7 Kebiasaan Orangtua yang Bisa Bikin Anak Membangkang

- Anak belajar dari konsekuensi logis, bukan ancaman kosong
- Kejelasan dan konsistensi lebih efektif daripada peringatan berulang-ulang
- Penjelasan dan hubungan emosional yang kuat membantu anak memahami larangan
Pernah merasa frustrasi karena anak terus membantah, tidak mendengarkan, atau malah sengaja melakukan hal yang dilarang? Tenang, kamu tidak sendiri. Banyak orangtua mengalami hal yang sama dan bertanya-tanya, “Kenapa anakku susah sekali menurut, ya?”
Sebelum menyalahkan anak, ada baiknya kamu refleksi sejenak. Bisa jadi, tanpa sadar, ada pola pengasuhan yang justru membuat anak menjauh, tidak patuh, dan sulit diajak kerja sama. Padahal, setiap anak pada dasarnya punya keinginan untuk menyenangkan orangtuanya. Mereka ingin dicintai, dipahami, dan diterima, tapi kadang cara kamu merespons justru membuat mereka merasa sebaliknya.
Berikut kebiasaan yang harus dihindari orangtua, karena bisa membuat anak menjadi tidak menurut, seperti disarikan dari familyfelicity.com, healthychildren.org, dan timesofindia.indiatimes.com. Simak baik-baik ya, siapa tahu selama ini kamu tanpa sadar melakukannya.
1. Kamu memberikan ancaman kosong

Kamu mungkin pernah berkata, “Kalau mainannya nggak diberesin, Ibu buang semua ya!” Tapi nyatanya, mainan tetap ada di tempatnya dan kamu tidak membuangnya. Tahukah kamu, ancaman kosong seperti ini memberi pesan bahwa kata-kata orangtua tidak perlu dianggap serius.
Anak akan belajar bahwa mereka bisa mengabaikan instruksi, karena toh tak akan ada konsekuensinya. Padahal, yang dibutuhkan anak bukan ancaman, tapi kejelasan dan konsistensi.
Daripada memberi ancaman yang tidak ditepati, lebih baik gunakan konsekuensi logis yang bisa langsung mereka pahami. Misalnya, kalau anak tidak mau membereskan mainan, maka mainan tersebut disimpan sementara dan baru boleh dimainkan keesokan harinya. Konsekuensi seperti ini tidak menyakitkan, tapi mengajarkan tanggung jawab secara nyata.
Yang penting, konsekuensi tersebut harus masuk akal, berhubungan langsung dengan perilaku anak, dan dilakukan dengan tenang, bukan dengan marah-marah. Ini akan membuat anak memahami bahwa setiap tindakan memiliki akibat, dan mereka belajar membuat keputusan dengan lebih bijak. Di sinilah disiplin yang sehat terbentuk bukan karena takut dihukum, tapi karena anak belajar bertanggung jawab atas pilihannya.
2. Kamu memberi terlalu banyak memberi peringatan

Terlalu sering mengulang-ulang peringatan justru membuat anak bingung. Misalnya, “Awas ya, Ibu hitung sampai tiga!” lalu setelah hitung tiga, tidak ada tindak lanjut. Ini membuat anak bertanya-tanya, mana yang sebenarnya serius dan mana yang hanya gertakan belaka.
Ketika orangtua terlalu sering mengulang instruksi tanpa aksi, anak jadi belajar bahwa mereka bisa menunda atau bahkan mengabaikan permintaan orangtua. Akhirnya, anak hanya akan melakukan sesuatu jika sudah diteriaki atau dipaksa.
Yang dibutuhkan adalah kejelasan dan tindakan yang konsisten. Kalau sudah bilang satu kali dan anak belum merespons, ambil tindakan logis. Misalnya, “Kalau kamu belum mandi dalam lima menit, mainannya Ibu simpan dulu ya.” Jangan menunggu sampai berkali-kali mengulang karena semakin sering kamu memperingatkan tanpa tindakan, semakin besar kemungkinan anak tidak akan patuh.
3. Kamu tidak menjelaskan konsekuensi

