772 Ribu Warga Banten Miskin, Pengeluaran di Bawah Rp684 Ribu

- Orang disebut miskin jika pengeluaran di bawah Rp684 ribu per orang per bulan. Garis kemiskinan di Banten ditetapkan sebesar Rp684.232 per orang per bulan atau Rp3.571.691 per rumah tangga.
- Survei kemiskinan fokus ke pengeluaran, bukan penghasilan. Survei mengukur seberapa besar pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan berapa besar penghasilan mereka.
- Kemiskinan turun, tapi ketimpangan tetap jadi PR. Meski angka kemiskinan menurun, indeks keparahan kemiskinan meningkat, kualitas penurunan kemiskinan belum merata dan masih banyak warga miskin yang tertahan dalam kondisi sulit.
Serang, IDN Times – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten mencatat, jumlah penduduk miskin di Banten pada periode Maret 2025 diperkirakan mencapai 772 ribu orang. Jumlah tersebut menurun dibandingkan September 2024 yang berada di angka 777.490 orang, atau turun sekitar 4.700 orang.
Penurunan ini membuat tingkat kemiskinan di Provinsi Banten juga ikut turun dari 5,70 persen menjadi 5,63 persen. Namun, BPS menekankan bahwa penurunan ini masih tergolong tipis dan belum menyentuh aspek kualitas hidup yang lebih baik.
1. Orang disebut miskin jika pengeluaran di bawah Rp684 ribu per orang per bulan

Ketua Tim Statistik Sosial BPS Banten, Adam Sofian, mengatakan bahwa penduduk yang dikategorikan miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan, bukan berdasarkan penghasilan.
Pada Maret 2025, garis kemiskinan di Banten ditetapkan sebesar Rp684.232 per orang per bulan. Jika dirata-ratakan per rumah tangga yang umumnya terdiri dari lima orang, maka garis kemiskinan berada di angka Rp3.571.691 per rumah tangga per bulan.
"Jadi kalau seseorang memiliki pengeluaran di bawah angka itu untuk kebutuhan pokok, baik makanan maupun non-makanan, maka dia masuk dalam kategori miskin," kata Adam saat merilis angka kemiskinan, Jumat (25/7/2025).
2. Survei kemiskinan fokus ke pengeluaran, bukan penghasilan

Adam menegaskan, survei kemiskinan tidak menanyakan pendapatan atau penghasilan warga, melainkan pengeluaran aktual mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Yang kami ukur adalah seberapa besar pengeluaran penduduk, bukan berapa besar penghasilan mereka. Karena dalam banyak kasus, pendapatan bisa fluktuatif dan tidak mencerminkan daya beli riil," katanya.
3. Kemiskinan turun, tapi ketimpangan tetap jadi PR

Meski angka kemiskinan menurun, BPS mencatat bahwa indeks keparahan kemiskinan justru meningkat, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Artinya, kualitas penurunan kemiskinan belum merata dan masih banyak warga miskin yang tetap tertahan dalam kondisi sulit.
“Bisa jadi yang miskin tetap miskin, belum banyak yang benar-benar keluar dari garis itu. Ini jadi catatan penting bagi semua pihak agar program bantuan lebih tepat sasaran dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan warga miskin,” katanya.