Malam Takbiran dalam Memori Seorang Kristen

Sebagai seorang penganut Kristen, saya tetap punya kenangan soal lebaran. Salah satu yang terpatri dengan kuat adalah malam takbiran saat saya masih kecil.
Saat duduk di bangku sekolah dasar, saya dan keluarga tinggal di sebuah rumah di gang di Cimahi, Jawa Barat. Orangtua saya yang merantau dari Sumatra Utara mengontrak di rumah di Kampung Sukamaju.
Kanan kiri serta depan dan belakang tetangga kami adalah muslim. Uniknya, kami bisa hidup berdampingan dengan damai dan tolong-menolong.
Nah, kembali ke kenangan malam takbiran. Setiap tahun saat malam takbiran itu, saya dan keempat saudara saya pasti kelimpungan. Ketukan demi ketukan di pintu menggema di malam itu.
Satu demi satu tetangga menghantarkan makanan khas lebaran ke rumah kami. Setiap tetangga biasa mengirim dua hingga tiga piring makanan. Bisa dibayangkan, betapa penuhnya meja makan kami ketika tetangga terakhir menghantarkan hidangan. Makanan itu beragam, mulai dari opor ayam, ketupat, krecek, hingga kue-kue kering.
Kami sekeluarga sungguh merasa terberkati karena mendapat limpahan makanan begitu banyak. Mama pun biasanya memang tidak masak ketika malam takbiran karena sudah mengantisipasi kiriman makanan tersebut.
Apakah sampai di situ “ritual” kami saat lebaran? Tentu tidak.
Di hari pertama Idulfitri, Mama membawa kami, anak-anaknya, bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga yang merayakan Idulfitri. Kami mengucapkan selamat hari raya Idulfitri kepada mereka, dan memakan opor ayam dan kue kering lagi.
Kesempatan kami membalas kebaikan para tetangga itu adalah pada saat Natal tiba. Kami selalu menyediakan kue-kue lebih banyak dari kebutuhan keluarga kami sendiri. Ya, untuk dibagikan kepada tetangga-tetangga.
Saat itu, pikiran kanak-kanakku menilai, memang seperti itulah kehidupan bertetangga. Rukun dan guyub, meski berbeda keyakinan.
Hingga kemudian saya merantau ke Jakarta tahun 2005 dan memiliki rumah di Kabupaten Bogor, di awal tahun 2011. Selama bertahun-tahun Saya tidak pernah lagi melihat dan merasakan pengalaman seperti di Gang Sukamaju, Cimahi itu.
Lalu, sekitar 3 atau 4 tahun lalu, ada bunyi ketukan pintu di malam takbiran. Saat saya buka, tak ada orang. Hanya kantong plastik tergantung di handle pintu. Saat bungkusan itu saya buka, isinya opor ayam, rendang daging, dan lontong.
Saya tersenyum. Kenangan kecil saya yang begitu sarat makna di Kampung Sukamaju berloncatan kembali. Terima kasih tetangga yang baik.
Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan dan merayakan Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.