Sebagian Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai daripada Lapor Polisi

- Sebanyak 9 korban KDRT gugat cerai
- Pendampingan hukum dilakukan oleh tiga lembaga
- Proses hukum perceraian dipilih karena dinilai lebih cepat
Tangerang Selatan, IDN Times – Sejumlah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memilih menggugat cerai suaminya ke pengadilan agama, ketimbang melapor ke polisi. Mereka menilai proses hukum pidana berjalan lebih lambat dibandingkan proses perceraian.
Sekretaris Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah Kota Tangsel, Alin Esa Priatna, mengungkapkan pihaknya telah menerima 31 permohonan bantuan hukum dari para perempuan korban KDRT, sepanjang tahun ini.
“Kami telah menerima 31 permohonan bantuan hukum dari para perempuan korban KDRT ini,” kata Alin, Senin (3/11/2025).
Menurutnya, bentuk kekerasan yang dialami korban beragam mulai dari kekerasan psikis, fisik, hingga penelantaran ekonomi. Namun, sebagian besar korban tidak ingin melanjutkan kasus ke jalur pidana.
“Keputusan ini diambil karena korban menghendaki proses hukum yang lebih cepat dibanding proses di kepolisian yang dinilai membutuhkan waktu panjang,” ujar Alin.
1. Sebanyak 9 korban resmi mengajukan gugatan cerai

Dari 31 korban, sebanyak 9 orang telah resmi menggugat cerai suami mereka ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Sidang perdana digelar serentak pada Kamis (31/10/2025) melalui mekanisme sidang keliling di Balai Ratu Permai, Ciputat, Tangsel.
Para perempuan korban KDRT itu didampingi secara hukum oleh tiga lembaga: Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah Tangsel, LBH Keadilan, dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah Kota Tangsel.
“Keputusan para perempuan ini untuk menggugat cerai menunjukkan upaya mereka mencari keadilan dan perlindungan diri dari situasi KDRT yang mereka alami,” kata Ketua Posbakum ‘Aisyiyah Kota Tangsel, Halimah Humayrah Tuanaya.
2. Pendampingan hukum terus dilakukan

Sementara itu, Direktur LBH Keadilan, Nurbayu Susandra menegaskan, pihaknya akan terus memastikan seluruh proses hukum berjalan lancar bagi para perempuan korban.
“Pendampingan ini adalah wujud komitmen organisasi dalam memberikan akses keadilan, khususnya bagi perempuan dan anak,” kata Nurbayu.
Fenomena banyaknya korban KDRT di Tangsel yang memilih jalur perceraian ketimbang laporan pidana ini menunjukkan masih lemahnya mekanisme perlindungan yang cepat dan responsif bagi korban kekerasan rumah tangga di tingkat lokal.
















