Bantahan Kepala Balai TNUK Soal Proyek JRSCA Terbengkalai

- Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Ardi Andono membantah proyek JRSCA terbengkalai dengan anggaran SBSN Rp130 miliar.
- Anggaran SBSN digunakan untuk konstruksi bangunan, jalan, dan jembatan serta konservasi badak Jawa dalam DIPA APBN tahun 2018-2022.
- Ardi membantah pernyataan pengusaha lokal tentang lelang terbatas dan penggunaan pasir pantai dalam proyek JRSCA.
Serang, IDN Times - Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Ardi Andono menyampaikan hak jawab atas liputan IDN Times Banten berjudul Proyek Main-main Pengamanan Badak Jawa yang tayang pada 16 September 2024.
Dalam artikel itu, Ardi Andono sudah dikonfirmasi mengenai liputan tersebut dan enggan berkomentar karena beralasan proyek Javan Rhino Study And Conservation Area (JRSCA) merupakan tanggung jawab kepala balai sebelumnya. Namun, setelah berita tayang, akhirnya Ardi angkat bicara.
Melalui keterangan tertulis, Ardi membantah fasilitas yang telah dibangun menggunakan anggaran Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp130 miliar terbengkalai. JRSCA itu sendiri kata dia, telah diinisiasi sejak 2007 silam.
''Hingga saat ini bangunan tersebut dimanfaatkan dan digunakan dengan baik,” kata Ardi melalui siaran pers yang diterima IDN Times, Senin (25/11/2024).
Rincian anggaran proyek di Balai TNUK

Ardi menyampaikan, anggaran SBSN yang digunaakan sepenuhnya untuk konstruksi bangunan, jalan dan jembatan dengan rincian pada tahun 2019 senilai Rp18.978.193.557. Kemudian di tahun 2021 anggaran Rp15.251.089.130 dan tahun 2022 senilai Rp96.159.660.000.
Sedangkan untuk anggaran konservasi badak Jawa dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN tahun 2018 sampai dengan 2022 dengan rincian untuk monitoring Rp3.007.569.000 dan untuk patroli Resor Based Management (RBM) Rp248.200.000.
“Untuk pekerjaan konstruksi yang ada di JRSCA--baik tahap ke-I dan ke-II-- tidak berkaitan dengan perlindungan badak Jawa, sehingga tidak ada kaitannya dengan perburuan badak di Taman Nasional Ujung Kulon,” katanya.
Adapun output dari monitoring badak Jawa adalah pemasangan camera trap dengan hasil jumlah badak Jawa dengan perhitungan metode SECR atau Spatially Explicit Capture Recapture dan metode album dengan melibatkan para ahli dari akademisi, peneliti dan NGO. Sementara upaya perlindungan badak Jawa adalah melakukan patroli berbasis resort.
“Berdasarkan hasil evaluasi, bahwa dengan menggunakan metode berbasis resort, tidak efektif karena mudah diketahui oleh para pemburu dan pelanggar, sehingga diubah menjadi Fully Protection Area System sejak tahun 2024,'' kata dia.
Penjelasan jasa konsultasi dan manajemen konstruksi JRSCA

Ardi pun membantah angaran jasa konsultasi manajemen konstruksi pembangunan JRSCA sebesar Rp3,24 miliar. Ardi menjabarkan dana tahun 2019 terdiri dari Jasa Konsultan Perencanaan Review DED senilai Rp49.900.000 dilaksanakan PT Raditya Karya Konsultan dan Jasa Konsultan Perencana Teknis senilai Rp99.055.000, yang dilaksanakan oleh CV Harsa Pratama.
Sedangkan Jasa Konsultan Pengawas senilai Rp715.621.000 adapun pelaksananya PT. Zafran Sudrajat Konsultan senilai Rp412.610.000, Konsultan Individu (KI) dan Selamet Ari Supriyadi senilai Rp3.300.000, PT Sketsa Karya Mandiri senilai Rp224.840.000, PT SAS Senilai Rp8.250.000, CV Niagatama Konsultan senilai Rp66.621.000,
“Dengan total keseluruhan jasa konsultan adalah Rp864.576.000. Sedangkan untuk tahun 2021-2022 Konsultan Management Konstruksi senilai Rp2.147.808.400 yang dilaksanakan oleh PT Bennatin Surya Cipta,” kata Ardi.
