Dinilai Asal-Asalan, JPPI Desak Pemerintah Moratorium Program MBG

- Banyak dapur penyedia MBG tidak memiliki sertifikat higienis dan Ketiadaan dasar hukum yang jelas dalam pelaksanaan program MBG jadi sorotan
- Minta evaluasi total dan reformasi BGN, seluruh dapur MBG dihentikan sementara untuk dilakukan evaluasi menyeluruh
- Ketimpangan penerima manfaat MBG yang tidak tepat sasaran, serta pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dan media dalam pengawasan
Tangerang, IDN Times – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara atau moratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG). Desakan ini muncul setelah sejumlah kasus keracunan siswa di berbagai daerah yang diduga berkaitan dengan makanan dari dapur MBG.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menilai, pelaksanaan program MBG terlalu dipaksakan dan berpotensi membahayakan keselamatan anak.
“Pemerintah jangan hanya berpikir mengejar target, tapi mengabaikan keselamatan anak. Ini sangat berbahaya. Presiden dan Badan Gizi Nasional (BGN) jangan main-main dengan nyawa anak,” tegas Ubaid, Minggu (12/10/2025).
1. Soroti dapur tak bersertifikat dan ketiadaan payung hukum

Ubaid menyebut, banyak dapur penyedia MBG yang belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), namun tetap dipaksa beroperasi. Kondisi ini, menurutnya, memperbesar risiko keracunan makanan di sekolah.
“Sudah jelas ngawur, hampir semua dapur tidak memiliki sertifikat higienis tapi tetap dipaksa jalan. Yang paling parah, BGN-nya membiarkan hal itu terjadi,” katanya.
Ia juga menyoroti ketiadaan dasar hukum yang jelas dalam pelaksanaan program MBG. Hingga saat ini, peraturan presiden (Perpres) yang menjadi payung hukum program tersebut belum diterbitkan.
“Tambah ironis, MBG jalan tanpa peraturan dan payung hukum yang jelas. Perpres MBG saja baru mau dibikin,” ujarnya.
2. Minta evaluasi total dan reformasi BGN

JPPI meminta agar seluruh dapur MBG dihentikan sementara untuk dilakukan evaluasi menyeluruh, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan.
“Semua dapur harus ditutup, lalu dilakukan evaluasi total. Dari hulu sampai hilir harus diperiksa, termasuk pimpinan BGN harus direformasi. BGN harus diisi oleh orang-orang yang paham gizi dan kesehatan,” tegas Ubaid.
Ubaid juga menyoroti ketimpangan penerima manfaat MBG yang menurutnya tidak tepat sasaran. Ia menilai banyak anak dari keluarga mampu justru ikut menerima program, sementara daerah dengan tingkat gizi buruk tinggi belum terjangkau.
“Jangan seperti sekarang, yang membutuhkan belum dapat, tapi anak-anak orang kaya yang gizinya melimpah malah dapat MBG. Dahulukan mereka yang membutuhkan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dan media dalam pengawasan, agar tidak ada penyelewengan maupun praktik tertutup.
“Peran masyarakat sipil dalam pengawasan MBG harus diperkuat. Jangan seperti hari ini, wartawan liputan diusir, masyarakat dilarang akses ke dapur MBG,” tambahnya.
3. Minta anggaran pendidikan tak dipakai untuk MBG

Selain aspek pelaksanaan, JPPI juga memprotes penggunaan anggaran pendidikan untuk membiayai program MBG. Ubaid menilai hal ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi karena justru mengurangi alokasi dana pendidikan yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki kualitas sekolah dan kesejahteraan guru.
“Anggaran pendidikan itu mendesak digunakan untuk memperbaiki sekolah yang rusak, meningkatkan mutu guru, dan membantu anak-anak putus sekolah, bukan malah digerogoti oleh MBG,” ujar Ubaid.
Ia menilai pemotongan porsi anggaran pendidikan untuk MBG bisa membuat alokasi pendidikan nasional turun hingga 14 persen dari APBN, jauh di bawah amanat Pasal 31 UUD 1945.
“Kalau seperti ini, anggaran pendidikan jadi inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.