Warga Keluhkan Ribetnya Pencairan Uang Kompensasi TPA Cipeucang

- Harus buka rekening BJB tanpa persetujuan
- Uang kompensasi Rp200 ribu hanya bisa cair Rp150 ribu
- Jumlah yang bisa dicairkan hanya sekitar Rp150 ribu setelah dipotong biaya administrasi dan saldo mengendap
- Mekanisme kompensasi dinilai tak berpihak pada warga
Tangerang Selatan, IDN Times - Penderitaan warga terdampak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang bukan cuma lingkungan tempat mereka tinggal yang rusak, tetapi juga menghadapi soal proses pencairan uang kompensasi yang dinilai rumit dan tidak transparan.
Ria, warga Komplek Kavling Serpong menceritakan pengalamannya saat menerima uang kompensasi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Ia menilai mekanisme yang dijalankan Pemerintah Kota Tangsel melalui perbankan justru menyulitkan warga.
“Pernah, sebenarnya sudah dua kali setahu saya jatahnya diberikan ke RT saya, namun saya baru mengambilnya di kali kedua, kalau tidak salah di pertengahan tahun 2024 lalu,” kata Ria, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, proses awal pencairan terlihat sederhana. Warga diminta menyerahkan identitas seperti Kartu Keluarga (KK) dan nomor rekening. Ria yang membantu ibunya mengurus pencairan itu menggunakan rekening pribadinya di salah satu bank swasta. Namun, tiba-tiba pihak dinas meminta rekening bank lain.
“Proses berjalan biasa saja hingga jelang hari pembagian, katanya rekening saya tidak bisa digunakan untuk menerima kompensasi. Ibu saya harus membuka rekening Bank Jabar Banten (BJB),” ujarnya.
Ria menduga ada kerja sama antara dinas dan pihak bank tertentu dalam proses pencairan kompensasi. “Ini sepertinya rekanan ya dengan dinas,” ujarnya.
1. Warga harus buka rekening BJB, tanpa persetujuan

Yang membuatnya kecewa, pembukaan rekening baru dilakukan tanpa persetujuan atau pemberitahuan resmi. Ia mengaku hanya tahu bahwa uang kompensasi akan ditransfer melalui rekening baru atas nama ibunya.
“Saya sebenarnya tidak setuju, tidak ada surat konfirmasi apakah kami setuju membuka rekening baru, karena saya punya rekening, bahkan ada juga kok bank lain,” kata Ria.
Ia menduga sistem pencairan diatur sedemikian rupa agar dana hanya bisa diterima oleh kepala keluarga. Proses pencairan pun akhirnya dilakukan di kantor DLH Tangsel, kawasan Batan.
“Kompensasi tiba, kami diminta ke Dinas LH, di Batan. Saya sempat protes karena artinya bank membuka rekening ibu saya tanpa consent, padahal kami punya rekening lain, dan orang-orang dari kelurahan lain bisa kok tidak harus lewat BNI,” ujarnya.
2. Nominal uang kompensasi Rp200 ribu, hanya bisa cair Rp150 ribu

Selain soal perbankan, Ria menyoroti nominal kompensasi yang diterima. Dari total Rp200 ribu yang dijanjikan, jumlah yang bisa dicairkan hanya sekitar Rp150 ribu setelah dipotong biaya administrasi dan saldo mengendap. “Pertama, uang itu harus dipotong admin dan saldo mengendap, maka yang bisa diambil hanya Rp150 ribu,” jelasnya.
Menurutnya, sistem pencairan melalui rekening justru menambah beban, terutama bagi warga lanjut usia yang tidak terbiasa berurusan dengan bank atau mesin ATM.
“Bagaimana dengan lansia yang tidak akrab dengan bank, ATM, serta lainnya? Jadi enggak efisien aja,” ujarnya.
3. Mekanisme kompensasi dinilai tak berpihak pada warga

Ria menilai mekanisme pemberian kompensasi seharusnya disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. “Buat warga kecil, uang segitu berarti banget, tapi kalau harus ribet buka rekening, potong saldo, ya yang diterima jauh lebih sedikit,” katanya.
Ia berharap Pemkot Tangsel bisa mengevaluasi sistem ini agar bantuan benar-benar tepat sasaran dan tidak mempersulit warga terdampak.
“Kalau memang niatnya membantu, harusnya sederhana saja. Jangan malah warga yang sudah susah karena sampah, masih dibuat repot dengan administrasi yang enggak masuk akal,” ungkapnya.

















