Tanah milik Mbah Tupon yang beralih kepemilikan dan akan dilelang.(IDN Times/Tunggal Damarjati)
Diberitakan sebelumnya, kasus mafia tanah diduga menimpa Tupon (68) atau kerap disapa Mbah Tupon yang tinggal di Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Saat ini, pekarangan depan rumahnya dipasangi papan kayu dan kain spanduk bertuliskan 'Tanah dan Bangunan ini Dalam Sengketa'.
Sertifikat tanah seluas 1.655 meter persegi (m²) warisan orangtua Mbah Tupon, sudah berbalik nama, tanpa sepengetahuannya. Bahkan tanah tersebut digunakan untuk agunan Rp12,5 miliar.
"Saya gundah, sedih, ya nggak seperti biasanya, mumet. Saya cuma pingin sertifikat tanah saya kembali," ujar Mbah Tupon," kata Mbah Tupon di kediamannya, Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan.
Menurut Heri Setiawan (31), putra sulung Mbah Tupon, semula sang ayah punya tanah dengan luas total 2.100 m². Pada 2020, menghibahkan sebagian warisannya itu sekitar 90 m² untuk akses jalan kampung serta mewakafkan 53 m² buat gudang RT.
Total tanah tersisa tinggal 1.655 m². Kemudian, sekitar 298 m² dijual ke mantan anggota dewan di Bantul berinisial BR, lantaran Mbah Tupon butuh duit untuk membangun rumah anaknya. Pembayaran saat itu dilakukan lewat skema angsuran sampai kekurangan tinggal Rp35 juta. Kata Heri, BR beberapa bulan berselang menawarkan pelunasan dengan bantuan memecah tanah sisa milik Mbah Tupon menjadi empat sertifikat.
"Si pembeli yang inisiatif nawarin pecah sertifikat, jadi empat. Buat bapak dan tiga anaknya," ujar Heri.
Tanpa rasa curiga, Mbah Tupon mengiyakan tawaran tersebut. Dia lantas diajak oleh T, seorang perantara BR, untuk menandatangani sejumlah dokumen yang dia tidak tahu apa isinya. Mbah Tupon dibawa ke dua lokasi, yakni ke Jalan Janti, Depok, Sleman dan Krapyak, Sewon, Bantul, tapi tak satu pun dia ingat tempat apa itu.
"Waktu tanda tangan berkas juga enggak dibacain apa isinya, sementara bapak kan nggak bisa baca tulis," kata Heri.
T masih satu kali lagi meminta Mbah Tupon menandatangani berkas. Lokasinya saat itu di rumah. Beberapa hari berselang, perantara BR itu juga meminta uang Rp5 juta untuk proses pecah sertifikat. Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tapi, sertifikat pecah yang dijanjikan BR tak kunjung berwujud. Mbah Tupon cuma diminta bersabar setiap kali menanyakan progresnya.
Pada Maret 2024, Heri sekeluarga kaget bukan main tatkala petugas PT Permodalan Nasional Madani (PNM) datang ke rumah dan menginformasikan tanah 1.655 m² milik Mbah Tupon beserta dua bangunan rumah di atasnya sudah masuk lelang tahap pertama. Alasannya, sertifikat tanah telah dijaminkan ke PNM senilai Rp1,5 miliar dan peminjam sama sekali tidak melakukan pembayaran. Padahal, tak seorang pun dari pihak keluarga merasa mengutak-atik tanah sisa Mbah Tupon sejak tawaran pecah sertifikat oleh BR.
Per hari itu pula, mereka mengetahui dari pihak PNM bahwa sertifikat tanah sisa Mbah Tupon sudah berganti nama menjadi milik seorang warga Kotagede, Kota Jogja berinisial IF. Petugas sempat menunjukkan salinan sertifikat berupa hasil fotokopi. Anehnya, dalam rentang waktu 2020-2024, pihak keluarga Mbah Tupon tidak mendapati aktivitas survei lapangan atau fisik oleh bank untuk memastikan bahwa properti yang tertera pada sertifikat agunan sesuai.
"Nah, setelah PNM datang itu kami tanya bapak dan baru tahu ternyata ada [proses] tandatangan-tandatangan berkas itu tadi, sebelumnya kita nggak tahu sama sekali," kata Heri.