Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Persamaan Upah Buruh Perempuan dan Laki-Laki, Jauh Panggang dari Api

Buruh perempuan (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Buruh perempuan (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Intinya sih...
  • Kesenjangan upah buruh laki-laki dan perempuan di Indonesia terungkap dalam hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025.
  • Perbedaan upah laki-laki dan perempuan ada di semua level tingkat pendidikan, mulai dari SD hingga sarjana, dengan selisih terbesar ada di tingkat Diploma I/II/III sebesar Rp1.441.620.
  • Upah rata-rata perempuan Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun ada beberapa lapangan usaha di mana upah perempuan lebih tinggi.

Pada awal Mei 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data dengan tajuk Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia per Februari 2025. Salah satu isu yang terungkap dalam hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 itu adalah perbedaan upah buruh laki-laki dan perempuan.

BPS mengungkap bahwa rata-rata upah buruh dari Februari 2024 hingga Februari 2025 tumbuh 1,78 persen, yakni dari Rp3,04 juta menjadi Rp3,09 juta. Di balik pertumbuhan positif itu, rata-rata upah buruh laki-laki rupanya lebih besar, yakni sebesar Rp3,37 juta. Sementara itu,  rata-rata upah buruh perempuan hanya sebesar Rp2,61 juta.

Potret ini menjadi ironi. Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO) sudah mengatur mengenai persamaan upah untuk buruh atau pekerja dengan jenis pekerjaan yang sama dalam Konvensi 100/1951 dan Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957. 

Setelah 68 tahun ratifikasi konvensi ILO itu, mimpi persamaan upah antara perempuan dan laki-laki di Indonesia tampaknya masih jauh panggang dari api. Setidaknya, hal itu yang tampak pada Sakernas) Februari 2025 di atas. 

Sejumlah hyperlocal IDN Times pun mengulik lebih dalam mengenai kesenjangan upah buruh berbasis gender, dalam laporan khusus atau kolaborasi di bawah ini. 

1. Perbedaan upah pekerja laki-laki dan perempuan juga tampak berdasarkan tingkat pendidikan

Infografis rata-rata upah buruh perempuan dan laki-laki berdasarkan pendidikan (IDN Times/M Shakti)
Infografis rata-rata upah buruh perempuan dan laki-laki berdasarkan pendidikan (IDN Times/M Shakti)

Dalam survei BPS tersebut, perbedaan antara upah rata-rata laki-laki dan perempuan pun tampak dari tingkat pendidikan.

Perbedaan upah laki-laki dan perempuan di Indonesia itu ada di semua level tingkat pendidikan, mulai dari SD hingga sarjana. Selisih terbesar upah rata-rata berdasarkan pendidikan ini ada di tingkat Diploma I/II/III, sebesar Rp1.441.620. (Lihat tabel di atas). 

Potret ini juga tampak pada skala lebih kecil, yakni provinsi. Berdasarkan data BPS Sumatra Selatan, upah atau gaji dari buruh perempuan lebih rendah Rp730 ribu dibanding buruh laki-laki. Buruh perempuan menerima rata-rata Rp2,39 juta per bulan sedangkan untuk laki-laki lebih tinggi hingga Rp3,12 juta.

"Indonesia termasuk negara yang lambat mengejar kesetaraan, termasuk dalam soal upah," ungkap Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel, Sumarjono Saragih, kepada IDN Times, Rabu (14/5/2025).

Sumarjono mengungkapkan, masalah kesenjangan upah gender merupakan permasalahan global dan kronis dalam dunia kerja. "Perempuan masih menerima upah sekitar 16-20 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama," ungkap dia.

Kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki di Indonesia ini pun menjadi sorotan ILO. Berdasarkan laporan terbaru ILO bertajuk Women in Business and Management: Understanding the Gender Pay Gap, perempuan Indonesia rata-rata menerima upah 17 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki, dan bahkan mencapai 12 persen di level manajerial.

Meski demikian, berdasarkan survei BPS itu, ada 6 lapangan usaha di mana upah perempuan lebih tinggi, dibandingkan laki-laki, yakni Pertambangan dan Penggalian; Aktivitas Keuangan dan Asuransi; Real Estate; Aktivitas Profesional dan Perusahaan; Pengangkutan dan Pergudangan; serta Konstruksi.

