Banten Masih Jadi Lautan Motor, Minim Transportasi Publik

- Ketergantungan pada motor menandakan gagalnya sistem transportasi publik
- Risiko kecelakaan dan tekanan sosial dihadapi oleh pengendara motor dan ojek daring
- Pembangunan transportasi Indonesia harus kembali pada prinsip dasar yang manusiawi
Tangerang, IDN Times – Di tengah meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, Provinsi Banten masih kekurangan transportasi publik yang memadai. Hingga kini, hanya dua layanan publik yang tersedia, yakni Bus Tayo dan Angkot Si Benteng milik Pemkot Tangerang, serta Trans Banten milik Pemprov Banten yang beroperasi dengan armada dan rute terbatas.
Kondisi ini mendorong masyarakat untuk terus bergantung pada kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, yang dinilai lebih mudah dijangkau.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menilai bahwa sepeda motor hanyalah moda transisi, bukan tujuan akhir sistem transportasi modern.
“Kita hidup di negeri dengan 120 juta sepeda motor. Ia memberi efisiensi, tapi juga menciptakan paradoks besar: motor bukan tujuan akhir peradaban transportasi,” ujar Djoko dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).
1. Ketergantungan pada motor, tanda gagalnya sistem transportasi publik

Djoko menilai, arah pembangunan transportasi Indonesia berjalan terbalik. Alih-alih memperkuat transportasi publik massal, pemerintah justru membiarkan masyarakat makin bergantung pada kendaraan pribadi.
“Motor yang dulu jadi solusi darurat kini berubah jadi ketergantungan massal. Kota-kota kita penuh lautan motor—cepat tapi tidak efisien,” ujarnya.
Di banyak wilayah Banten, terutama di luar Tangerang Raya, masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membeli motor untuk bekerja. Menurut Djoko, fenomena ini merupakan bukti kemiskinan mobilitas, di mana warga miskin harus berutang atau mencicil kendaraan pribadi karena tidak ada transportasi umum yang terjangkau.
2. Risiko kecelakaan dan tekanan sosial

MTI mencatat, lebih dari 75 persen korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pengendara motor. Di sisi lain, pengemudi ojek daring juga menghadapi tekanan sosial dan ekonomi akibat sistem kerja berbasis algoritma.
“Efisiensi yang dipuja sering kali dibayar dengan keselamatan,” kata Djoko.
Djoko juga menyoroti rencana Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Layanan Berbasis Platform, yang akan mengatur tarif dasar, potongan aplikator, hingga perlindungan sosial bagi mitra ojek daring. Namun, menurutnya, pemerintah perlu mulai mengarahkan fungsi ojek daring hanya untuk angkutan barang dan logistik mikro, bukan untuk penumpang.
“Jika fungsi ojek daring dikembalikan untuk logistik, ruang jalan akan lebih efisien dan keselamatan lalu lintas meningkat. Tapi transisi ini harus dilakukan bertahap, dalam 3–5 tahun sambil memperkuat transportasi umum,” ujarnya.
Djoko menilai, peran pemerintah daerah sangat penting dalam mengurangi ketergantungan warga terhadap sepeda motor. Namun hingga kini, hanya Bus Tayo di Kota Tangerang dan Trans Anggrek milik Pemprov Banten yang beroperasi, itu pun dengan rute terbatas.
“Tanpa transportasi publik yang kuat, masyarakat akan terus bergantung pada sepeda motor dan ojek daring. Padahal negara maju bukan yang punya motor terbanyak, tapi yang warganya paling sedikit butuh motor untuk hidup produktif,” ujar Djoko.
3. Membangun sistem yang manusiawi

Djoko menegaskan, arah pembangunan transportasi Indonesia harus kembali pada prinsip dasar: Membangun sistem angkutan umum yang andal, terintegrasi, dan bermartabat.
“Peradaban mobilitas tidak dibangun dari mesin kecil yang berlari sendiri, melainkan dari sistem yang membuat semua orang bergerak bersama lebih aman, hemat, dan berkeadilan,” kata dia.


















