Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Komnas PA Banten Soroti Hakim yang Bebaskan Pemerkosa Anak

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Serang, IDN Times - Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten menilai perdamaian antara korban dan pelaku kejahatan seksual tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembenaran hukum untuk meloloskan predator anak.

Diketahui sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang membebaskan M Saefi (46), terdakwa kasus pemerkosaan anak kandung sendiri yang masih di bawah umur, dengan alasan korban mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) karena ada perdamaian.

Ketua Komnas PA, Banten Hendry Gunawan mengatakan, dalam kasus ini, relasi kuasa antara ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban sangat nyata. Terlebih dengan situasi di mana ibu kandung korban telah meninggal dunia.

1. Seharusnya hakim mencurigai perdamaian itu sebagai hasil tekanan

Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurutnya, perdamaian tersebut patut dicurigai sebagai hasil tekanan, bukan keputusan sukarela dari korban. Lebih jauh, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas menyatakan, bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.

"Perdamaian semacam ini tidak seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum," kata Hendry, Sabtu (18/1/2025).

2. Perdamaian dan pencabutan BAP seharusnya tidak bisa jadi pertimbangan hakim

Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, pencabutan BAP oleh korban juga tidak semestinya dijadikan alasan hakim untuk meloloskan pelaku kejahatan seksual anak. Kekerasan seksual terhadap anak adalah delik biasa, yang artinya aparat penegak hukum tetap berkewajiban memproses kasus meskipun korban mencabut laporannya.

Kata Hendry, pencabutan ini harus dilihat lebih jauh, apakah dilakukan secara sukarela atau akibat adanya intimidasi, bujuk rayu, atau tekanan dari pelaku atau pihak lain.

"Hubungan keluarga antara korban dan pelaku menjadi elemen yang sangat rentan untuk dimanfaatkan sebagai sarana mempengaruhi korban," katanya.

Hendry menilai hasil kesimpulan visum et repertum yang menyatakan bahwa luka yang ditemukan bukan akibat perbuatan terdakwa melainkan oleh pihak lain, perlu untuk didalami. Kesimpulan ini, lanjutnya, memerlukan penjelasan ilmiah yang lebih mendalam, apakah pemeriksaan telah dilakukan dengan standar yang kredibel dan tidak hanya berdasarkan pengakuan, yang bisa saja dihasilkan dari intimidasi.

"Selain itu, visum et psikiatrikum tentu bisa menjadi bagian dari pembuktian lainnya dalam melengkapi, untuk menggambarkan kondisi psikologis korban dan memastikan tidak ada celah yang melemahkan perlindungan bagi korban," katanya.

3. Seharusnya hakim tambah hukuman, bukan malah membebaskan

Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Hendry melanjutkan, kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Oleh sebab itu, hukuman yang diberikan kepada pelaku seharusnya mencerminkan beratnya dampak kejahatan tersebut. Apalagi jika kejahatan dilakukan oleh ayah kandung, hukuman maksimal yang diatur dalam undang-undang adalah 15 tahun penjara, harus ditambah sepertiga.

"Namun, dengan dibebaskannya terdakwa, secara otomatis usaha yang telah dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam melengkapi bukti hingga status P21 (berkas dinyatakan lengkap untuk disidangkan) menjadi terabaikan. Fakta ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan penting dalam memutuskan perkara sebesar ini," katanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us