Koperasi Merah Putih, Untung atau Buntung?

- Koperasi Merah Putih adalah lembaga ekonomi beranggotakan masyarakat desa yang dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan, melalui prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan partisipasi bersama.
- Pendanaan Koperasi Merah Putih bersumber dari berbagai skema, antara lain Dana Desa yang dialokasikan untuk penyertaan modal koperasi dan kredit usaha dan pinjaman super mikro yang difasilitasi oleh bank-bank BUMN anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
- Sejumlah persoalan pelik bermunculan setelah peresmian dan peluncuran Koperasi Merah Putih. Salah satunya, muncul di Kabupaten Tuban, Jawa Timur (Jatim). K
Bertempat di Jalan Raya Cileunyi Nomor 477, Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, kantor Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) Cileunyi Wetan menempati gedung dua tingkat nan megah. Dindingnya bercat putih.
Di atas pintu masuknya terpasang spanduk bertuliskan "Koperasi Desa Merah Putih" dengan foto Presiden Prabowo Subianto.
Akses menuju gedung ini pun tidak ribet, karena berada dekat jalan utama wilayah Cileunyi. Selain itu, lokasinya hanya lima langkah kaki orang dewasa dari Kantor Desa Cileunyi Wetan.
Masuk ke dalam gedung itu akan langsung disambut oleh apotek yang belum semuanya dilengkapi dengan obat-obatan. Nuansa cat didalamnya hanya ada dua warna merah dan putih. Di samping kirinya terdapat sebuah ruangan berisi tiga meja lengkap beserta kursinya.
Beberapa petani datang dengan membawa mobil pickup untuk membeli pupuk. Tidak hanya itu, warga lainnya juga datang untuk membeli sembako dan juga beras stabilisasi pasokan dan harga pangan ( SPHP) dari Bulog.
KDMP Cileunyi Wetan tersebut merupakan salah satu mockup (percontohan) Koperasi Merah Putih di Jawa Barat.
Ketua KDMP Cileunyi Wetan, Dedi Nurendi mengungkap modal kperasi pimpinannya itu mencapai Rp2 miliar lebih. Kini, dari iuran anggota dan kerja sama dengan beberapa koperasi lainnya di luar kecamatan, omzet yang didapatkan sudah menyentuh ratusan juta setiap bulannya.
"(Kerja sama) dengan Koperasi Perkebunan Teh Cibuni, Itu penjualannya itu pesan ke kami itu sebulan Rp150 juta sampai Rp185 juta Itu sudah berjalan. Terus koperasi Gunung Tilu sama Perkebunan. Terus koperasi RSUD Majalaya. omzet kami itu sebulan itu di kisaran Rp400 jutaan," ujar Dedi.
Itu salah satu contoh koperasi yang dinilai sukses. Namun, tak semua Koperasi Merah Putih bisa beroperasi, bahkan sampai mendapatkan omzet. Di beberapa daerah, bahkan ada koperasi yang tak bisa beroperasi sama sekali karena sejumlah persoalan.
Sejak diluncurkan secara nasional pada 21 Juli lalu oleh Presiden Prabowo Subianto, Koperasi Merah Putih di tingkat desa (KDMP) dan kelurahan (KLMP), masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, koperasi ini diharapkan menggenjot pertumbuhan ekonomi di tingkat desa atau kelurahan sehingga mampu mengentaskan kemiskinan. Di sisi lain, berbagai persoalan pelik bermunculan.
Lantas, bagaimana masa depan Koperasi Merah Putih? Bagaimana permodalan dan apakah model bisnisnya bisa berkelanjutan?
IDN Times merangkum potret dan geliat Koperasi Merah Putih tersebut dalam tulisan kolaborasi sejumlah hyperlocal.
1. Apa itu Koperasi Merah Putih dan bagaimana permodalannya?

Koperasi Merah Putih adalah lembaga ekonomi beranggotakan masyarakat desa yang dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan, melalui prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan partisipasi bersama.
Selain pengentasan kemiskinan, Prabowo juga menyoroti pentingnya peranan koperasi tersebut untuk memotong rantai distribusi. Harapannya, rakyat kecil dapat mengakses kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
"Sebanyak 80.000 koperasi ini adalah suatu upaya untuk memperpendek rantai distribusi, rantai aliran bahan-bahan penting bagi rakyat,” ujar Prabowo pada peluncuran Koperasi Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah pada Juli lalu.
Melalui koperasi tersebut, pemerintah dapat membangun gudang, apotek, dan gerai di tingkat desa, dengan misi utama menghadirkan obat-obatan generik, pupuk, dan sembako murah langsung ke tangan masyarakat.
"Obat-obat yang penting bagi rakyat kecil, rakyat yang ekonominya masih lemah. Mereka harus punya akses kepada obat-obat penting dalam harga terjangkau," katanya.
