5 Sikap Orangtua yang Berisiko Menumbuhkan Crab Mentality pada Anak

- Mentalitas kepiting adalah sikap merasa tidak rela melihat orang lain lebih unggul, bisa tumbuh sejak kecil di keluarga
- Membandingkan anak terus-menerus bisa menyakiti harga diri mereka dan memupuk rasa iri terhadap keberhasilan orang lain
- Anak perlu diajarkan untuk bersyukur, menghargai kesuksesan orang lain, dan mendapat umpan balik yang membangun dari orangtua
Pernahkah mendengar istilah crab mentality atau “mentalitas kepiting”? Ini adalah istilah yang menggambarkan sikap seseorang yang merasa tidak rela melihat orang lain lebih unggul atau berhasil.
Ibarat sekelompok kepiting dalam ember, saat satu kepiting mencoba keluar, yang lain akan menariknya turun kembali. Akibatnya, tidak ada yang bisa naik ke atas.
Terdengar menyedihkan, bukan? Tapi kenyataannya, crab mentality bisa tumbuh sejak kecil, tanpa disadari, di lingkungan yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga. Dan ya, pola asuh orangtua punya peran besar dalam membentuk pola pikir ini.
Sebagai orangtua, kamu tentu ingin anak tumbuh jadi pribadi yang percaya diri, suportif, dan mampu berkembang bersama orang lain. Namun, jika tidak hati-hati, justru kamu bisa tanpa sengaja menanamkan benih mentalitas kepiting dalam diri mereka.
Berikut ini sikap orangtua yang berisiko menumbuhkan crab mentality pada anak, seperti disarikan dari samwoolfe.com, cxomedia.id, dan omaritani.com.
1. Orangtua kerap membandingkan anak dengan orang lain

"Kenapa kamu nggak bisa seperti kakakmu yang rajin?"
"Lihat tuh, anak tetangga ranking satu terus. Kamu kapan?"
Kalimat-kalimat ini terdengar umum, bahkan dianggap sebagai motivasi. Tapi faktanya, membandingkan anak terus-menerus bisa menyakiti harga diri mereka. Anak akan merasa dirinya selalu kurang, tidak cukup baik, dan pada akhirnya memupuk rasa iri terhadap keberhasilan orang lain.
Alih-alih tumbuh dengan kepercayaan diri, anak bisa jadi lebih fokus mencari celah kesalahan orang lain, hanya agar dirinya merasa lebih baik. Inilah cikal bakal crab mentality, yaitu ketidakmampuan menghargai pencapaian orang lain karena terlalu sering merasa rendah diri.
Solusinya dengan fokus pada perkembangan individu anak. Bandingkan dia dengan dirinya sendiri yang dulu, bukan dengan orang lain. Rayakan setiap kemajuan kecil, dan bantu dia menyadari bahwa pertumbuhan adalah proses, bukan perlombaan.
2. Orangtua kurang mengajarkan rasa syukur

Anak-anak yang tidak dibiasakan bersyukur akan mudah merasa dunia ini tidak adil. Mereka melihat kesuksesan orang lain sebagai ancaman, bukan inspirasi.
Tanpa rasa syukur, anak akan selalu merasa kekurangan dan sulit menghargai apa yang sudah dimiliki. Akibatnya, mereka mungkin akan tumbuh dengan pola pikir “kalau aku nggak bisa punya itu, orang lain juga jangan.”
Jadi, coba ajak anak untuk rutin menyebutkan hal-hal baik yang terjadi hari ini. Bisa dengan melakukan obrolan santai sebelum tidur. Kamu perlu menanamkan pada anak bahwa setiap orang punya jalannya masing-masing dan selalu ada hal yang bisa disyukuri, sekecil apa pun itu.
3. Orangtua menanamkan pola pikir kompetisi berlebihan

Persaingan yang sehat memang baik, tapi jika sejak kecil anak diajarkan bahwa “hidup itu harus menang” atau “yang penting lebih baik dari orang lain,” maka dia bisa kehilangan empati dan kemampuan untuk bekerja sama.
Anak yang dibesarkan dalam kompetisi berlebihan cenderung melihat orang lain sebagai pesaing, bukan sebagai teman atau rekan belajar. Saat teman berhasil, bukannya ikut senang, dia justru merasa terancam.
Coba kamu mengajarkan pada anak bahwa kesuksesan orang lain tidak mengurangi nilai sang anak. Justru keberhasilan orang lain bisa jadi peluang untuk belajar. Kamu juga perlu menjelaskan bahwa mendukung teman bukan berarti kalah atau lebih rendah, tapi justru menunjukkan kedewasaan emosional dan ketulusan niat dalam diri.
4. Orangtua mengkritik terlalu keras dan jarang memberi apresiasi

Setiap kesalahan anak langsung disorot, tapi prestasinya dianggap biasa saja? Ini bisa membuat anak merasa tidak pernah cukup. Ketika apresiasi jarang diberikan, anak kehilangan motivasi untuk berkembang. Lebih buruk lagi, ia bisa tumbuh jadi pribadi yang mudah menjatuhkan orang lain, karena dirinya sendiri tak pernah merasa dihargai.
Anak yang haus pengakuan tapi tidak mendapatkannya dari orangtuanya, akan mudah cemburu jika orang lain mendapat pujian atau sorotan. Jangan pelit pujian. Hargai usaha anak, sekecil apa pun itu. Ajarkan bahwa gagal itu wajar, dan yang penting adalah terus mencoba. Umpan balik yang membangun jauh lebih efektif daripada kritik yang menjatuhkan.
5. Orangtua tidak memberi contoh sikap positif terhadap kesuksesan orang lain

Anak belajar dari apa yang dia lihat. Jika orangtua sering mengeluh tentang kesuksesan orang lain, menyindir, atau menilai negatif keberhasilan orang lain, anak akan mengikuti sikap yang sama.
Misalnya, “Ah, dia bisa kaya karena warisan,” atau, “Pasti dia sukses karena kenal orang dalam.” Komentar-komentar seperti ini membentuk pola pikir negatif dalam diri anak. Alih-alih menginspirasi, kesuksesan orang lain justru dianggap sesuatu yang patut dicurigai atau bahkan tidak pantas didapatkan.
Solusinya dengan menunjukkan antusiasme dan apresiasi saat orang lain berhasil. Jadikan kisah sukses sebagai bahan diskusi yang positif dengan anak. Tanyakan “Apa yang bisa kamu pelajari dari cerita mereka?”
Setiap orangtua tentu ingin anaknya menjadi pribadi yang sukses dan berdaya saing. Namun, penting juga untuk mengajarkan bahwa keberhasilan orang lain bukanlah ancaman. Anak yang belajar menghargai dan merasa bahagia atas pencapaian orang lain adalah anak yang siap hidup dalam masyarakat yang saling mendukung dan berkembang bersama.