Secara umum, lapangan usaha dengan rata-rata upah tertinggi adalah: 
1. Pertambangan dan Penggalian sebesar Rp5,09 juta;
2. Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas dan Udara Dingin sebesar Rp5,04 juta;
3. Aktivitas Keuangan dan Asuransi sebesar Rp4,88 juta;
4. Informasi dan Komunikasi sebesar Rp4,13 juta;
5. Real Estate sebesar Rp4,04 juta;
6. Aktivitas Profesional dan Perusahaan sebesar Rp3,97 juta;
7. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar Rp3,76 juta; 8. Pengangkutan dan Pergudangan sebesar Rp3,72 juta;
9. Aktivitas Kesehatan Manusia dan Aktivitas Sosial sebesar Rp3,42 juta;
10. Konstruksi sebesar Rp3,21 juta.

2. Perbedaan gaji karena gender di akar rumput

Buruh perempuan di sektor pertanian (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)
Buruh perempuan di sektor pertanian (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Seorang buruh pertanian asal Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali bernama Ni Wayan Rasmini (36) merasakan perbedaan upah, dibandingkan laki-laki. Ia bekerja sejak pukul 7.30 Wita hingga 16.30 Wita. Upah yang diterimanya Rp110 ribu, sedangkan buruh pertanian laki-laki diupah Rp130 ribu.

Dia mengungkap, perbedaan upah ini sudah berlangsung lama dalam sistem pengupahan buruh pertanian. "Mungkin karena tenaganya yang beda ya. Pekerjaannya sama, yang kami kerjakan sama seperti mencangkul, menanam, memupuk, metik sayur," kata dia.

Ketimpangan upah buruh pertanian ini baginya sudah biasa, namun ia berharap agar ke depan upah yang diterima bisa setara karena pekerjaan yang dilakukan juga sama. "Harapannya perubahan bayaran kalau bosnya mau," harapnya.

Nasib serupa juga dialami pekerja serabutan di Kuta, Laila (28). Dia bercerita ketika dia bekerja di penginapan daerah Kuta. Kala itu, dia mendapat upah Rp1,5 juta per bulan. Sementara gaji untuk housekeeper laki-laki sekitar Rp2 juta. Meski begitu, Laila bertanggung jawab mengatur guest house hingga bersih-bersih. 

Dia mengaku tak lama kemudian memilih berhenti bekerja. Ia tidak bisa menuntut banyak terkait bayaran sehingga pilihan satu-satunya adalah mencari pekerjaan lain yang berbeda atasan.

Cerita buruh perempuan lainnya datang dari Sri (39). Dia merupakan satu diantara puluhan wanita di desanya yang bergantung pada sawit di Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatra Selatan. Berstatus  Buruh Harian Lepas (BHL) di perusahaan sawit, dia harus bisa membagi waktu antara mengurus keluarga dan bekerja dengan upah jauh di bawah minimum yang sudah ditetapkan.

Menurut Sri, upah yang dia terima dirasakan belum cukup untuk menambal kebutuhan rumah sehari-hari. Sang suami juga buruh sawit. Selama ini, Sri mengaku, upah yang dia terima berbeda dengan suami karena beban pekerjaan sang suami memang lebih berat dibandingkan dirinya yang memupuk dan memelihara sawit remaja.

Sri menyebutkan, selisih nominal antara pekerja perempuan dan laki-laki cukup besar. "Saya tahu, karena kebetulan kami (suami istri) sama-sama buruh sawit. Kalau tidak masuk kerja entah itu izin atau sakit, upah ikut terpotong," ujarnya.

3. Beda upah karena gender, pekerja: itu gak adil!

Persentase Pekerja Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan (IDN Times/M Shakti)
Persentase Pekerja Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan (IDN Times/M Shakti)

Sementara itu, salah satu karyawan swasta asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) bernama Riyanti mengaku baru mengetahui adanya perbedaan rata-rata upah laki-laki dan perempuan. Selama ini, kata dia, perusahaan juga tidak terbuka soal gaji masing-masing karyawan.