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa koperasi merupakan senjata utama dalam membangun kemerdekaan ekonomi. Presiden menyinggung realitas ketimpangan ekonomi yang masih dirasakan masyarakat desa, seperti ketergantungan pada tengkulak, praktik ijon, hingga ketidakadilan dalam rantai distribusi hasil pertanian.
Selain itu, kehadiran koperasi ini bisa diharapkan memberantas para rentenir yang memainkan harga produk petani dan pinjaman online atau pinjol.
Pemerintah menargetkan seluruh koperasi desa yang telah dibentuk dapat beroperasi penuh pada akhir 2025, dengan evaluasi berkala untuk memastikan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pendanaan Koperasi Merah Putih bersumber dari berbagai skema, antara lain Dana Desa yang dialokasikan untuk penyertaan modal koperasi dan kredit usaha dan pinjaman super mikro yang difasilitasi oleh bank-bank BUMN anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Terkait modal, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) mengungkap, Koperasi Merah Putih bisa mendapatkan modal dari Himbara sebesar Rp3 miliar. "Jadi tidak APBN, ini pinjaman," ucap Zulhas pada 7 Juli lalu.
Zulhas menekankan, untuk mendapatkan modal tersebut, koperasi harus memiliki bentuk usaha yang jelas. "Tapi setelah usahanya jelas, enggak asal ambil uang saja, tidak," ujar Zulhas.
Sementara itu, Wakil Menteri Koperasi sekaligus Ketua Pelaksana Harian Satgas Kopdes Merah Putih, Ferry Juliantoro menjelaskan, tingkat suku bunga margin atau bagi hasil kepada penerima pinjaman sebesar paling lama 72 bulan.
"Sedang dipersiapkan model bisnisnya," kata Ferry Juliantoro, saat dihubungi IDN Times, Minggu (10/8/2025).
Akhir pekan ini, imbuhnya, pemerintah bakal mengumpulkan seluruh gubernur di Bali untuk membahas bisnis model KDMP yang akan menjadi pertimbangan dalam pemberian pinjaman.
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto juga menegaskan bahwa Koperasi Merah Putih tidak akan menerima pencairan dana pinjaman dalam bentuk uang tunai. Dana pinjaman tersebut akan langsung disalurkan dari bank BUMN ke pemasok-- sesuai kebutuhan usaha yang diajukan oleh koperasi.
Misalnya, apabila koperasi mengajukan usaha distribusi pupuk senilai Rp100 juta, dana tersebut akan langsung dikirimkan ke PT Pupuk Indonesia--setelah melalui perhitungan kebutuhan pengguna pupuk di desa.
"Nah, uang itu tidak masuk ke koperasi desa dari bank Himbara, tapi langsung ke Pupuk Indonesia. Pupuk Indonesia nanti kirim ke kopdes," katanya pada 27 Juli lalu.

2. Masih seumur jagung, Koperasi Merah Putih diterpa berbagai masalah

Sejumlah persoalan pelik bermunculan setelah peresmian dan peluncuran Koperasi Merah Putih. Salah satunya, muncul di Kabupaten Tuban, Jawa Timur (Jatim). Koperasi Merah Putih di Desa Pucangan berusia sehari saja.
Setelah diresmikan--yang dihadiri Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa dan Forum Koordinator Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jatim dan Tuban-- koperasi itu ditinggal begitu saja oleh investor.
Persoalan ini bermula ketika Kepala Desa dan Ketua Koperasi Merah Putih Desa Pucangan sesi dialog dengan Presiden Prabowo, mereka tak menyebut peran dari investor, yakni PT Perkonomian Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Alhasil, manajemen perusahaan ini kecewa. Putus kontrak sepihak dilakukan. Begitu mudahnya investor memutuskan kontrak. Padahal, koperasi yang satu ini sempat diunggulkan memiliki omzet hingga 500 juta per bulan.
Kepala Desa Pucangan, Santiko mengakui kekeliruannya saat melakukan dialog dengan Presiden Prabowo pada Senin (21/7/2025).
"Kami meminta maaf dan mengakui kekeliruan saat dialog dengan Bapak Presiden (Prabowo) dan sejak awal kami di-support pihak manajemen PT Perekonomian Pondok Pesantren Sunan Drajat dan bukan pihak lain yang sebelumnya kami sebutkan," kata Santiko, Rabu (23/7/2025).
Kini, Santiko tetap meminta pengurus membuka koperasi dengan barang seadanya. Berdasarkan informasi yang dihimpun, koperasi di Desa Pucangan ini hanya menjual beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dari Bulog.
Persoalan modal juga dirasakan Ketua KDMP Bangunharjo, Yeri Widarnanto. “Kendala utama kami modal dan pekerja. Selama ini gerai yang buka masih diampu pegawai Kalurahan Bangunharjo yang punya pekerjaan lain,” jelas Yeri.
Koperasi pimpinannya juga fokus sebagai penyalur pupuk bersubsidi. “Modal pupuk sementara ini kami talangi dari pengurus sendiri,” tambahnya.
