Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ironi Timpang Gaji Tunjangan DPRD Lebak Versus Pendapatan Warganya

eb074fce-8aa0-4693-ad9b-3640ed5577f7.jpeg
Ketua DPRD Lebak, Juwita Wulandari (Dok. IDN Times/Sandi)
Intinya sih...
  • Kesenjangan gaji dan tunjangan DPRD Lebak dengan pendapatan warga mencolok
  • Mayoritas warga hidup di bawah Rp1,5 juta per bulan, sementara anggota DPRD menerima puluhan juta rupiah
  • Besarnya gaji dan tunjangan DPRD Lebak bisa menimbulkan kemarahan publik dan mengganggu kinerja mereka dalam mengawasi eksekutif
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Lebak, IDN Times – Kesenjangan antara kondisi ekonomi warga Kabupaten Lebak dengan besarnya gaji dan tunjangan anggota DPRD semakin mencolok. Sebanyak 50 anggota DPRD Lebak setiap bulan menerima gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah. Di sisi lain, data resmi menunjukkan, mayoritas warga Lebak pada 2023 masih hidup dengan pengeluaran per kapita di bawah Rp1,5 juta per bulan.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sebanyak 27,20 persen penduduk Lebak hanya mampu membelanjakan Rp750 ribu – Rp999 ribu per kapita per bulan. Sementara itu, 26,37 persen lainnya berada pada kisaran Rp1 juta – Rp1,49 juta. Bahkan, 1,39 persen penduduk hanya memiliki pengeluaran kurang dari Rp300 ribu per bulan. Namun ada juga 18,49 persen penduduk dengan pengeluaran per bulan di atas Rp1,5 juta.

Artinya, sebagian besar masyarakat Lebak masih bergelut dengan keterbatasan pengeluaran harian, terutama untuk kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Sementara itu, dokumen resmi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan APBD Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa anggaran gaji dan tunjangan DPRD mencapai angka fantastis.

Jika dirata-rata, setiap anggota DPRD Lebak mengantongi di atas Rp40 juta per bulan dari gaji dan tunjangan angka ini belum ditambahkan fasilitas lain seperti anggaran rapat, perjalanan dinas dan lain-lain. Jumlah itu setara dengan 30 kali lipat lebih tinggi dari rata-rata pengeluaran warga Lebak yang berada di kisaran Rp1 juta per bulan.

Grafis gaji tunjangan DPRD Lebak
Grafis gaji tunjangan DPRD Lebak (IDN Times/Muhamad iqbal)

1. Wakil rakyat dinilai tak punya sense of crisis

Pengamat politik dan kebijakan publik dari Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul menilai kenaikan gaji dan tunjangan DPRD Lebak hampir setiap tahun. Di sisi lain, dia mempertanyakan, apakah gaji dan tunjangan itu diikuti dengan kinerja maksimal anggota dewan?

“Seharusnya mereka (anggota DPRD) punya sense of crisis, punya kepekaan sosial dan simpati terhadap kondisi masyarakat Lebak yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan,” ujarnya.

2. Persoalan ini bisa berujung jadi kemarahan publik

Gambar Ketua DPRD Lebak, M Agil Zulfikar (IDN Times/Muhamad Iqbal)
Gambar Ketua DPRD Lebak, M Agil Zulfikar (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Adib menegaskan, kondisi rakyat Lebak seharusnya tidak sulit untuk dipotret. “Enggak perlu riset berhari-hari, setengah jam keliling saja sudah tahu bagaimana jalan rusak, layanan kesehatan susah, pendidikan sulit. Itu seharusnya jadi potret utama DPRD sebagai wakil rakyat,” katanya.

Ia juga menyinggung bahwa besarnya tunjangan DPRD berpotensi menimbulkan ketidakpuasan publik. Kalau DPRD terus-terusan menaikkan gaji dan tunjangan, lanjut Adib, sementara pelayanan publik tidak membaik, itu hanya menumpuk beban emosi rakyat yang setiap saat bisa meledak.

"Anggaran jadi tersedot untuk mereka, bukan untuk rakyat. Publik lama-lama bisa marah, seperti yang sudah terlihat dalam aksi-aksi demonstrasi di pusat,” tutur Adib.

2. Besarnya gaji tunjangan DPRD Lebak bikin mereka gak ideal dalam bekerja mengawasi eksekutif

Gedung DPRD Lebak di Rangkasbitung
Gedung DPRD Lebak di Rangkasbitung (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Menurutnya, persoalan ini tidak bisa hanya diletakkan di pundak DPRD. "Kenaikan gaji dan tunjangan itu kan hasil persetujuan bersama dengan eksekutif. Artinya, ada kompromi politik. Jadi wajar kalau idealisme mereka makin tergeser oleh political business. Mereka merasa membeli suara saat pemilu, lalu setelah duduk di kursi legislatif hanya fokus mengamankan perut dan golongannya,” jelasnya.

Adib mengingatkan masyarakat Lebak untuk tidak lagi terjebak dalam praktik jual beli suara. "Jangan sampai tergoda uang Rp100 ribu atau Rp200 ribu. Itu tidak sebanding dengan lima tahun ke depan ketika anggaran rakyat dipakai hanya untuk memperkaya mereka," kata dia.

Menurut Adib, momentum kritik ke DPR pusat harusnya juga menular ke DPRD tingkat kabupaten. Kalau tidak, ketimpangan ini akan terus berulang.

Share
Topics
Editorial Team
Ita Lismawati F Malau
EditorIta Lismawati F Malau
Follow Us

Latest News Banten

See More

3 WN China Bobol Rumah Mewah di Tangerang, Korban Rugi Rp4,5 Miliar

09 Sep 2025, 19:11 WIBNews