Bangunan pos jaga Aermokla
Ardi mengatakan, bangunan pos jaga Aermokla yang dikerjakan oleh CV Tubagus Corp dibangun dengan model rumah panggung, dengan menggunakan material dinding panel dengan spesifikasi sandwich panel eps 95 cm, bukan dari triplek. “Sehingga pernyataan tersebut (menggunakan material triplek), salah,” katanya.
Ardi menjelaskan, pos jaga tersebut merupakan tempat transit bagi petugas yang berpatroli di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi, lanjut Ardi, metode berbasis resort tidak efektif karena mudah diketahui oleh para pemburu dan pelanggar sehingga diubah menjadi Fully Protection Area (FPA) System sejak tahun 2024 dan lebih berhasil menghentikan perburuan badak Jawa dan satwa lainnya.
“FPA mengutamakan patroli dengan menggunakan flying camp dengan tujuan menjaga kawasan selama 24 jam terus menerus tanpa henti,” kata Ardi.
Jembatan Rancapinang
Ardi juga membantah anggaran pembangunan jembatan Rancapinang senilai Rp4,4 miliar. Ardi mengungkap, jembatan di Rancapinang dibangun dalam rangka aksesibilitas kegiatan JRSCA dengan bentang jembatan sepanjang 40 meter dan lebar 3,3 meter dengan panjang oprit 3,65m x 2 (kiri-kanan) dengan nilai Rp4.079.880.000.
Habitat kedua badak Jawa

Menurut Ardi, habitat baru badak Jawa seharusnya ada di Cagar Alam Leuweung Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi, Jawa Barat sudah tidak relevan.
Ardi mengatakan, opsi pencarian lokasi habitat kedua badak Jawa di luar kawasan TNUK sudah dilaksanakan dengan hasil di Taman Nasional Gunung Halimun Salak terjadi penolakan masyarakat sekitar mencapai 54 persen dari hasil kajian ekonomi dan persepsi masyarakat lokal terhadap reintroduksi badak Jawa.
Sedangkan di Suaka Margasatwa Cikepuh--berdasarkan jurnal Ribai dkk tahun 2015-- tingkat kesesuaian sebagai habitat kedua badak Jawa 88,2 persen kawasan.
“Hasil eksplorasi menunjukkan sebagian besar SM Cikepuh ditemukan tekanan manusia yang dapat mengancam kehidupan satwa maupun kerusakan habitat. Sedangkan daerah yang tidak terdapat tekanan manusia tidak ditemukan di SM Cikepuh,” katanya.
Kemudian, dari hasil eksplorasi, daerah tergolong sesuai sebagai habitat badak Jawa memiliki luas 955,6 ha atau 11,8 persen kawasan dan daerah tergolong tidak sesuai memiliki luas 7171,9 ha. Dari hasil pengamatan menunjukkan terdapat aktivitas penggembalaan liar di SM Cikepuh oleh masyarakat sekitar hutan. Adapun jenis ternak yang digembalakan yaitu kerbau dan sapi dengan jumlah lebih kurang 60 ekor.
“Penggembalaan liar dapat menjadi faktor pembatas terhadap habitat kedua karena dapat menyebabkan kerusakan hutan, dan hewan ternak akan menjadi pesaing dalam pemanfaatan ruang maupun pakan serta dapat berpotensi menyebarkan penyakit,” katanya.
Faktor lainnya adanya perambahan hutan yang ditemukan di SM Cikepuh didominasi oleh pengambilan kayu bakar. Kebakaran hutan juga merupakan ancaman yang sangat tinggi, karena sebagian SM Cikepuh merupakan kawasan semak belukar.
Selain itu satuan kostrad telah menggunakan SM Cikepuh sebagai tempat latihan militer seluas 150 ha.
Namun, Ardi berujar, opsi pemindahan badak Jawa ke habitat kedua di luar kawasan TN Ujung Kulon memang penting, tapi tidak menjamin keamanan badak Jawa sendiri.
''Badak kalau tidak dikelola dengan cara yang sangat spesifik itu sudah pasti punah. Jadi mau dipindahkan ke manapun akan ada risiko lebih tinggi dalam jangka pendek. Kita hanya memindahkan risiko ke tempat lain,”kata Ardi menguti dari Haryanto akademisi IPB.