Ia menambahkan, pencairan modal dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) direncanakan minggu depan setelah surat persetujuan ditandatangani. “Modal awal sekitar Rp300 juta akan kami pinjam dari LPDB dengan jaminan sertifikat tanah,” ungkapnya.
Persoalan lain datang dari Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Suparjilah (57), warga Padukuhan Panggungharjo, Kapanewon Sewon. Dia merasa "dipaksa" angkat kaki dari ruko milik Koperasi Unit Desa (KUD) Bangunharjo--tempat dia selama ini berjualan sembako.
"Saya diminta segera pindah karena bangunan akan direnovasi untuk gerai dan kantor KDMP Bangunharjo. Saya diminta pindah begitu saja, tanpa ada solusi tempat usaha lain yang bisa disewa," kata dia pada Kamis, 7 Agustus lalu.
Kini, dia berjualan sayuran dan jajanan pasar di warung semi permanen di teras ruko yang terletak di Jalan Parangtritis KM 5 itu.
"Saya dulu sewa ruko nomor dua dari selatan untuk jualan sembako, dengan biaya sewa ke KUD Bangunharjo Rp4 juta per tahun," ungkapnya. Saat berjualan di ruko, usaha Suparjilah berkembang pesat dalam 4 tahun. Dari hanya jualan sayuran, dia kemudian bisa berjualan sembako dan bensin eceran.
"Bahkan saya bisa buka 24 jam dengan keuntungan bersih jutaan rupiah setiap bulan," ujarnya sambil tersenyum pahit.
Tak hanya Suparjilah, empat warga lainnya yang menyewa ruko milik KUD Bangunharjo juga harus angkat kaki. Mereka sebelumnya membuka usaha salon, fotokopi, reparasi barang elektronik, hingga warung pecel lele.
Suparjilah mengaku tidak mengetahui pasti nasib keempat penyewa lainnya. Sejumlah alat usaha masih disimpan di salah satu ruko milik KUD yang belum dipakai untuk gerai KDMP.
"Itu di dalam ruko masih ada perabotan milik penjual pecel lele yang ditinggal begitu saja. Kalau barang-barang milik usaha salon dan fotokopi sudah dibawa pulang ke rumah masing-masing," jelasnya.
Dikonfirmasi, Lurah Bangunharjo, Nur Hidayat mengaku pemindahan pedagang penyewa ruko bukan hal yang mudah. Ia merasa tidak enak hati terhadap pedagang yang terdampak.
“Sebenarnya saya juga tidak tega, tapi mau bagaimana lagi, kami juga di-press oleh atasan,” ujarnya kepada wartawan, Minggu (10/8/2025).
Nur menegaskan, langkah tersebut tidak dilakukan secara sepihak. Pemerintah kalurahan memberikan alternatif lokasi pengganti agar pedagang tetap bisa berjualan. “Kami tidak hanya main gusur saja kok, tapi juga memberikan alternatif tempat penggantinya,” katanya.
3. Meski sudah mengantongi legalitas, sejumlah koperasi belum beroperasi

Nenek Sudriarto mengaku sudah dua hari berturut-turut mendatangi gerai KDMP di Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Nenek 65 tahun itu mengaku ingin membeli pupuk nonsubsidi.
"Namun rukonya tutup terus. Padahal kebutuhan pupuk itu mendesak," kata dia pada 7 Agustus lalu.
Biasanya, Sudriarto membeli pupuk bersubsidi di penyalur pupuk di Padukuhan Gandok. Sejak peluncuran Koperasi Merah Putih, dia kemudian diarahkan untuk membeli pupuk lewat KDMP Bangunharjo.
Dia bingung dengan sistem baru pembelian pupuk. Sebagai petani, dia hanya ingin membeli pupuk dengan mudah. "Kok (sekarang) semakin ribet ya, mau beli pupuk bersubsidi saja susah. Kalau beli pupuk nonsubsidi saya ndak kuat, harganya mahal banget," kata dia.
Ketua KDMP Bangunharjo, Yeri Widarnanto mengungkapkan alasan mengapa koperasi pimpinannya kerap tutup, yakni terkendala pasokan.
Awalnya, kata dia, beras, gula, dan minyak berasal dari Bulog Yogyakarta. Namun, tak lama setelah peresmian KDMP, Bulog menarik kembali pasokan dengan alasan kebutuhan internal.
“Sekarang stok sembako hanya dari ID Food, tapi tidak selengkap saat masih ada pasokan dari Bulog,” ujarnya pada Minggu (10/8/2025).
Meski begitu, Yeri memastikan gerai pupuk tetap beroperasi. Koperasi Merah Putih Bangunharjo melayani 217 petani penerima pupuk subsidi. Gerai elpiji pun masih buka setiap minggu dengan sistem inden karena harga yang lebih murah.
