Antara Sampah, Nafkah, dan Lingkungan di Bank Sampah Meranti Tangerang

- Wanita tangguh menarik gerobak jemput sampah ke rumah warga, mengumpulkan berbagai macam sampah daur ulang.
- Perkembangan Bank Sampah Meranti penuh perjuangan, mengedukasi masyarakat dan membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar.
- Bank Sampah Meranti bisa hasilkan uang Rp20 juta per bulan, membantu nasabah seperti Namin mencari nafkah dari limbah yang dibuang orang lain.
Tangerang, IDN Times - Aroma semerbak sampah rasa-rasanya sulit untuk dihilangkan hanya dengan sebotol pengharum. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Bank Sampah Meranti yang berada di Gang Meranti, RT 02, RW 02, Kelurahan Buaran, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Sosok biasa yang nyatanya membawa aksi yang luar biasa bagi lingkungannya dan warga sekitar yakni Neng Eti (48).
Sejak berdiri pada 8 April 2018, dengan semangat Neng Eti bersama 9 orang lainnya menjalankan bank sampah dengan antusias dan konsisten. Sampah yang awalnya dianggap menjijikkan menjadi salah satu ladang warga mencari suap-suap nasi untuk keluarganya dari menabung sampah tersebut hingga bisa dihasilkan menjadi pundi rupiah.
"Awalnya cuma 10 nasabah, tapi sekarang sudah ada 100 lebih yang aktif, baik yang nabung maupun yang tunai. Ada nasabah yang datang ke Bank Sampah Meranti dan ada juga yang kami lakukan jemput bola ke rumah warga,” ujar Eti.
1. Wanita-wanita tangguh menarik gerobak untuk menjemput sampah ke rumah warga

Wanita bisa melakukan pekerjaan apapun. Ungkapan itu terasa betul kebenarannya jika melihat bagaimana Eti dan kawan-kawan bekerja. Mereka berkeliling menarik gerobak sampah yang digunakan untuk mengumpulkan berbagai macam sampah daur ulang, seperti kardus, bekas botol plastik minuman, bekas kaleng plastik, dan masih banyak lagi.
Satu persatu rumah nasabah di kampung tersebut ditelusuri untuk meminta satu hal; sampah. Kantung demi kantung sampah ditimbang, tak boleh salah satu ons pun lantaran disadari bahwa sampah tersebut hasil warga menabung dan mengharap nafkah darinya.
"Warga bisa datang ke bank sampah, bisa juga kami jemput bola," ungkapnya.
2. Perkembangan Bank Sampah Meranti yang penuh perjuangan

Bukan tanpa perjuangan, membangun bank sampah layaknya berdarah-darah saat perang. Apalagi, mereka harus mengedukasi banyak kepala menumbuhkan kesadaran agar memilah sampah dari rumah.
Saat ditanya alasan mengapa terus konsisten menjalankan Bank Sampah Meranti, Eti menjawab singkat namun penuh makna. “Karena panggilan hati,” sebutnya. “Dulu saya lihat sampah cuma jadi beban. Tapi setelah berkecimpung di sini, saya sadar, ternyata sampah itu berharga,” ucap Eti dengan mata berkaca-kaca.
Melalui edukasi dan ketelatenan, kini masyarakat mulai paham bahwa membuang sampah sembarangan adalah kebiasaan yang merugikan. “Buat masyarakat yang masih suka buang sampah sembarangan, ayo dong... kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” tegasnya.
3. Bank Sampah Meranti bisa hasilkan uang Rp20 juta per bulan

