TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rehab Rumah Dinas Kejari Lebak Pakai APBD-P, Fitra: Apa Urgensinya?

Fitra khawatir, ada penggunaan anggaran yang dobel

Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung (Dokumentasi Kejaksaan Agung)

Lebak, IDN Times - Lembaga nonprofit independen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai, tak ada keharusan dan situasi mendesak dalam penganggaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) untuk rehabilitasi rumah dinas dan pembangunan kantor tiga lembaga negara vertikal di Kabupaten Lebak.

Gulfino Guevarrato dari Divisi Advokasi dan Kampanye Fitra mengatakan, penyusunan anggaran pemerintah daerah, khususnya APBD-P, semestinya berkaitan dengan kepentingan publik yang mendesak.

"Seberapa mendesak sih urusan rehabilitasi rumah lembaga vertikal ini?" kata Fino saat dihubungi, Kamis (10/11/2022).

Sebagaimana dketahui, Pemkab Lebak menggelontorkan miliaran rupiah untuk merehabilitasi bangunan di tiga instansi, yakni kejaksaan negeri, kepolisian, dan kodim. Juru bicara Badan Anggaran (Banggar) DPRD Lebak, Yayan Ridwan mengatakan, kegiatan tersebut diusulkan eksekutif. 

Yayan mengungkap, ketiga bangunan yang direhabilitasi atau dibangun itu bukan aset Pemkab Lebak, melainkan aset tiga lembaga vertikal yakni Polri, Kejaksaan dan TNI.

Adapun rincian anggaran untuk rehabilitasi itu adalah Rp760 juta untuk rehabilitasi rumah dinas Kejaksaan Negeri (Kejari), Rp1 miliar pembangunan kantor Reskrim Polres, dan Rp500 juta untuk rehabilitasi rumah dinas Kodim 0603 pada tahun 2022.

Baca Juga: APBD-P untuk Kejari, Polres dan Kodim, DPRD Lebak: Usulan Eksekutif

1. Duit APBD untuk lembaga vertikal boleh saja, asal mekanisme hibah tak wajib dan mengikat

Ilustrasi uang rusak. (ANTARA FOTO/Jojon)

Fino meneyebut, penganggaran duit rakyat di Lebak untuk lembaga vertikal seperti ini memang boleh dilakukan, asal melalui mekanisme hibah dengan pedoman yang telah diatur.

"Sepanjang melalui proses hibah yang bicara aturannya merujuk pada Permendagri tentang pedoman hibah, yang mana sifat hibah itu tidak wajib dan tidak mengikat," kata Fino.

2. Hibah kerap jadi kepentingan politik

Ilustrasi politik. (Unspalsh/Maarten van den Heuvel)

Pada praktiknya, kata Fino, banyak pemda di Indonesia menjadikan hibah untuk kepentingan politik atau political interest. Dan ketika berbicara tentang politik ini kerap kali bias dengan konsep keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

"Karena hibah, ini meski sudah ada aturan seringkali berbasis pada political interest yang memiliki kewenangan yakni kepala daerah," ungkapnya.

Dengan demikian, dia menilai, persoalan hibah kepada kejaksaan, polisi dan tentara itu perlu ditinjau ulang dan dikritisi karena seringkali nilainya cukup besar dan tidak mendesak. 

Fitra pun mempertanyakan relevansi pengucuran dana dan rehabilitasi aset berupa rumah itu dengan kinerja pemda setempat. "Apa hubungannya merehabilitasi rumah (dinas lembaga vertikal), yang mana (mungkin) itu sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat melalui APBN mereka," kata dia. 

Fino khawatir, praktik seperti ini malah akan membuat penggunaan anggaran dobel. "Hibah ini sifatnya dananya lentur gitu yah, berpotensi ada penyalahgunaan di situ," sambungnya.

Baca Juga: Pemkab Lebak Gelontorkan Rp760 Juta Lebih untuk Rehab Rumdin Kejari

Berita Terkini Lainnya