Sementara gerai apotek, klinik, dan simpan pinjam belum dibuka karena terkendala izin, permodalan, dan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat.
Di beberapa wilayah lainnya, Koperasi Merah Putih juga belum bisa beroperasi. MIsalnya, di Magetan, Jawa Tengah. Dari 235 koperasi yang sudah tercatat, hanya satu yang benar-benar aktif. Bukan karena suntikan dana pemerintah, tapi justru karena modal patungan alias swadaya anggota.
Pj Sekda Magetan, Muchtar Wahid, mengungkap bahwa kebanyakan koperasi belum bisa bergerak karena terbentur urusan legalitas dan belum adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) serta petunjuk teknis (juknis) dari pusat.
"Dari 235 koperasi, yang sudah ngurus izin baru sekitar 60-an. Tapi yang benar-benar berani jalan baru satu. Sisanya masih nunggu kejelasan," ungkap Muchtar, Selasa (5/8/2025).
Masalahnya, lanjut Muchtar, karena penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai modal koperasi belum punya dasar hukum jelas. "Mereka takut pakai dana desa. Kalau belum ada juknis, nanti malah jadi temuan," tambahnya.
Dengan mandeknya program, Desa Mategal di Kecamatan Parang justru jadi satu-satunya yang melaju. Satu koperasi di sana sudah aktif dan mandiri, bermodal swadaya anggota dan masyarakat yang peduli. "Sekarang masih pakai dana dari anggota. Tapi dukungan masyarakat cukup bagus," ungkap Muchtar.
Pemandangan serupa juga tampak di Kota Tangerang, Banten. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kota Tangerang, Suli Rosadi mengungkapkan, hingga saat ini belum ada pengurus Koperasi Merah Putih yang mengajukan permodalan ke bank-bank Himbara.
"(Koperasi Merah Putih) Sudah diberikan surat keputusan, sudah di-launching ya, tapi sejauh ini belum ada yang melapor kalau akan mengambil permodalan dari bank Himbara," kata Suli, Kamis (7/8/2025).
Suli mengungkapkan, permodalan yang disediakan oleh pemerintah melalui Bank Himbara untuk Koperasi Merah Putih mencapai Rp8 miliar. "Memang bentuknya kan permodalan, bukan hibah, jadi ini untuk dikembalikan gitu kan. Makanya harus ada bentuk usahanya," ungkap Suli.
Namun, Suli menuturkan, tidak adanya pengajuan pengurus Koperasi Merah Putih ke Bank Himbara mungkin saja karena sudah mendapat permodalan lain dari perusahaan permodalan swasta. Namun, ia tetap mendorong pengurus Koperasi Merah Putih untuk memanfaatkan permodalan yang disediakan pemerintah. "Tapi sampai sejauh ini belum ada yang melapor permodalan mereka dari mana," jelasnya.
Suli mengungkapkan, belum bergeraknya Koperasi Merah Putih di Kota Tangerang kemungkinan karena kurangnya keahlian sumber daya manusia (SDM), khususnya dalam pengelolaan koperasi. Mereka, kata Suli, saat ini masih mencari cara mengelola koperasi agar bisa benar-benar berjalan efektif.
"Apalagi juga dari para lurah belum mengambil langkah untuk bisa melakukan kegiatan kerja sama dengan pihak yang nantinya akan didorong karena sekali lagi belum memahami ilmu koperasi," tuturnya.
Suli pun meminta pengurus Koperasi Merah Putih di 104 kelurahan agar segera bergerak sehingga manfaatnya juga bisa dirasakan masyarakat. Pasalnya, pembentukan Koperasi Merah Putih salah satunya untuk menjadi solusi memutus mata rantai produksi yang selama ini dimainkan tengkulak.
"Dengan begitu mudah-mudahan operasi merah putih bisa menjadi pengganti dan bisa lebih memberikan manfaat dengan harga-harga yang terjangkau," pungkasnya.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), ribuan Koperasi Merah Putih juga belum beroperasi. Di provinsi tersebut, 1.166 unit Koperasi Merah Putih dibentuk dan tersebar di 10 kabupaten/kota.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM NTB, Ahmad Masyhuri mengungkap bahwa dari 1.166 Koperasi Merah Putih yang sudah mengantongi legalitas, baru 3 yang sudah berjalan dan menjadi percontohan di NTB. Ketiganya adalah Koperasi Merah Putih Desa Kekeri, Lombok Barat; Koperasi Merah Putih Desa Bilelando, Lombok Tengah; dan Koperasi Merah Putih Desa Kembang Kuning, Lombok Timur.
"Belum sampai 5 persen yang mulai operasi, kami lagi data yang sudah beroperasi. Sebagian besar saya dengar teman-teman itu masih menunggu arahan lebih lanjut bagaimana mengoperasikan Koperasi Merah Putih," kata Ahmad Masyhuri pada Sabtu (9/8/2025).
