Cerita Korban Kekerasan Seksual di SMAN 4: Diminta Temani ke Hotel

- Korban diminta hapus bukti percakapan di hadapan sejumlah guru
- Komnas Perlindungan Anak menilai, pengakuan korban itu membuktikan kekerasan seksual secara sistematis
- Gubernur diminta mengevaluasi budaya sekolah yang membiarkan kekerasan terjadi
Serang, IDN Times – "Awalnya saya kira dia ingin membantu saya melanjutkan sekolah, tapi ternyata bantuan itu harus saya 'bayar' dengan menemani dia menginap di hotel."
Demikian pengakuan salah satu korban dugaan kekerasan seksual oleh oknum guru di SMAN 4 Kota Serang, Banten. Pengakuan itu, dia utarakan di hadapan petugas Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten. Korban yang merupakan siswa di SMA negeri tersebut juga mengaku trauma selama berbulan-bulan.
Kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik, tapi juga verbal, psikologi, manipulatif, semuanya dilakukan oleh sosok yang seharusnya menjadi pendidik. “Korban menceritakan bagaimana ia dijanjikan bantuan dana studi, tapi kemudian diminta menggantinya dengan menemani pelaku ke hotel. Ini jelas bentuk kekerasan seksual yang menggunakan relasi kuasa,” ungkap Ketua Komnas Anak Provinsi Banten, Hendry Gunawan, Selasa (22/7/2025).
1. Korban diminta menghapus bukti percakapan di hadapan sejumlah guru

Ironisnya, lanjut Hendry, korban mengaku sempat diminta oleh pelaku untuk menghapus bukti-bukti percakapan di ponsel yang bisa memberatkan sang guru. Permintaan itu dilakukan di hadapan sejumlah guru lainnya, tanpa adanya intervensi atau perlindungan.
“Korban mengalami tekanan dan intimidasi, bahkan dari lingkungan sekolah sendiri. Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga bentuk pembiaran yang memperparah luka psikologi korban,” katanya.
2. Komnas Perlindungan Anak menilai, pengakuan korban itu membuktikan kekerasan seksual secara sistematis

Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menyatakan bahwa pengakuan korban memperkuat dugaan bahwa kekerasan seksual terjadi secara sistematis, berulang, dan berlangsung lama. Komnas Anak menilai, kasus ini sudah memenuhi unsur pidana sesuai dengan UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Ini bukan kasus tunggal. Ini adalah alarm bahaya. Aksi unjuk rasa siswa dan masyarakat (21/7/2025) adalah bentuk permintaan tolong yang tidak boleh diabaikan,” katanya.
Hendra menegaskan, tidak ada ruang untuk penyelesaian damai di luar hukum. Mereka mendesak proses hukum berjalan transparan dan pelaku dihukum setimpal. Selain itu, Komnas Perlindungan Anak juga menerima informasi bahwa jumlah korban dan pelaku lebih dari satu, dan mendesak LPSK segera memberikan perlindungan menyeluruh.
"Kami tidak ingin ada korban kedua atau ketiga yang memilih diam karena melihat negara gagal melindungi yang pertama,” katanya.
3. Gubernur diminta mengevaluasi budaya sekolah yang membiarkan kekerasan terjadi

Komnas PA juga meminta Gubernur Banten dan Dinas Pendidikan Provinsi Banten melakukan evaluasi total terhadap budaya sekolah yang membiarkan kekerasan terjadi. Kombas juga mendorong Satgas PPKSP untuk turun langsung menyelidiki dan mengambil tindakan di lingkungan SMAN 4 Kota Serang.
“Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak-anak. Jika justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, maka negara harus hadir. Sekarang juga,” katanya.