(Jalan dan bukit ke arah PTPN Serpong) IDN Times/Muhamad Iqbal
Laskar rakyat Banten di bawah pimpinam KH Ibrahim dengan hanya menggunakan senjata tajam dan teriakan takbir, membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi di tempat-tempat yang strategis.
Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandangkan takbir. Di lain pihak, pasukan Belanda gencar menembak dengan senapan-senapan mesin dari tempat-tempat strategis, seperti di atas bukit di sekitar jalur penyerangan laskar Banten.
Alhasil, korban berjatuhan di pihak laskar. Suara takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. Sekitar 200 laskar Banten gugur, termasuk KH Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL.
Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan, “saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari pasukan Tuan. Pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini”.
Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda, korban dari laskar Banten dikubur secara massal dalam tiga lubang besar, pada 27 Mei 1946 siang. Tempat pemakaman itu kemudian diberi nama "Makam Pahlawan Seribu Serpong”. Letaknya di Kampung Pariang, Serpong, yang saat ini sudah menjadi jalan ke arah Cisauk Kabupaten Tangerang.
Di lokasi tersebut, dibangun juga Monumen Tugu Pahlawan. Tapi, seiring pesatnya perkembangan wilayah, membuat makam para pahlawan itu seolah 'terpinggirkan' oleh kesibukan perniagaan komersial, ditambah lagi, pertigaan Cisauk memang kondang akan kemacetan lalu-lintasnya. Alhasil, TMP di lokasi titik pertempuran Pahlawan Seribu itu pun dipindahkan ke tempatnya yang sekarang.
TB Sos Renda meyakini, jumlah korban adalah 700 orang. Mereka dimakamkan dalam dua lubang. satu untuk pimpinan pasukan KH Ibrahim dan satu lagi untuk 699 orang laskar yang dimakamkan secara massal. "Tapi untuk KH Ibrahim dimakamkan sendiri," kata Sos Renda.
Sebelum ditutup pakai tanah kembali, para jasad ditabur kapur dalam jumlah yang banyak, sehingga ketika digali kembali tulang-belulang sangat sedikit bahkan hampir tak ada.
"Mirisnya saat pemakaman itu banyak laskar juga yang belum mati, kena tembak tapi gak bisa lari atau bangkit pergi, artinya mereka dikubur hidup-hidup saat masih sadar atau sekarat, tak ada yang bisa menolong, lantaran NICA mengawasi dengan senapan-senapannya," tutur Sos Renda.