Masyhuri menjelaskan dukungan pemerintah, baik provinsi dan kabupaten/kota, untuk Koperasi Merah Putih baru sebatas bantuan dana hibah untuk membuat akte notaris. Pemprov NTB memberikan bantuan dana sebesar Rp2 juta per koperasi.
Meskipun pembentukan akte notaris koperasi merah putih sudah selesai, namun bantuan tersebut akan dibayarkan pada APBD Perubahan 2025. Karena pada APBD murni 2025, belum dialokasikan oleh pemerintah daerah.
Di sisi lain, banyaknya koperasi merah putih yang belum beroperasi karena menunggu mekanisme terkait pengajuan pinjaman bantuan permodalan dari bank Himbara atau bank BUMN. Pemda masih menunggu petunjuk teknis terkait dengan mekanisme pemberian bantuan permodalan ke Koperasi Merah Putih.
"Karena kami berharap katanya ada sokongan dari BUMN-BUMN. Seperti apa implementasinya itu yang paling penting. Kami harapkan ada surat sehingga kami berani," katanya.
4. Sejumlah Koperasi Merah Putih jadi mochup!

Di tengah masalah yang perlu pembahasan dan pematangan program, sejumlah koperasi memang bisa beroperasi. Selain KDMP Cileunyi Wetan, di Jaw Barat ada 9 koperasi lainnya yang menjadi percontohan, yakni adalah KDMP Hambalang (Kabupaten Bogor), KDMP Kedung Waringin dan Lambangsari (Kabupaten Bekasi), KKMP Jatimakmur (Kota Bekasi), KKMP Mampang dan Sukamaju (Kota Depok).
Kemudian, KDMP Mekarwangi (Kabupaten Cianjur), KDMP Mekarjaya (Kabupaten Sumedang), dan KDMP Cangkuang Wetan.
Ketua KDMP Cileunyi Wetan, Dedi Nurendi mengatakan, koperasi ini bukan baru dibentuk, melainkan penggabungan dari sebelumnya Koperasi Citra Jaya Abadi. "Koperasi Citra Jaya Abadi itu sudah berjalan sejak dua tahun," kata Dedi saat ditemui di kantornya, Jumat (8/8/2025).
Koperasi ini mulanya hanya berisi 30 anggota saja, dan setelah digabungkan kini mencapai 285 anggota yang mana semuanya berasal dari Desa Cileunyi Wetan, tidak ada dari luar wilayah. Model bisnis yang digunakan ada tiga jenis lebih.
"Pertama yang sudah berjualan itu kan lebih di bidang retail ya, bidang penjualan sembako. Sembako itu meliputi beras minyak, terus kebutuhan-kebutuhan, pokok sabun, deterjen dan sebagainya," katanya.
Kemudian, ada pergudangan, gudang beras, gudang pupuk, gudang gas, apoteker, klinik dan penyimpanan es. Semua yang ada di koperasi ini, kata Dedi didapatkan dengan kerja sama beberapa BUMN. Adapun untuk simpan pinjam uang dipastikannya belum dilakukan.
"Kalau simpan pinjam belum, tetapi dari kerja sama dengan BRI bilamana masyarakat yang akan meminjam kredit difasilitasi ataupun direkomendasi oleh koperasi. Itu bunganya sama dengan KUR," tuturnya.
Sementara, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan, sampai dengan Juni 2025 telah terbentuk sebanyak 5.957 unit koperasi, tersebar di 27 kabupaten dan kota, dan tiga daerah dengan jumlah terbanyak yaitu, Kabupaten Garut 442 unit, Kabupaten Bogor 435 unit, Kabupaten Cirebon 424 unit.
Di NTB juga ada Koperasi Merah Putih yang menjadi mockup, yakni KDMP Kekeri, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Ketua Koperasi Merah Putih Desa Kekeri, Ibrahim mengatakan koperasi yang dibentuk berawal dari semangat gotong royong warga.
KMP Desa Kekeri beroperasi dengan modal awal Rp9 juta yang berasal dari iuran anggota. Koperasi itu merintis 7 unit usaha, yaitu simpan pinjam, toko sembako, apotek, klinik, pergudangan, pangkalan elpiji, dan sarana logistik.
Dia mengatakan setiap anggota koperasi mengeluarkan simpanan pokok sebesar Rp1 juta, simpanan wajib Rp10 ribu per bulan dan iuran sukarela. Jumlah warga yang menjadi anggota Koperasi Merah Putih Desa Kekeri sebanyak 68 orang.
"Cuma itu belum, dia harus menyetorkan simpanan pokok Rp1 juta baru jadi anggota. Kami kasih waktu enam bulan, jadi mereka nyicil dulu. Jadi belum murni anggota yang 68 orang itu," terangnya.
