AJI Usulkan HPN Diubah Jadi Hari Kemerdekaan Pers Nasional

- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta Hari Pers Nasional diganti menjadi Hari Kemerdekaan Pers Nasional agar lebih inklusif.
- Hari tersebut harus merangkul semua pegiat pers, mendorong pembicaraan soal kesejahteraan, ancaman kekerasan, dan kerentanan pekerja media.
- Permintaan ini didasari oleh keinginan agar peringatan hari pers mencerminkan nilai kebebasan dan kemerdekaan yang terkandung dalam UU Pers.
Tangerang, IDN Times - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari diganti menjadi Hari Kemerdekaan Pers Nasional. Pergantian i tu bertujuan agar peringatan tersebut lebih inklusif.
AJI menilai selama ini HPN berlangsung justru tidak inklusif karena sekadar perayaan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) alias tidak mencerminkan kepentingan organisasi pers secara keseluruhan.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida mengatakan, peringatan hari pers harusnya tak sekadar selebrasi atau seremoni. Selain merangkul semua pegiat pers, hari tersebut harusnya bisa mendorong pembicaraan soal kesejahteraan, ancaman kekerasan, dan kerentanan pekerja media.
“Sikap AJI jelas dari dulu menolak HPN yang nggak inklusi karena dianggap organisasi yang lain kesannya di luar itu. Perayaannya masih cenderung seremonial,” kata Nani pada Selasa (11/2/2025).
1. Hari Kemerdekaan Pers lebih inklusif

Nany mengatakan, Hari Kemerdekaan Pers Nasional itu akan lebih inklusif karena tak akan ada yang mengklaim hari raya pers hanya bagian dari satu organisasi, tapi seluruh pegiat pers di tanah air. Selain itu, Hari Kemerdekaan Pers Nasional ini juga akan menjadi ejawantah dari nilai kebebasan dan kemerdekaan yang terkandung dalam UU Pers.
Karena itu, AJI menilai setelah keluar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang membuka keran pertumbuhan organisasi dan media di Indonesia seharusnya peringatan Hari Pers Nasional perlu ditinjau ulang.
Pada 10 Februari 2018, AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pernah mendesak Dewan Pers untuk merevisi tanggal Hari Pers Nasional. Peringatan HPN pada 9 Februari dinilai sebagai salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers.
Pada pokoknya, AJI dan IJTI juga meminta Presiden Jokowi mencabut SK Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan 9 Februari sebagai HPN. Menurut AJI dan IJTI, ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, yaitu dasar hukum dari Keppres yang sudah tidak berlaku lagi.
2. Kebebasan pers seharusnya meliputi kebebasan untuk menentukan peringatan hari pers

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengakui, bahwa Hari Pers Nasional harusnya menjadi bentuk eksistensi yang lebih inklusif mencakup seluruh insan pers, termasuk jurnalis, konstituen Dewan Pers, ataupun komunitas pers di luar institusinya.
Ia menekankan bahwa kebebasan pers seharusnya meliputi kebebasan untuk menentukan peringatan hari pers, tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.
"Substansi dari perayaan pers adalah bagaimana menguatkan pers dari hari ini untuk ke depan," ujar Ninik.
Dewan Pers pun sepakat untuk membuka peluang perubahan dalam penetapan perayaan Hari Pers agar lebih inklusif dan mencerminkan semangat kebebasan pers secara menyeluruh.
3. Perayaan HPN selama ini selalu mengedepankan kepentingan PWI

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro mengatakan institusinya juga mendorong peringatan hari pers yang lebih substansial.
“Kami Dewan Pers sangat terbuka untuk bisa dijadikan sebagai sebuah hari yang monumental untuk memperingati pers yang lebih substansial dan bisa diletakkan ruhnya terhadap seluruh masyarakat pers,” kata dia.
Menurut Sapto, perayaan HPN selama ini lebih menonjolkan kepentingan PWI dibandingkan membahas isu-isu krusial, seperti kesejahteraan dan kebebasan pers. Fenomena ini, kata dia, bisa mereduksi kapasitas dan kualitas Hari Pers Nasional.
"Sorry to say, dalam beberapa kesempatan, kepengurusan PWI saat ini justru lebih menekankan bahwa HPN adalah hari lahir organisasi mereka, alih-alih menjadikannya sebagai perayaan milik bersama,” kata Sapto.