Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Revisi UU TNI dan Kritik Bung Hatta atas Dwifungsi Tentara

Seskab Letkol Teddy Indra Wijaya (setkab.go.id)
Intinya sih...
  • Revisi UU TNI memicu protes masyarakat Indonesia
  • Dwifungsi ABRI kembali dikhawatirkan membahayakan demokrasi
  • Sejarah dwifungsi militer terkait dengan politik, ekonomi, dan bisnis di Indonesia

Lebak, IDN Times - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang mencuat belakangan ini telah memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Sejumlah pasal dalam rancangan revisi tersebut dinilai membuka kembali peluang bagi militer untuk lebih terlibat dalam urusan sipil, seperti jabatan di kementerian dan lembaga negara.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI, di mana tentara tidak hanya bertugas menjaga pertahanan negara, tetapi juga memiliki peran dalam pemerintahan dan politik. Banyak pihak menilai bahwa keterlibatan militer dalam birokrasi sipil berpotensi mengancam demokrasi dan mengaburkan batas antara kekuatan militer serta pemerintahan sipil yang seharusnya dijaga ketat dalam sistem demokrasi modern.

Sejarah mencatat bahwa peran militer di luar sektor pertahanan bukanlah hal baru di Indonesia. Pada era Orde Baru, dwifungsi ABRI menjadi kebijakan resmi yang memberikan ruang luas bagi militer untuk terlibat dalam politik, ekonomi, dan birokrasi negara. Para perwira aktif menduduki berbagai posisi strategis, mulai dari kepala daerah hingga pimpinan perusahaan negara, yang pada akhirnya menciptakan budaya patronase dan memperkuat oligarki militer.

Lantas bagaimana lintasan sejarah konsep dwifungsi ini dan penerapannya dalam politik di Indonesia?

1. Kritik keras Bung Hatta terhadap pelibatan tentara dalam ranah poltik, birokrasi sipil, hingga usaha ekonomi

Dok. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia

Dikutip dari artikel BBC Indonesia berjudul Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru? konsep dwifungsi TNI dapat ditelusuri dan ditautkan dengan pidato Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 di Akademi Militer Magelang.

Dalam pidato itu, Nasution mengungkapkan konsep 'Jalan Tengah' yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik, selain fungsi pertahanan dan keamanan.

Konsep dwifungsi militer ini pun mendapat kritik keras dari proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta dalam tulisan kritiknya terhadap Presiden Sukarno berjudul Demokrasi Kita yang di majalah Pandji Masjarakat. Dalam tulisannya, Hatta mengungkapkan bahwa awal mula masuknya tentara ke ranah sipil erat kaitannya dengan situasi politik dan keamanan pada tahun 1950-an.

"Sudah lebih dulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai. Percekcokan politik di pusat besar pengaruhnya ke bawah. Di daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi tentara. Alih-alih menyiapkan diri untuk tugas yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, tentara malah terus menerus disuruh melakukan tugas polisi ke dalam," tulis Hatta.

Pada tahun 1952, lanjut Hatta, pernah pemimpin angkatan perang yang dalam berbagai sumber merupakan Jenderal AH Nasution memohon kepada Presiden agar Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bekerja yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. permohonan itu tidak berhasil, sebab Presiden menunjukkan kedudukannya sebagai kepala negara konstitusional.

"Akhirnya, keikutsertaan tentara dengan gerakan rakyat di beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan," ungkap Hatta.

Tak cuma berhenti masuk dalam ranah politik, menurut Hatta, tentara juga masuk dalam ranah birokrasi dan bisnis melalui gerakan nasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan era kolonial Belanda, seperti perusahaan energi, perkebunan, perbankan, transportasi dan berbagai jenis aset lain.

"Persengketaan tentang Irian Barat yang semakin memuncak, memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semua itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentara," tulis Hatta.

Dalam karya tulis yang membuat majalah Pandji Masjarakat dibredel rezim Sukarno ini, Hatta menulis: Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka, sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partaipartai politik dalam pemerintah, tentara menganjurkan ide: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistem kabinet presidensil. Cita-cita itu disokong beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu itu semua diusulkan dengan interpretasi sendiri!