Sehingga, disampaikan Ardi, habitat kedua di Cikepuh Sukabumi sudah tidak relevan lagi, mengingat faktor keamanan, ketersediaan lahan untuk hidup badak Jawa, habitat dan penerimaan warga tidak memungkinkan.
“Selain itu pembiayaan akan lebih membengkak lagi untuk pra kondisi, pembentukan organisasi dan sarana prasarana baru serta operasionalnya” katanya.
Hal ini berdasarkan hasil diskusi dengan para ahli dari IPB, YABI, ALERT, BRIN dan para stakeholders dalam FGD Penyelamatan Badak Jawa 2023, bahwa pemindahan badak Jawa ke lokasi lain, selain Ujung Kulon, hanya memindahkan masalah ke lokasi yang lain dan bukan solusi.
Sampai saat ini habitat paling aman di dunia untuk badak Jawa hanyalah di TN Ujung Kulon, baik aksesibilitas, habitat, penerimaan warga maupun keamanannya.
“Hanya diperlukan peningkatan pengamanan dan pengembangan populasi serta pengelolaan habitat dan tidak membentuk organisasi baru,” kata Ardi.
Jawaban kritik peneliti Auriga
Peneliti Auriga Rizki Is Hadianto menyebut anggaran pembangunan JRSCA seharusnya dibarengi persiapan pemindahan badak. Akibatnya, sarana JRSCA terbengkalai dan memerlukan biaya tambahan untuk perawatan. Namun, Ardi menyebut bahwa pernyataan Peneliti Auriga sangat tidak relevan.
Ardi mengatakan, penyiapan sarana dan prasana JRSCA selayaknya didahulukan sebelum pemindahan dilakukan untuk menjamin keberhasilan program berikutnya.
“Pemindahan badak Jawa dari habitat asli ke JRSCA diperlukan studi yang mendalam oleh para ahli dan disetujui oleh kementerian, terkait cara memindahkan, individu terpilih, fasilitas pengangkutan, fasilitas kandang, karantina, tenaga medis, tenaga keeper dan lain sebagainya,” kata Ardi.
Jawaban proyek JRSCA tak sesuai kebutuhan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari Rachman, mengatakan, pengadaan barang dan jasa pada proyek JRSCA tidak sesuai dengan kebutuhan.
Ardi menanggapi bahwa JRSCA sudah didiskusikan sebelum tahun 2007 dan dituangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) badak Jawa tahun 2007 sampai dengan 2017.
Ardi membeberkan, dokumen roadmap JRSCA tahun 2015 - 2025 dengan SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang menyatakan bahwa pembangunan JRSCA itu mutlak dilakukan mengingat bahwa kenaikan populasi harus di atas 20 persen agar Badak Jawa tetap lestari.
“Berdasarkan data TNUK bahwa selama satu dekade ini kelahiran badak Jawa hanya 3 ekor per tahun rata-rata dan akan berdampak kepunahan secara sistematis. Belum lagi dengan menurunnya DNA yang ada selama ini akibat perkawinan sedarah/kerabat,” ucap Ardi.
Untuk itu, menurut Ardi, diperlukan bangunan dan fasilitas untuk breeding terkontrol, termasuk untuk mempercepat masa kawin, mempersingkat waktu sapih, termasuk ke arah ART atau Artifisial Reproduktion Teknologi dan bio bank untuk meningkatkan angka kelahiran badak Jawa dan perbaikan kondisi DNA.
Adapun proses perencanaan pembangunan JRSCA telah melalui tahapan sesuai prosedur dengan telah disusunnya studi kelayakan (feasibility study) pembangunan JRSCA pada tahun 2018 yang penyusunannya difasilitasi Yayasan Badak Indonesia.
Pada tahun 2021 melalui anggaran SBSN, dokumen studi kelayakan tersebut kemudian direvisi oleh Balai TNUK bekerja sama dengan tim ahli dari IPB, melalui swakelola tipe 2.
Bahkan, lanjut Ardi, di tahun yang sama tim ahli dari IPB juga menyusun Dokumen Enviromental Impact Assesment (EIA) sebagai prasyarat yang diminta oleh Unesco sebelum proses pembangunan JRSCA dilakukan.
“JRSCA ini juga telah ada feasility study (FS) yang dilakukan oleh IBP tahun 2021,” kata dia.