Banyak orangtua langsung melarang anak tanpa menjelaskan alasannya. “Jangan lompat-lompat!” atau “Jangan lari-lari!” Tapi anak-anak tidak memahami makna larangan jika mereka tidak tahu apa akibatnya.
Anak butuh penjelasan yang sederhana dan masuk akal sesuai usianya. Misalnya, “Kalau kamu lompat di sofa, nanti bisa jatuh dan kepalamu terbentur meja.” Penjelasan ini membantu anak memahami bahwa larangan bukan karena orangtua galak, tapi karena ada konsekuensi nyata yang merugikan dirinya.
Dengan menjelaskan konsekuensi dalam bahasa yang mudah dipahami, anak akan belajar berpikir sebelum bertindak. Mereka akan tahu bahwa tindakan mereka berdampak, dan ini adalah kunci agar mereka bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
4. Kamu kurang membangun koneksi dan kedekatan

Anak yang merasa tidak dekat dengan orangtuanya cenderung tidak menurut. Ini bukan karena mereka nakal, tapi karena koneksi emosional yang seharusnya menjadi dasar kepercayaan tidak terbangun dengan baik.
Jika merasa hubungan dengan anak mulai renggang, cobalah luangkan waktu setiap hari untuk benar-benar hadir bersama mereka. Tidak harus lama, cukup 15-30 menit untuk ngobrol, bermain, atau melakukan sesuatu yang mereka suka, tanpa gangguan apapun.
Koneksi yang kuat membangun rasa saling percaya. Anak jadi lebih mudah mendengarkan dan mengikuti arahan orangtuanya, bukan karena takut, tapi karena mereka merasa dihargai dan dimengerti.
5. Kamu melabeli anak secara negatif

Kalimat seperti “Dasar kamu anak nakal”, “Kamu memang keras kepala” atau “Kamu nggak pernah nurut ya!” adalah bentuk label yang bisa tertanam dalam pikiran anak. Tanpa disadari, anak akan mulai percaya bahwa dirinya memang seperti itu.
Label negatif bisa terwujud. Anak yang sering disebut keras kepala akan lebih sering menunjukkan sikap keras kepala karena merasa itulah identitasnya. Padahal, mungkin mereka hanya sedang bingung atau lelah.
Alih-alih memberi label, coba validasi perasaan mereka dan beri arahan dengan lembut. Misalnya, “Ibu tahu kamu sedang kesal karena harus berhenti main, tapi sekarang waktunya makan. Setelah itu kamu bisa lanjut lagi, ya.” Dengan begitu, anak merasa dihargai dan lebih terbuka untuk mendengarkan.
6. Lingkungan rumah yang penuh ketegangan

Anak yang tumbuh dalam rumah penuh konflik, pertengkaran, atau tekanan, cenderung lebih mudah memberontak. Mereka menyerap energi negatif di sekitar mereka dan mengekspresikannya dalam bentuk perilaku tidak patuh.
Stres dalam rumah tangga baik karena masalah finansial, pernikahan, atau beban kerja bisa membuat anak merasa tidak aman. Dan rasa tidak aman ini akan muncul dalam bentuk perilaku yang sulit diatur, karena anak tidak tahu bagaimana cara menyalurkan emosi mereka.
Sebisa mungkin, ciptakan suasana rumah yang damai. Selesaikan konflik dengan diskusi sehat, bukan dengan teriakan atau kekerasan. Anak belajar dari apa yang ia lihat. Kalau mereka melihat kamu menyelesaikan masalah dengan tenang, mereka juga akan belajar melakukan hal yang sama.
7. Tidak konsisten dengan aturan

Pernah satu waktu membolehkan anak makan sambil nonton, lalu keesokan harinya melarang keras? Inilah yang disebut inkonsistensi dan itu sangat membingungkan untuk anak.
Anak butuh aturan yang jelas dan konsisten untuk merasa aman. Jika hari ini boleh, besok tidak boleh, mereka akan bingung mana yang sebenarnya boleh dan mana yang tidak. Akhirnya, mereka akan memilih untuk mengikuti keinginannya sendiri.
Sebagai orangtua, kamu perlu menetapkan batasan yang jelas dan menegakkannya secara konsisten. Boleh saja ada fleksibilitas dalam kondisi tertentu, tapi beri penjelasan kenapa kali ini berbeda. Anak yang tahu apa yang diharapkan darinya akan lebih mudah menyesuaikan diri dan belajar untuk patuh.
Menjadi orangtua bukan soal menjadi sempurna, tapi tentang terus belajar dan membangun hubungan yang sehat dengan anak. Jika kamu bisa menghindari kebiasaan ini dan menggantinya dengan pola komunikasi yang lebih positif, anak akan jauh lebih mudah untuk mendengarkan, memahami, dan pada akhirnya, mematuhi kamu karena mereka merasa dihargai dan dicintai.