Dia mengaku, masyarakat terbantu dengan adanya Koperasi Merah Putih karena harga sembako lebih murah. Begitu juga petani, bisa langsung membeli pupuk di koperasi. Koperasi Desa Kekeri juga aktif mendukung usaha anggotanya, termasuk promosi dan penjualan mebel yang diproduksi oleh warga desa.
Sementara di Bali, salah satu unit yang menjadi mockup berada di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Diluncurkan pada 21 Juli 2025 lalu, unit usaha yang dilaksanakan KDMP Gadungan mulai berjalan lancar.
Untuk semakin mengembangkan unit usaha koperasi, koperasi itu juga meneken kesepakatan bersama dengan 5 KDMP percontohan lainnya di Bali. Tujuan dari kesepakatan bersama ini adalah untuk menciptakan ekosistem jaringan antarkoperasi.
"Adapun objek kesepakatan ini adalah perdagangan produk pangan," ujar Ketua Pengurus KDMP Gadungan, Ketut Sukalaksana, Minggu (10/8/2025).
Adapun keenam KDMP percontohan yang meneken kerja sama itu adalah KDMP Ulian (Kabupaten Bangli), KDMP Nusasari (Kabupaten Jembrana), KDMP Gadungan (Kabupaten Tabanan), KDMP Bongkasa Pertiwi (Kabupaten Badung), KDMP Kutuh (Kabupaten Badung), dan KDMP Tegal Harum (Kota Denpasar).
Ruang lingkup kesepakatan bersama ini meliputi perdagangan jeruk, pepaya, pisang, kopi, kakao, janur, kelapa dan produk turunannya, madu kele, serta beras. "Untuk Kopdes Merah Putih Gadungan nantinya akan menyalurkan kelapa, madu kele, dan beras," ujar Sukalaksana.
Satu unit usaha yang dikembangkan oleh KDMP Gadungan adalah kios penyedia sembako. Untuk mengembangkan unit usaha ini, pihak koperasi melakukan layanan jemput bola ke banjar-banjar.
"Nanti sistemnya itu adalah pre-order. Jadi kalau ada kegiatan banjar-banjar, akan kami siapkan sembako yang bisa dibeli sesuai pesananan. Dalam waktu dekat ini akan ada kegiatan arisan PKK. Pada saat kegiatan ini akan kami tawarkan," kata Sukalaksana.
KDMP Gadungan juga menyediakan elpiji 3 kilogram dengan kuota 40 tabung per hari. Dalam pembeliannya, satu orang bisa membeli hingga dua tabung.
"Kalau untuk usaha bisa lima tabung dengan harga Rp18 ribu per tabung. Untuk kuota harian ini masih kurang," jelas Sukalaksana.
Menurut Sukalaksana, atu usaha yang sudah berhasil dilakukan KDMP Gadungan adalah unit usaha simpan pinjam. "Sejak berdiri tahun 2010 dengan nama KSP Sari Gadung Mesari, kami memang terjun ke unit usaha simpan pinjam. Sekarang ini simpan pinjam asetnya sudah Rp9,4 miliar," ujarnya.
Adapun bunga pinjaman di KDMP Gadungan sebesar 1,75 persen per bulan. Warga Desa Gadungan, Meta, mengatakan koperasi ini memudahkan akses keuangan ketika dibutuhkan.
"Sebelum saya jadi anggota, susah mencari pinjaman. Sekarang untuk biaya seperti sekolah anak, bisa pinjam ke koperasi," katanya.
5. Punya potensi, tapi Koperasi Merah Putih bisa mengimbangi fintech dan e-commerce?

Pengamat ekonomi dari Lampung, Erwin Oktavianto menilai, program digadang sebagai bentuk baru pemberdayaan ekonomi kerakyatan ini disebut belum menunjukan arah konkret dan cenderung mengulang narasi lama, tanpa solusi nyata di tengah dinamika ekonomi modern.
“Koperasi Merah Putih ini seperti cerita lama yang dibungkus ulang. Jadi seperti ada nostalgia terhadap program masa lalu, tapi dengan tantangannya hari ini jauh lebih kompleks,” kata dia pada Jumat (8/8/2025).
Erwin juga mempertanyakan efektivitas koperasi ini bila difokuskan pada model simpan pinjam. Pasalnya, saat ini masyarakat lebih akrab dengan layanan seperti kredit usaha rakyat (KUR), pinjaman online, dan mobile banking lebih menawarkan proses lebih cepat dan fleksibel.
“Apakah koperasi ini bisa menandingi kecepatan fintech? Atau kedinamisan perbankan digital? Ini harus dijawab lewat desain bisnis yang matang, bukan sekadar jargon merakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengkritisi ketidakjelasan segmentasi pasar dari koperasi tersebut. Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan apakah Koperasi Merah Putih akan bersaing dengan e-commerce besar, seperti Shopee, pasar tradisional, atau hanya sebatas toko kelontong rakyat.