Bantahan pernyataan pengusaha dalam pengerjaan proyek
Ardi membantah pernyataan pengusaha asal Ujung Kulon bernama Samsuri yang menyebut proses lelang pekerjaan konstruksi di TNUK dilakukan menggunakan metode lelang terbatas.
“Penerapan lelang terbatas terhadap proses lelang proyek JRSCA tahun 2021-2023 sehingga hanya segelintir perusahaan yang ikut proses tender adalah tidak benar,” kata Ardi.
Menurutnya, istilah "lelang terbatas" berdasarkan peraturan pengadaan barang/jasa terbaru, sudah tidak dipergunakan lagi sesuai perka Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) RI Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia.
Ardi mengungkapkan, pelaksanaan pemilihan penyedia jasa konstruksi pada pekerjaan pembangunan JRSCA terdiri dari 18 paket tender pekerjaan konstruksi dan 2 paket seleksi pekerjaan perencanaan dan manajemen konstruksi (pengawasan).
“Dikarenakan keterbatasan personel pokja (kelompok kerja-red) pemilihan, maka Balai TNUK mengajukan permohonan bantuan tenaga pokja pemilihan melalui surat S.1081/T.12/TU/Ren/12/2020 tanggal 3 Desember 2020,” katanya.
Adapun komposisi pokja pemilihan paket pekerjaan Pembangunan JRSCA itu berasal dari satuan kerja (satker) TNUK 2 orang dan dari instansi pusat sebanyak 5 orang.
Dia menegaskan, proses pemilihan penyedia dilakukan secara terbuka dan diumumkan dalam aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penjelasan masing-masing paket pekerjaan.
Ardi juga membantah perusahaan pemenang menyerahkan pekerjaannya lapangan kepada subkontraktor.
Ardi mengatakan, sesuai aturan mengenai subkontrakor dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana terakhir diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 berkaitan dengan prestasi pekerjaan, pembayaran kepada penyedia baru dapat dilakukan ketika kontraktor utama telah melunasi pembayaran dan melampirkan bukti pembayaran/pelunasan terhadap sub-kontraktor sesuai dengan realisasi pekerjaannya, ini diatur dalam Pasal 53 ayat (3).
Pada pengadaan barang/jasa dalam bentuk tender/seleksi internasional pada Pasal 63 ayat (3), badan usaha asing perlu melakukan kerja sama usaha, salah satunya dalam bentuk subkontrak.
Dalam hal mencapai tujuan pengadaan dan meningkatkan peran serta usaha mikro usaha kecil atau UMKM dan koperasi, maka penyedia usaha non-kecil atau koperasi dapat melakukan kerja sama dalam bentuk salah satunya subkontrak, jika ada usaha kecil atau koperasi yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.Iini diatur di Pasal 65 ayat (7).
“Dengan demikian subkontrak merupakan skema kerja sama usaha yang dimungkinkan untuk dapat dilakukan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, menjadi bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah, karena dengan adanya skema ini (subkontraktor) memberikan perluasan / peningkatan peran serta usaha kecil dan koperasi,” kata Ardi.
Ardi menyampaikan, secara keseluruhan tidak ada kontraktor pelaksana yang men-subkontrakkan pekerjaannya, yang ada adalah bahwa sebagian kontraktor melibatkan vendor lokal dalam mengerjakan pekerjaannya, baik untuk pelibatan tenaga kerja dan pembelian barang, terutama berupa batu belah dan agregat.
“Bahwa pada setiap tahapan mulai penandatanganan kontrak MC - 0, MC -40, MC -60, MC80, MC -100, direktur dari masing-masing kontraktor pelaksana selalu hadir di lokasi pekerjaan mulai dari dokumen pemilihan hingga kontrak/SPK, PPK tidak menginstruksikan adanya pekerjaan yang di subkontrakkan,” katanya.
Di sisi lain, Ardi juga membantah penyedia menggunakan pasir pantai dalam proyek JRSCA. Ardi menilai, fakta yang terjadi di lapangan bahwa pada tanggal 10 Juni 2022, pihak Balai TNUK mendapatkan informasi dari konsultan manajemen konstruksi terkait adanya beberapa kontraktor yang telah membeli pasir hasil galian masyarakat di muara Sungai Cikawung.