"Misalnya karyawan A dapat gaji berapa, karyawan B dapat gaji berapa. Kami diminta merahasiakan gaji antara sesama karyawan. Jadi kami gak tahu gaji karyawan laki-laki berapa, perempuan berapa," kata Riyanti di Mataram, Sabtu (17/5/2025).

Seharusnya, kata dia, gaji laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan jenis kelamin atau gender, tetapi berdasarkan kemampuan. Meski demikian, dia mengetahui bahwa persoalan upah rata-rata antara laki-laki dan perempuan itu merupakan persoalan global, bukan hanya di Indonesia saja. 

"Memang infonya dari dulu. Padahal beban kerja sama, kenapa harus dibedakan? Misalnya kerja di pabrik sama saja beban kerjanya," kata Riyanti.

Dia menilai, upah rata-rata yang berbeda hanya karena laki-laki dan perempuan atau gender, itu merupakan tindakan yang tidak adil. Oleh karena itu, dia menilai, ketimpangan seperti itu tidak boleh dilanggengkan. 

"Kadang ada di proyek konstruksi yang jadi buruh bukan cuma laki-laki tapi juga perempuan. Dan itu kerjanya sama, beban kerjanya sama. Kenapa mesti dibedakan? Itu menurut saya, gak adil," imbuhnya.

Dia mengatakan ketimpangan seperti ini jangan terus menerus dilanggengkan, apalagi saat ini, kian banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga.

Senada dengan Riyanti, buruh laki-laki asal Patumbak, Deli Serdang bernama Irsan menyatakan ketidaksetujuannya jika upah buruh dibedakan hanya karena gender.  "Kalau sama pekerjaannya tapi gaji berbeda itu itu tidak boleh.Harus disamakan dia, tidak setuju saya. Upah pekerja laki-laki dan perempuan itu sama," katanya.

Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia-Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI-KSN) mengungkap, praktik ketimpangan gaji antara pekerja laki-laki dan perempuan masih marak ditemukan di Provinsi Lampung.

Ketua Umum FPSBI - KSN, Yohanes Joko Purwanto mengatakan, kesenjangan upah pekerja berdasarkan gender terjadi di Lampung tersebut mudah ditemukan pada klasifikasi pekerjaan buruh kasar. Misalnya, karyawan kafe, penjaga toko, hingga pekerja pergudangan.

Tak tanggung-tanggung, perbedaan besaran gaji dimaksud bisa mencapai 2 persen sampai 3 persen, bahkan bisa mencapai 50 persen. Alhasil, tak jarang kondisi ini dirasa para buruh perempuan sebagai bentuk kesenjangan hingga diskriminasi di lingkungan pekerjaan dengan para buruh pria.

"Ini persoalannya karena minimnya lapangan pekerjaan di Lampung, sehingga menjadi salah satu faktor pendorong upah rendah," ujarnya dikonfirmasi, Jumat (16/5/2025).

Menyoal ketimpangan gaji tersebut, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Provinsi Lampung, Yuri Agustina Primasari mengklaim, pihaknya selama ini belum menerima adanya laporan maupun pengaduan terkait persoalan tersebut.

"Paling perbedaannya terkait UMK (upah minimum kabupaten/kota), ini masing-masing per kabupaten/kota, tapi kalau per gender itu tidak ada," katanya.

Ihwal desakan penetapan upah layak nasional bagi para buruh, dikatakan, kebijakan itu mengacu terhadap ketetapan pemerintah pusat. "Sama seperti UMP, UMK, kami mengikuti arahan dari pusat dulu. Seperti kemarin, UMP sekian naiknya 6,5 persen," kata dia.

4. Mengapa ada kesenjangan upah laki-laki dan perempuan?

Ilustrasi pekerja laki-laki dan perempuan  (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Ilustrasi pekerja laki-laki dan perempuan (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Saat ini, Indonesia masuk kategori negara berpenghasilan menengah bawah. Dengan kondisi itu, Indonesia masih bergulat dengan berbagai faktor penyebab kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan catatan ILO, penyebabnya adalah representasi perempuan di posisi strategis masih rendah; angka pekerja paruh waktu perempuan karena tanggung jawab keluarga pun tinggi; hingga minimnya akses ke layanan penitipan anak dan lansia yang terjangkau.