“Semua orang sekarang bisa belanja online dengan harga murah. Kalau koperasi hanya ingin jual sayur atau produk lokal tanpa strategi pasar, maka akan kalah bersaing sejak awal,” tambah dia.
Lebih lanjut Erwin menilai, model bisnis bersifat adaptif dan terukur harus menjadi landasan utama sebelum program ini berjalan lebih jauh. Pasalnya, tanpa strategi itu koperasi justru bisa menjadi beban anggaran negara.
“Saya lihat tujuannya mulia, yakni memasarkan produk unggulan lokal agar bernilai ekonomi. Tapi apakah semua itu sudah punya model bisnis yang layak? Jangan sampai koperasi ini hanya jadi tempat menjajakan barang tanpa arah pasar yang jelas,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan Koperasi Merah Putih harus aktif membangun kolaborasi dengan marketplace besar dan influencer lokal, untuk memperluas jangkauan pasar. "Ini penting supaya koperasi tidak terjebak sebagai entitas usaha kecil yang bersaing tidak sehat dengan entitas yang sudah ada sebelumnya," lanjut dia.
Erwin menambahkan, Koperasi Desa Merah Putih juga harus memiliki kejelasan terhadap produk-produk dijajakan ke tengah-tengah masyarakat luas, semisal, penjualan makanan atau jenis produk teknologi.
“Perlu diingat, sampai sekarang belum ada produk teknologi kita yang benar-benar mewakili standar lokal. Kalau koperasi mau ke sana, ini butuh kesiapan dan roadmap yang jelas,” ucapnya.
Bukan tanpa alasan, pembentukan entitas baru seperti Koperasi Merah Putih di tengah kondisi efisiensi anggaran saat ini, sehingga urgensinya patut dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah.
“Kalau hanya menjadi entitas baru dengan nama baru, tapi model dan strukturnya sama seperti koperasi sebelumnya, ini berpotensi tumpang tindih bahkan bersaing tidak sehat dengan Koperasi Unit Desa (KUD) yang sudah lebih dulu ada,” sambung dia.
Sementara itu, pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Amirullah Setya Hardi mengakui, kebijakan Koperasi Merah Putih merupakan langkah yang tepat dalam memperkuat perekonomian desa. Ia menyebutkan bahwa penguatan ekonomi lokal penting karena desa menyimpan potensi besar yang selama ini belum digarap secara maksimal.
Dia juga mencatat bahwa jumlah anggota koperasi di Indonesia telah mencapai 8 juta orang. Menurutnya, angka ini cukup besar untuk memperluas gerakan koperasi di tingkat akar rumput.
“Menggerakkan potensi ekonomi desa menjadi salah satu hal paling penting," kata dia.
Amirullah menjelaskan bahwa tantangan utama koperasi bukan sekadar kuantitas, melainkan kemampuannya dalam menerapkan prinsip koperasi secara universal. Ia menyebut bahwa koperasi berbeda dari badan usaha lain karena mengutamakan kesejahteraan anggotanya. Untuk itu, prinsip kemandirian, keberlanjutan usaha, dan partisipasi aktif anggota perlu diterapkan agar koperasi tidak sekadar formalitas.
Amirullah juga menyoroti pentingnya terobosan layanan agar koperasi bisa bersaing dengan sumber pembiayaan informal, seperti pinjaman online atau rentenir. Menurutnya, koperasi perlu hadir sebagai opsi yang aman, mudah diakses, serta memberdayakan masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa layanan koperasi sebaiknya mencakup penyediaan bahan pokok, pupuk, serta kebutuhan dasar lainnya bagi warga desa.
“Koperasi harus mampu hadir sebagai alternatif yang aman, cepat, dan benar-benar memberdayakan masyarakat desa. Layanan keuangan, penyediaan bahan pokok, pupuk, dan kebutuhan dasar lainnya harus terjamin,” ujarnya.
Amirullah berharap keberadaan Koperasi Merah Putih bukan sekadar proyek jangka pendek.
Sementara pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menilai, program ini terlalu ambisius dan potensi beberapa koperasi tidak maju atau gagal sangat besar.
Koperasi sebagai sebuah organisasi ekonomi memang bertujuan untuk bisa memperbaiki kualitas perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat. Namun, faktanya ada koperasi yang maju dan lebih banyak koperasi yang sebaliknya.
"Ini kan masalahnya sekarang Koperasi Merah Putih ini seolah-olah bahwa ada target tertentu jumlah yang dituju bahwa setiap desa harus kemudian setiap kelurahan harus ada. Padahal kan kalau kita lihat kemampuan antar daerah, kemampuan antar desa, antar kelurahan itu kan berbeda-beda," kata Acu, Jumat (8/8/2025).
Program ini, menurut dia, sudah bagus, namun dengan metode yang massal dan sporadis itu membuat kemudian adanya potensi koperasi ini tidak semuanya berjalan dengan maju.
