Katolik di Tanah Santri: Damai dan Toleransi di Labuan Pandeglang
Labuan contoh baik toleransi antarumat beragama di Banten
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Pandeglang, IDN Times - Kehidupan antarumat beragama khususnya warga Katolik dan Islam di wilayah Labuan, Kabupaten Pandeglang sangat toleran dan penuh kedamaian. Hal itu tergambarkan jelas melalui buku yang ditulis seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta bernama Deni Iskandar.
Tak hanya toleransi dan kedamaian, buku hasil penelitian pemuda kelahiran Pandeglang ini juga menunjukkan adanya kontribusi umat Katolik di Labuan dalam pendidikan di Labuan dengan hadirnya sekolah Yayasan Mardiyuana Keuskupan Sufragan Bogor.
Baca Juga: Tempat Wisata Pandeglang Ini Gak Jauh dari Jakarta, Yuk Berlibur!
1. Labuan sebagai wilayah persinggahan
Deni Iskandar dalam bukunya menerangkan, secara historis, Labuan berasal dari kata "Labuhan" dengan arti kata Persinggahan atau tempat berlabuh. Pada abad XIV Labuan merupakan sebuah tempat persinggahan para pedagang yang berasal dari Tiongkok dan Portugis.
Selain berdagang, orang-orang Portugis dan Tiongkok juga singgah dan menetap di Labuan. Oleh karena itu, bila melihat latar belakang masyarakat Labuan saat ini. Masyarakat Labuan, terdiri dari masyarakat asli dan pendatang.
Sebagai wilayah persinggahan, pada konteks kehidupan beragama, masyarakat asli di Labuan tidak pernah melakukan penolakan kepada masyarakat pendatang yang notabebenya beragama non muslim. Termasuk kepada masyarakat pendatang yang memeluk agama Katolik.
"Semua pemeluk agama Katolik di Labuan maupun di luar Labuan dalam lingkup Kabupaten Pandeglang, adalah masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Tionghoa," tulis Deni dalam bukunya.
Berdasarkan data Stasi tahun 2018, jumlah umat Katolik di Labuan hanya ada 108 orang dan itu terdiri dari 31 Kepala Keluarga (KK). Jumlah ini, terhitung paling sedikit, dari jumlah pemeluk agama di luar Katolik. Seperti halnya pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, Hindu-Buddha, dan Konghuchu.
Baca Juga: Tempat Makan di Pandeglang, Wisatawan Wajib Datangi
Sementara saat diwawancarai, Deni Iskandar menyebut hadirnya Lembaga Pendidikan bernama Yayasan Mardiyuana milik keuskupan Sufragan Bogor ini, adalah satu karya nyata umat Katolik di Labuan dan Yayasan ini berdiri sejak Tahun 1959.
“Nah, uniknya, di Labuan ini meskipun kota Santri, namun justru di dalamnya ada semua pemeluk agama, salah satunya pemeluk Agama Katolik. Dan kehadiran Umat Katolik di Labuan ini, sepanjang sejarahnya, tidak pernah diganggu, bahkan pada saat adanya peristiwa Cap Gedor Tahun 1965 dan 1998, masyarakat Labuan ini justru bahu membahu saling melindungi, terutama sikap masyarakat Labuan terhadap pendatang, yang itu beragama di luar Islam,” ungkapnya.
Dikatakan Deni, umat Katolik di Labuan ini, semuanya adalah Pendatang. Tapi meskipun kondisinya demikian, kehadiran umat Katolik di Labuan, yang notabenenya sebagai Kota Santri, itu diterima oleh masyarakat setempat.