Kemudian pada tanggal 11 Juni 2022, pihak Balai TNUK bersama dengan konsultan, tim teknis dinas PUPR dan tim pendamping dari Inspektorat Jenderal Kementerian LHK telah melakukan pemeriksaan lapangan atas adanya dugaan penggunaaan pasir muara tersebut.
“Dari hasil pemeriksaan lapangan tersebut didapatkan fakta bahwa kontraktor pelaksana dengan terpaksa membeli pasir tersebut karena warga lokal yang menjualnya dan setengah memaksa untuk dibeli pasirnya dengan alasan agar warga lokal di desa Ujung Jaya mendapatkan penghasilan dari menjual pasir tersebut,” kata dia.
Pada saat itu, pasir muara tersebut belum sempat dipergunakan oleh kontraktor pelaksana, sehingga pihak Balai TNUK memerintahkan untuk mengembalikan pasir tersebut kepada penjualnya sehingga tidak ada di lokasi proyek.
“Bahkan ada beberapa kontraktor pelaksana yang menyumbangkan pasir muara tersebut untuk pembangunan masjid yang berada di sekitar Desa Ujung Jaya dan Taman Jaya,” ucap Ardi.
Jadi, kata Ardi, pada saat pemeriksaan oleh tim Balai TNUK bersama dengan tim teknis PUPR dan tim pendamping Inspektorat Jenderal Kementerian LHK pasir muara yang telah dibeli dari warga lokal belum sempat dipergunakan.
Atas kejadian tersebut, Balai TNUK mengeluarkan instruksi melalui surat nomor : S. 25/T.12/DIPA-PBJ/SBSN/6/2022 tanggal 13 Juni 2022.
Ardi menyebut, pengusaha bernama Samsuri merupakan pengusaha lokal yang ditunjuk oleh pihak YABI untuk melaksanakan kegiatan pekerjaan konstruksi awal pembangunan JRSCA yang dimulai pada tahun 2010 sampai dengan 2011.
Adapun pekerjaannya, pembangunan kantor JRSCA YABI yang terletak di Legon Pakis, pembangunan Pos Jaga Cilintang yang terletak di Cilintang, pembangunan pagar pembatas JRSCA sepanjang kurang lebih 6 km.
“Keseluruhan anggaran bersumber dari anggaran YABI sehingga pelaksanaan pemilihan penyedia tidak mengikuti aturan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah,” kata Ardi.
Kemudian, tuduhan bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak melibatkan orang-orang lokal, Ardi pun membantahnya. Berdasarkan data pelaksanaan asal penyedia pekerjaan konstruksi adalah dari Serang 6, Pandeglang 10, Bandung 1, Karawang 2, Jakarta 1 penyedia.
“Berdasarkan data tersebut diambil kesimpulan bahwa sebanyak 50 persen pelaksana pekerjaan konstruksi berasal dari lokal Pandeglang,” katanya.
Hasil pekerjaan diklaim sudah diaudit dan dilakukan pendampingan

Ardi menegaskan pelaksanaan anggaran pihak Balai TNUK mulai dari tahun 2021 saat revisi feasibilty study sampai dengan pelaksanaan fisik pekerjaan akhir tahun 2022 telah melibatkan instansi yang berwenang untuk melakukan pendampingan. Diantaranya tenaga teknis dari Dinas Perkim Provinsi Banten, tim teknis Dinas PUPR Pandeglang dan tim pendamping dari Inspektorat Jenderal KLHK.
Serta telah dilakukan audit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI sesuai surat BPK RI Nomor: 3/S-TIM.2/INTERIM.KLHK/11/2022, Tanggal 30 Nopember 2022 dan Surat Nomor: 2/STIM.2/INTERIM.KLHK/12/2022, Tanggal 6 Desember 2022.
“Sehingga pernyaataan bahwa tidak mengetahui material dan lain-lain adalah tidak benar,” tegas Ardi.
Terakhir, Ardi menyampaikan, kegiatan pembangunan SBSN tahun 2019 telah diaudit oleh BPK RI dan juga didampingi oleh Inspektorat Jenderal KLHK dan juga Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Negeri Pandeglang.
“Untuk Pembangunan SBSN tahun 2021-2022 telah diaudit oleh BPK RI dan didampingi oleh Inspektorat Jenderal KLHK, sehingga akuntabilitas pembangunan sarana prasarana SBSN di TNUK dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.