2. Keikutsertaan tentara dalam mengatur perusahaan ini menjadi tradisi tersendiri dalam angkatan bersenjata

Jenderal TNI (Purn) Soeharto dilantik menjadi Presiden RI periode 1988-1993 dalam Rapat Paripurna ke-11 Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Jumat (11/3/1988). ANTARA FOTO/N04/pras

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Bung Karno, Haryo Ksatrio Utomo dalam jurnal ilmiah berjudul Dinamika Politik yang menyebabkan kemunculan Bisnis Militer di Indonesia antara tahun 1957 dan tahun 1959 mengungkapkan, penugasan militer dalam upaya nasionalisasi aset Belanda tersebut merupakan cara Presiden Sukarno menyeimbangkan kekuatan kelompok progresif dan kelompok kiri dalam gerakan nasionalisasi ini.

"Sukarno merupakan elite politik pertama yang melibatkan militer secara penuh untuk memperoleh dukungan kuat selama Masa Orde lama. Masa orde lama merupakan fase saat Sukarno memasukkan militer dalam strategi korporatisme yang bertujuan untuk menciptakan keserasian politik melalui demokrasi terpimpin. Penyatuan militer dalam struktur politik nasional memberikan peluang bagi militer untuk memperkuat pengaruh dalam birokrasi lokal dan nasional, sehingga itu mampu mengoptasi jaringan bisnis lokal dan nasional secara bersamaan," tulis Haryo.

Menurut Haryo, kekuatan birokrasi militer menjadi fondasi militer untuk mengelola berbagai aset strategis, dan itu termasuk penguasaan bisnis minyak nasional.

"Penguasaan bisnis minyak dimulai sejak tahun 1957, ketika Nasution menyuruh Deputi II, Kolonel Ibnu Sutowo untuk mengambil alih ladang minyak di Sumatera. Pada masa Demokrasi Terpimpin, tiga perusahaan minyak Caltex, Stanvac, dan Shell dengan berat hati menyerahkan konsesi-konsesi yang mereka peroleh sejak jaman kolonial Belanda dengan sistem bagi hasil dengan perusahaan pemerintah, yaitu Permina. Permina ini kemudian berubah menjadi Pertamina pada tahun 1968 sebagai dampak dominasi militer Angkatan Darat terhadap birokrasi sipil sejak tahun 1966," ungkap Suharyo.

Pada akhirnya, keikutsertaan tentara dalam mengatur perusahaan ini menjadi tradisi tersendiri dalam angkatan bersenjata.

Menurut Bondan Kanumoyoso dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001), perwira-perwira yang ikut serta dalam usaha pengelolaan ekonomi dipercaya telah melaksanakan tugas menyalurkan dana ke dalam tubuh tentara dan mengurangi ketergantungan militer pada anggaran belanja pemerintah pusat.

Saat pemerintahan Orde Baru, bisnis tentara itu semakin meluas. Rezim Soeharto yang ditopang oleh tangsi dan partai penguasa alias Golkar menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, tak terkecuali di tubuh Pertamina.

3. Ada trauma militerisme Orde Baru, ini kritik keras YLBHI

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kedua dari kiri). (IDN Times/Santi Dewi)

Dalam siaran pers baru-baru ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak dengan tegas revisi UU TNI yang akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.

YLBHI memandang bahwa usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.

Dalam siaran pers tersebut, YLBHI menyatakan, belajar dari Orde Baru, dan perjalanan militer pasca Reformasi, operasi militer non-perang dengan dalih ‘mengatasi gerakan separatis bersenjata’ dan ‘mengatasi pemberontakan bersenjata’ di Aceh dan Papua telah menghasilkan pelanggaran HAM berat yang berlapis, mulai dari pengusiran paksa, kelaparan, hingga extrajudicial killing.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
M Iqbal
Ita Lismawati F Malau
M Iqbal
EditorM Iqbal
Follow Us