Selain itu, stereotip pekerjaan ‘perempuan’ yang dianggap bernilai lebih rendah juga masih menjadi hambatan struktural yang sulit ditembus.

Sementara itu, aktivis gender asal NTB, Nurjanah menilai, kesenjangan upah laki-laki dan perempuan juga disebabkan lemahnya pengawasan pemerintah, termasuk di daerah.

Seharusnya, kata dia, pemerintah di daerah melalui Dinas Tenaga Kerja mengecek dan mengawasi implementasi UU Ketenagakerjaan di setiap perusahaan di bawah kewenangannya, termasuk upah dan hak-hak lain yang spesifik untuk perempuan. 

Ketika fungsi pengawasan tidak berjalan, hal itu berkontribusi terhadap indeks ketimpangan gender itu adalah dimensi ekonomi, termasuk upah. "Itulah pentingnya pemahaman dukungan untuk mengatasi gap atau ketimpangan gender itu harus dilakukan lintas sektoral," kata Nurjanah.

Dia juga berharap, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) harus intens berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja untuk memastikan pengawasan di sektor upah.

Menurutnya, ketimpangan gaji laki-laki dan perempuan berkontribusi terhadap tingkat kemiskinan perempuan. "Karena tidak adilnya keberpihakan yang sama antara laki-laki dan perempuan," ungkapnya.

Nurjanah menambahkan bahwa sekarang banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga. Bukan saja karena cerai hidup atau cerai mati, tetapi ada yang menjadi kepala keluarga karena suaminya tidak bisa bekerja karena sakit. Kemudian ada anak perempuan yang menghidupi orangtuanya yang sudah lansia sehingga dapat dikatakan sebagai kepala keluarga.

Sementara itu, Ketuaa Apindo Sumsel, Sumarjono Saragih juga menambahkan, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi upah buruh perempuan, antara lain berkaitan dengan pendidikan, tenaga, dan kompetensi yang ada.

"Di Indonesia, kesenjangan ini menjadi semakin kompleks karena dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan kelemahan dalam legislasi (peraturan negara) ketenagakerjaan," jelas dia.

5. Komitmen bersama untuk mendorong kesetaraan upah laki-laki dan perempuan

Infografis Status Pekerjaan Penduduk Indonesia (IDN Times/M Shakti)
Infografis Status Pekerjaan Penduduk Indonesia (IDN Times/M Shakti)

Ketua Komtap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Y Sri Susilo tidak menampik adanya perbedaan di DIY tentang ketimpangan untuk upah pekerja laki-laki dan perempuan.

“Sebenarnya kalau menurut regulasi tidak boleh ada diskriminasi, kalau pekerjaan sama, tanggung jawab sama, beban kerja sama, ya upah, gaji sama,” ujar Susilo, Jumat (16/5/2025).

Susilo menyebut meski masih ditemukan ketimpangan berkaitan upah pekerja laki-laki dan perempuan, namun Kadin DIY berkomitmen mendorong kesetaraan hak, termasuk upah sesuai dengan regulasi UMR.

“Untuk hak lainnya terpenuhi dari skala besar hingga kecil. Kecuali ada kondisi khusus seperti pandemi COVID-19 kemarin, ada kebijakan-kebijakan khusus, namun kalau kondisi normal, hak normatif pekerja, hak cuti, lembur, bonus, dan sebagainya terpenuhi,” ungkap Susilo.

Sementara itu, Cluster Director of Marketing Communications Sheraton Bali Kuta Resort & Aloft Bali Kuta at Beachwalk, Mona Cella menegaskan, pihaknya menolak segala bentuk ketimpangan, termasuk ketimpangan gaji berbasis gender.

"Kami percaya bahwa setiap individu terlepas dari gender, berhak mendapatkan apresiasi yang setara atas kontribusi dan kompetensinya di tempat kerja," ungkapnya.

