Rencana Pembangunan Jalur KA di Jasinga Sudah Ada dari Hindia Belanda

- Rencana dan kajian jalur kereta api sudah dilakukan pada tahun 1915, dengan proyek yang dinilai strategis secara ekonomi.
- Infrastruktur jalan rusak dan transportasi darat tidak efisien, menjadi alasan mendesaknya pembangunan jalur kereta baru.
- Maja diproyeksikan jadi titik transit strategis yang menguntungkan secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
Lebak, IDN Times – Pemerintah Kabupaten Bogor tengah mengkaji jalur kereta KRL Commuter Line ke arah Jasinga, Kabupaten Bogor. Sebtulnya, ini bukan gagasan baru.
Lebih dari seabad lalu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah lebih dulu mewacanakan bahkan mengkaji rute serupa yang menghubungkan Buitenzorg (nama lama Bogor) dengan jalur Tanah Abang–Rangkasbitung, lewat wilayah Jasinga dengan dua alternatif: via Maja atau via Sajira.
Jejak wacana itu terekam dalam buku Maja dari Masa ke Masa (2025) dan peta peninggalan kolonial berjudul Overzichtskaart der Spoor en Tramwegen en Lands Automobieldiensten op Java en Madoera. Dalam peta itu, jalur yang belum terealisasi digambarkan dengan garis putus-putus, termasuk rute Serang–Tangerang, Rangkasbitung–Bojongmanik, dan Rangkasbitung–Sajira–Bogor.
1. Rencana dan kajiannya sudah dilakukan pada tahun 1915

Dokumen sejarah menunjukkan bahwa pada 11 Februari 1915, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan rencana pemerintah kolonial membangun jalur Buitenzorg–Penjawoengan–Djasinga yang akan tersambung ke Halte Madja (Maja), Banten. Wacana itu juga muncul dalam Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië edisi 17 Februari 1915.
Disebutkan, proyek itu bukan rencana baru karena sebelumnya seorang pengusaha pernah mengajukan konsesi pembangunan jalur kereta serupa lewat Cipanas–Sajira–Jasinga–Rangkasbitung, namun gagal terealisasi setelah sang pemohon meninggal dunia.
Jalur ini dinilai strategis secara ekonomi karena akan melayani kawasan perkebunan besar di wilayah barat Bogor, seperti Nanggung, Mandalasari, Numala-Bolang, Jambu, Ciampea, dan Dramaga, yang saat itu menghasilkan komoditas ekspor seperti teh, karet, dan beras.
2. Infrastruktur jalan rusak, transportasi darat tak efisien

Menurut laporan media masa itu, kondisi jalan di sekitar Jasinga hingga Buitenzorg pada masa kolonial sangat memprihatinkan. Pengangkutan hasil bumi masih mengandalkan gerobak dan kuda penarik, yang sering kelelahan menempuh rute berat di kawasan berbukit.
“Beban angkutan di koridor ini tiga kali lipat dibandingkan jalur Buitenzorg–Batavia,” tulis laporan Bataviaasch Nieuwsblad. Kondisi ini menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah kolonial menilai pembangunan jalur kereta baru sangat mendesak.
3. Maja diproyeksikan jadi titik transit strategis

Jika proyek itu terwujud, Stasiun Maja akan menjadi simpul penting yang menghubungkan jalur kereta dari Bogor ke jaringan Staatsspoorwegen (SS) yang sudah ada di Banten. Jalur ini diharapkan bisa memangkas waktu pengiriman hasil bumi sekaligus memperkuat distribusi logistik dari pedalaman ke pelabuhan.
Pemerintah kolonial kala itu menyebut rencana ini bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga sosial. Dengan beroperasinya jalur ini, masyarakat akan mendapat sarana transportasi yang lebih efisien dan aman dibandingkan jalan raya yang rusak.
“Semakin cepat proyek vital ini dimulai, semakin besar dampaknya bagi perkembangan wilayah,” tulis koresponden Bataviaasch Nieuwsblad pada 1915.
Meski akhirnya tak pernah terwujud, jejak wacana jalur Bogor–Jasinga–Maja–Rangkasbitung ini menjadi bukti bahwa integrasi wilayah pedalaman Banten dan Bogor ke jaringan kereta api nasional telah lama menjadi cita-cita transportasi sejak masa kolonial.


















