan Indah, Kamis (18/12/2025).
1. Perlu kedisiplinan warga agar TPS3R berjalan optimal

TPS3R ini dikelola oleh 13 orang pekerja. Tiga di antaranya merupakan petugas yang ditugaskan langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. Selebihnya adalah pekerja yang diupah secara urunan untuk bertugas operasional harian, mulai dari pengangkutan, pemilahan, hingga pengolahan.
Menurut Sunarto, kunci keberhasilan TPS3R Batan Indah bukan semata-mata alat atau teknologi, melainkan perubahan perilaku warga. Semua dimulai dari pemilahan sampah sejak dari rumah.
“Kita bisa cukup lancar karena sudah sosialisasi pemilahan dari hulu. Sampah dari 1.150 KK itu dipilah dari rumah,” ujarnya.
Namun, proses menuju kedisiplinan itu tidak mudah. Di awal, Sunarto mengakui pendekatan personal sering menemui jalan buntu. Warga mempertanyakan mengapa mereka harus memilah sampah padahal sudah membayar iuran.
“Saya pernah mikir, kalau saya yang ngomong, warga bilang, ‘Pak, saya kan sudah bayar, masa disuruh milah repot-repot.’ Bahkan ada yang nyeletuk, ‘Kamu itu siapa?’,” kata Sunarto.
Dari situ, ia mengubah strategi. Sosialisasi tidak lagi hanya dilakukan oleh pengelola TPS3R, tetapi melibatkan struktur paling dekat dengan warga: RT dan RW.
“Saya pakai taktik RW. RW itu aparat pemerintah. Ada daya paksa. Kalau saya senjatanya tumpul, kalau RW itu pelurunya tajam,” ujarnya.
Sosialisasi dilakukan secara bertahap dan masif. Seluruh 22 RT dalam satu RW dikumpulkan. Setelah diberi waktu satu minggu, sosialisasi dilakukan dari pintu ke pintu, RT demi RT, selama 22 hari berturut-turut.
Dalam setiap pertemuan, warga diajari cara memilah sampah secara sederhana: organik dan anorganik. Sampah dapur dimasukkan ke plastik hitam, sementara sampah lain dipisahkan.
“Kita juga tegas. Kalau tidak dipilah, tidak diangkut. Awalnya ribut. Tapi itu tekanan yang memang harus ada,” kata Sunarto.
Hasilnya, menurut dia, mencolok. Sekitar 80 persen warga kini tertib memilah sampah. Bagi Sunarto, ini menjadi indikator keberhasilan utama.
“Orang Indonesia itu sebenarnya bisa. Kalau aturannya tegas dan ada sanksinya, ya manut,” katanya, seraya membandingkan dengan perubahan perilaku penumpang kereta setelah aturan ditegakkan secara konsisten.
2. Pemilahan sampah permudah operasional TPS3R

Pemilahan dari rumah mengubah seluruh alur pengolahan sampah di TPS3R. Di kendaraan pengangkut, sampah sudah dipisahkan antara organik dan anorganik. Setibanya di TPS3R, sampah organik langsung diolah, bukan lagi dicampur dan dibuang.
Perubahan ini berdampak besar pada pengolahan sampah organik, terutama untuk budidaya maggot. Jika sebelumnya Sunarto hanya bisa mengumpulkan tiga hingga lima ember sisa nasi dan organik setiap hari, kini jumlahnya melonjak drastis.
“Sekarang bisa sampai 40 ember. Itu semua jadi pakan maggot,” ujarnya.
Sampah organik diayak menggunakan alat pemilah, lalu digiling menggunakan mesin hingga menjadi bubur. Bubur inilah yang dimanfaatkan sebagai pakan maggot. Menurut Sunarto, lonjakan bahan organik ini terjadi karena sampah sudah bersih sejak dari sumbernya.
“Dulu orang lebih milih ambil botol sama kardus, yang organiknya dibuang ke residu. Sekarang enggak. Organiknya benar-benar organik,” katanya.
Sunarto mengakui, pengelolaan maggot masih memiliki keterbatasan, terutama soal tenaga dan biaya. Namun ia menyimpan rencana jangka panjang yang lebih besar.
“Kita ingin ke arah TPST, tempat pengolahan sampah terpadu. Sampah masuk ke sini, keluarannya bisa ayam, lele, pupuk, bahkan bibit tanaman,” katanya.
3. Zero waste jadi target TPS3R ini

Sunarto mengungkapkan, target ambisius pihaknya adalah zero waste. “Kalau bisa, tidak ada lagi yang ke TPA Cipeucang,” ujar Sunarto.
Baginya, manfaat terbesar TPS3R bukan soal keuntungan finansial, melainkan pengurangan beban TPA. Ia menilai sampah organik adalah sumber utama persoalan, karena menimbulkan bau dan sulit ditangani jika tercampur.
“Biang kerok sampah itu organik. Bau. Bank sampah juga enggak mau nerima yang bau,” katanya.

