Bank Sampah Meranti tak sekadar mengedukasi soal pemilahan sampah, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar. Dalam satu hari, perputaran uang dari sampah yang masuk bisa mencapai Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Dalam sebulan, total perputarannya bisa menembus angka Rp20 juta.
Angka itu bukan sekadar statistik. Di baliknya ada kehidupan warga yang terbantu. “Sampahnya macam-macam, dari plastik, emberan, kaleng, aluminium, sampai minyak jelantah. Untuk minyak jelantah, kami olah jadi sabun dan lilin. Selebihnya kami jual ke pengepul,” jelasnya.
Bank Sampah Meranti bukan sekadar tempat pengumpulan sampah, tapi juga simbol perubahan. Perubahan cara pandang, perubahan kebiasaan dan yang terpenting perubahan kehidupan.
“Saya ingin sampaikan ke masyarakat, jangan sepelekan sampah. Karena sampah itu ternyata bisa menghasilkan cuan,” tutup Eti dengan senyum optimis.
4. Namin jadi salah satu pejuang nafkah yang jadi nasabah bank sampah

Salah satu nasabah yang aktif menabung di Bank Meranti yakni Namin. Pria yang memasuki usia 59 tahun masih harus berjuang dengan segala upaya untuk mencari nafkah. Sejak di-PHK dari pekerjaan satu-satunya yakni petugas kebersihan di Kementerian Hukum dan HAM, kini Namin memenuhi kebutuhan hariannya dari bank sampah.
Sejak satu tahun terakhir, ia menjadi bagian dari Bank Sampah Meranti untuk mengais rezeki dari limbah yang dibuang orang lain. Setiap malam, tepat pukul 23.00 WIB, ia mulai mengayuh sepedanya menyusuri jalan-jalan di Kawasan Taman Royal, Jalan Agus Salim, hingga Benteng Betawi, Kota Tangerang. Hingga pukul 04.00 WIB subuh, Namin mengumpulkan botol plastik, kardus bekas, kaleng dan barang-barang tak terpakai lainnya.
"Kalau malam itu saya muter, ngambil gelas plastik, botol-botol, kardus. Apa saja yang bisa dijual," katanya dengan senyum sumringah.
Bukan karena hobi, tapi karena kebutuhan. Sempat menganggur cukup lama, Namin memutar otak agar dapur terus 'ngebul' tapi usianya yang sudah lanjut usia tak memungkinkan ada perusahaan yang mau kembali mempekerjakannya.
"Saya pikir, daripada enggak ada kerjaan, mendingan memulung. Buat kebutuhan sehari-hari. Saya juga melihat pensiunan lainnya tetap bisa berkarya, masa saya enggak bisa. Di situ saya mulai perjuangan saya," ujarnya.
Dari aktivitas malamnya mengumpulkan sampah-sampah bernilai, Namin bisa mendapatkan sekitar Rp60 ribu hingga Rp80 ribu per harinya. "Lumayan, kalau sebulan ya alhamdulillah saya bisa menghasilkan sekitar Rp2,5 juta untuk kehidupan istri dan anaknya," ujarnya.
Uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan makan bersama istri dan satu anak yang masih tinggal bersamanya di Buaran Indah.
Pagi harinya, saat matahari mulai meninggi, Namin kembali turun ke jalan. Kali ini bukan mencari sampah, tapi menjajakan kopi keliling. "Kopinya ngide. Jadi saya ambil dari warung, terus jual keliling. Kalau capek ya tidur, kalau lapar ya makan, diselingan waktu itu saya pun membersihkan seluruh sampah malam yang berhasil saya kumpulkan," ujarnya.
Ia menyadari, di balik tumpukan sampah, ada nilai yang bisa diambil. Tidak hanya soal uang, tapi juga tentang menjaga lingkungan. Ia menyayangkan masih banyak orang yang sembarangan membuang sampah tanpa menyadari potensi ekonominya.
"Saya mau bilang sama orang-orang, coba pilah. Jangan buang sembarangan. Sampah ini enggak basi, bisa dikumpulin, bisa dijual. Bahkan bisa bantu hidup orang lain," ucapnya.
Bagi Namin, memulung bukan sekadar mencari uang. Ini adalah bentuk perjuangan, perlawanan terhadap nasib, sekaligus kontribusinya bagi lingkungan. Meski hidup dalam keterbatasan, ia tetap tegar dan bersyukur.
Kini, lewat Bank Sampah Meranti, Namin tidak hanya mencukupi keluarganya, tapi juga menjaga lingkungannya tetap bersih.