"Apalagi lebih dari 80 persen itu adalah koperasi baru ya kan sekarang ini koperasi yang ada aja banyak kemudian gulung tikar. Sementara ini koperasi yang baru. Terlepas ada pendanaan, kemudian ada dukungan kebijakan dan sebagainya," tuturnya.
Pemerintah seharusnya belajar dari KUD yang faktanya tidak terlalu bagus dan dampak kesejahteraan terhadap masyarakat masih minim.
"Saya sih melihat tantangan terbesar koperasi ini harus sukses ya akselerasi terkait dengan model bisnisnya. Kemudian juga sumber daya manusia dan tata kelola itu yang paling penting," ucapnya.
Jika dibandingkan dengan beberapa koperasi di negara lain, Acu menjelaskan, mereka besar tidak harus dihadirkan di setiap desa dan kelurahan, melainkan gagasan dan konsep misi yang besar dapat membawa kesejahteraan anggotanya. Seperti Danone di Eropa.
Oleh karena itu, menurut Acu, bukan dia menampikkan ada potensi daripada keberhasilan program ini, namun ia melihat ketika sesuatu itu targetnya hanya kuantitas bukan kualitas potensi beberapa koperasi yang gagal sangat besar.
"Apalagi model bisnis ini baru dicoba ya, terlalu besar resikonya dengan pembiayaan sampai ratusan triliun," jelasnya.
6. Tantangan Koperasi Merah Putih, pengawasan hingga SDM

Sementara itu, Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (SV UGM), Yudistira Hendra Permana pun menyoroti sistem pengawasan untuk menghindari berbagai persoalan mungkin akan terjadi.
“Pengawasan betul-betul yang kompeten di setiap desa, mengawasi usaha itu kayak BUMN ada Kementerian BUMN. Di desa itu ada BPD (Badan Permusyawartan Desa). Nah apakah akan ke sana? Saya belum tahu, atau semacam inspektoratnya desa untuk mengawasi itu,” ujar Yudistira, Jumat (8/8/2025).
Menurut Yudis jumlah koperasi sebanyak 80 ribu itu akan sangat kompleks. Dari segi kuantitas jumlah koperasi yang muncul menjadi tantangan tersendiri. “Kalau pendanaan uang berputar dibilang besar ya besar, karena jumlah banyak kompleksitas,” ucapnya.
Tantangan selanjutnya adalah SDM, apakah pengelola cukup kompeten? “Mohon maaf, apa orang-orang (pengurus Koperasi Merah Putih) punya kecakapan mengelola entitas bisnis dengan piutang bisa sampai Rp3 miliar,” ungkap Yudis.
Tantangan lainnya yang diungkapkan adalah sumber permodalan koperasi dari investor. “Jangan sampai menjadi upaya untuk mengalihkan aset dari warga desa pada investor. Kalau orangnya (pengelola) kurang cakap, mudah ditipu. Investor ini harus diawasi,” kata dia.
Yudis juga menyoroti jika Koperasi Merah Putih menggunakan modal dari Dana Desa. Meski koperasi ini bisa mengoptimalkan potensi desa, tapi dia khawatir Dana Desa yang dipakai bisa-bisa tersandera. “Miliknya masyarakat desa, terus ini ada entitas swasta kemudian bisa menggunakan dana desa, bisa jadi ada fraud,” jelas Yudis.
Saat ditanya apakah model bisnis Koperasi Merah Putih bisa berkelanjutan, Yudis mengajak melihat pengalaman akhir tahun 2024, ketika muncul Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
"Kemungkinan KDMP/ KKMP tidak berjalan baik mungkin saja terjadi seperti pengalaman pada UMKM sebelumnya. Artinya sektor-sektor ini (KDMP/KKMP) kan sama usahanya. Kita sudah ada pengalaman seperti itu, saya gak mengatakan itu pasti terjadi. Itu pengalaman baru terjadi, kurang dari setahun. Nah risiko itu ada dan baru saja kita alami. Sehingga bank terlihat menjadi sehat,” ucap Yudis.
Dalam konteks pengawasan, pengamat ekonomi Erwin juga menyampaikan fungsi itu memang wajib diberlakukan dalam pelaksanaan program tersebut. Namun ini harus diiringi dengan integritas dan akuntabilitas berbasis target kerja.
“Terpenting bukan hanya diawasi, tapi juga punya target bulanan, tahunan, hingga indikator kinerja. Kalau penjualan tidak mencapai target, ya harus dievaluasi, bukan dibiarkan jalan terus,” tegasnya.
Pengawasan di lapangan, dinilai Acu, belum tampak jelas di lapangan. Hal itu menjadi sorotan mengingat jumlah Koperasi Merah Putih yang besar dan pendanaan modal yang besar juga.
"Seharusnya uji coba dulu, mungkin jumlahnya tidak sebanyak sekarang, karena saya kira terlalu riskan dengan dana yang akan dikeluarkan kan lebih ratusan triliun," tuturnya.