Berdasarkan pengalaman, Mona tidak menemukan praktik perbedaan upah pekerja laki-laki dan perempuan di sektor perhotelan. 

Sistem penggajian, kata dia, dilakukan berbasis pada posisi, tanggung jawab pekerjaan, pengalaman kerja, serta kinerja individu. Penilaian dilakukan secara objektif dan transparan untuk memastikan keadilan bagi seluruh karyawan, baik perempuan maupun laki-laki.

Perusahaan memiliki kebijakan internal dan sistem evaluasi yang terstruktur untuk memastikan kesetaraan. Setiap promosi dan penyesuaian gaji didasarkan pada kinerja, masa kerja, dan hasil penilaian kompetensi. Selain itu juga mengikuti pedoman dan audit internal secara berkala untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip tersebut.

Meski demikian, Mona berharap, sistem penggajian di Indonesia terus berkembang. Dengan dukungan dari regulasi pemerintah, asosiasi industri, dan perusahaan-perusahaan swasta, ia optimis Indonesia bisa menjadi contoh dalam hal perlindungan hak tenaga kerja, kesetaraan gender, serta pemberdayaan SDM di sektor perhotelan dan pariwisata.

Ketua Partai Buruh Sumatra Utara (Sumut), Willy Agus Utomo juga menegaskan bahwa upah buruh tidak boleh dibedakan karena gender. Menurutnya seluruh pekerja buruh berhak atas upah minimal dan upah minimum kabupaten/kota setempat.

Apabila ada perbedaan buruh laki-laki dan perempuan itu merupakan pelanggaran pidana perusahaan terhadap pekerjanya. "Artinya, setiap pekerja buruh itu tidak boleh dibayar di bawah upah minimum kabupaten kota. Apabila terjadi itu merupakan tindak pidana ketenagakerjaan," jelas Willy kepada IDN Times, Sabtu (17/5/2025).

Sejauh ini, dia mengaku belum menemukan ketimpangan gaji antara buruh laki-laki dan perempuan. Temuan yang muncul saat ini, soal perusahaan yang membayar upah di bawah ketentuan atau UMK.

Meski demikian, dia tidak menampik praktik perbedaan upah perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, masih ada di Sumut. "Tapi, biasanya itu di sektor buruh perkebunan, seperti Labuhanbatu, Serdang Bedagai dan daerah lainnya," jelasnya.

Dia pun mengaku pihaknya siap membantu advokasi jika ada pekerja yang merasa didiskriminasikan terkait upah berbasis gender.  "Kami siap memnbantu advokasi untuk mendapatkan haknya atas upah," ungkapnya.

Senior Program Officer ILO Indonesia, Lusiani Julia mengungkap, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kesenjangan upah gender di Indonesia, seperti mulai dari mempromosikan tempat kerja yang tidak diskriminatif.

"Misalnya membangun kesadaran bahwa beban pengurusan anak dan rumah tangga tidak hanya tanggung jawab perempuan. Jadi perempuan bisa lebih berperan di tempat kerja, dan tidak harus berhenti bekerja ketika ada tanggung jawab pengurusan anak ataupun keluarga," kata Lusiani, Sabtu (17/5/2025).

Upaya itu, lanjut Lusi, bisa dimulai dengan menyediakan layanan daycare dan rumah khusus lansia yang terjangkau.

"Biasanya akar masalahnya karena beban pengasuhan ada di perempuan dan tidak adanya support system untuk membantu perempuan," ungkapnya.

Selain itu, support sytem terhadap pekerja perempuan tidak hanya dari keluarga, tapi pemerintah juga bisa mengambil peranan melalui layanan-layanan umum yang mudah diakses dan terjangkau.

"Yang kedua tentu saja pengawasan dan penegakan hukum, diskriminasi tidak boleh dibiarkan terjadi harus ada mekanisme pengaduan dan penyelesaian dan bila perlu ada sanksi yang tegas terhadap tindakan diskriminasi," jelasnya.

Selama ini, lanjutnya, diskriminasi hanya dibicarakan, tapi tidak pernah dicari cara untuk penyelesaiannya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ita Lismawati F Malau
EditorIta Lismawati F Malau
Follow Us