TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penanganan Bencana Buruk, Salah Satu Sebab Pemberontakan di Banten 

Geger Cilegon jadi peristiwa sejarah pasca letusan Krakatau

Anak Gunung Krakatau (ANTARA FOTO/Atet Dwi Pramadia)

Pandeglang, IDN Times - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat kawasan Selat Sunda atau pesisir barat Provinsi Banten sudah sembilan kali mengalami bencana gempa atau tsunami jika dihitung dari Mei 1891.

Namun, salah satu bencana yang paling melekat di ingatan warga Banten adalah meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Dampak letusan ini menimbulkan tsunami dasyat hingga menewaskan ribuan orang.

Tak hanya itu, bencana besar itu juga mengakibatkan konflik sosial politik antara para tokoh agama dan kolonialis Belanda. Peristiwa itu kini dikenal sebagai Geger Cilegon atau secara umum sebagai Geger Banten, perlawanan ulama dan petani Banten melawan pemerintahan kolonial akibat kemiskinan yang salah satu sebabnya penanganan pasca bencana pemerintah yang buruk.

Baca Juga: Petani, ulama dan Geger Cilegon: Titik Balik Perjuangan Rakyat Banten

1. Letusan krakatau, kekalahan Napoleon Bonaparte dan pemberontakan ulama petani Banten

Ilustrasi Napoleon Bonaparte (pixabay.com/Lutz Peter)

Disarikan dari berbagai sumber, letusan Krakatau mengakibatkan kejadian bencana yang berkepanjangan seperti turunnya suhu udara menjadi 1,2 Celsius dan iklim serta cuaca ekstrem tidak beraturan dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.

Diceritakan pula bahwa abu letusan Krakatau yang membuat langit di Eropa menjadi gelap menjadi salah satu penyebab kekalahan pasukan Napoleon Bonaparte dalam perang di daratan Eropa.

Sementara di Banten pada tahun 1888 terjadi sebuah peristiwa pemberontakan yang dipimpin Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid atau KH Wasyid terhadap pemerintahan koloni Belanda.

2. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah setelah bencana jadi salah satu sebab pemberontakan

Ilustrasi karya Willem Steelink Jr. tentang suasana jatuhnya Kediri tahun 1678 di tengah Pemberontakan Trunojoyo (1674-1680) di Jawa Timur dalam buku cerita De kroon van Mataram (The Crown of Mataram) karya J. Hendrik van Balen yang terbit pada tahun 1890. (Wikimedia Commons)

Salah satu musabab peristiwa ini adalah terjadinya krisis kepercayaan masyarakat Banten terhadap pemerintahan Hindia Belanda utamanya usai terjadi bencana akibat letusan Krakatau.

Dari persoalan ekonomi, korban jiwa, hingga respon pemerintah kolonial yang cenderung lambat sehingga memperburuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, telah memicu keresahan-keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat lokal. 

Baca Juga: [BREAKING] Gempa M 6,7 Guncang Banten dan Sekitarnya 

3. Meski begitu, soal kemelaratan bukan satu-satunya alasan

IDN Times/Muhamad Iqbal

Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 menyebut persoalan ekonomi dan sosial bukan salah satu alasan terjadinya perlawanan tersebut.

"Kita harus mengakui bahwa bukan hanya keburukan-keburukan ekonomi seperti adanya orang-orang yang lapar, yang melarat atau yang tidak mempinyai tanah, akan tetapi juga ketersingkiran-ketersingkiran yang disebabkan karena kehilangan kedudukan sosial, hak-hak politik, atau kehilangan warisan kultural, bisa menimbulkan frustasi yang tajam. Kita tidak boleh mengabakan kenyataan-kenyataan bahwa perasaan dihalang-halangi di bidang politik dan kultural kadang-kadang lebih penting daripada perasaan menderita di bidang ekonomi," tulis Sartono dalam bukunya.

Baca Juga: BPBD: Kondisi Banten Pasca Gempa Sudah Kondusif

Berita Terkini Lainnya