Cerita Bocah Ciseeng: 'Asing' Merayakan Idul Fitri di Kampung Sendiri

Bagi bocah kampung di sebuah Kecamatan bernama Ciseeng di Kabupaten Bogor, seperti saya, momen Idul Fitri selalu menjadi momen paling dinanti saat masih kecil. Ada banyak hal yang membuat lebaran begitu istimewa di desa—mulai dari malam takbiran yang gegap gempita, baju baru yang beraroma khas, makanan melimpah, hingga THR yang mengalir deras dari para saudara yang lebih tua.
Namun, kini semua itu perlahan berubah. Desa tempat saya tumbuh kini mulai disesaki bangunan-bangunan baru, sawah dan irigasi yang dulu dipenuhi air kini tinggal kenangan, dan yang paling menyedihkan, entah kenapa saya merasa asing di era teknologi yang membuat orang-orang tak lagi berinteraksi dengan hangat, kini seakan justru berjarak.
Berkumpul dengan teman kecil kini sambil melihat Tiktok atau reels Instagram juga media sosial lain yang terus menawarkan hiburan, juga dengan cerita yang lagi ceria, musabab taraf hidup yang tak kunjung naik.
Ada baiknya kita kembali seperti dulu. merayakan hadirnya matahari, hempasan angin, dan debu beterbangan. Karena di bawah langit adalah hiburan nyata yang patut dinikmati. Tak ada godaan eksistensi dan kemasyuran di sana. Karena yang terbaik adalah saling tatap dan bertukar udara. Ada hal yang tak ditemukan dari sebuah layar hape. Deru nafas. Aroma tubuh. Kerling mata yang menghujam ulu hati. Sentuhan jemari pada kulit.
Malam takbiran yang dulu dan sekarang

Dulu, malam takbiran di desa adalah puncak dari segala kemeriahan. Saya dan teman-teman sebaya berkeliling kampung sambil membawa obor dan melantunkan takbir dengan suara lantang.
Bukan karena kami anak-anak yang sangat saleh, tetapi karena ini kesempatan langka di mana kami boleh keluyuran sampai tengah malam, tanpa dimarahi orangtua. Belum lagi, ada kompetisi beduk antar musala yang suaranya bisa bikin ayam-ayam kampung kaget dan terbangun tengah malam.
Sekarang, suasana takbiran terasa berbeda. Tidak ada lagi anak-anak membawa obor keliling desa, karena semua lebih sibuk membawa ponsel dan mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum” lewat status WhatsApp.
Kompetisi beduk? Sudah tergantikan dengan speaker masjid yang volumenya bisa bikin kaca rumah bergetar. Saya jadi rindu suasana dulu, saat takbiran masih lebih banyak diisi suara manusia daripada suara rekaman.
Baju baru, makanan berlimpah, dan THR yang berubah nasibnya

Hari Raya Idul Fitri tiba. Bangun pagi, mandi lebih bersih dari biasanya, lalu mengenakan baju baru yang sudah dibeli seminggu sebelumnya. Baju baru ini begitu sakral bagi anak-anak kampung, karena inilah hari di mana kami merasa seperti model iklan sabun cuci, berjalan dengan penuh percaya diri keliling desa.
Setelah salat Id di lapangan yang dikelilingi sawah, kami pulang untuk sungkem ke orang tua dan kakek-nenek. Ini momen paling khidmat—sebentar.
Setelah itu, giliran berburu THR dimulai!
Saya dan sepupu-sepupu sudah siap dengan strategi terbaik: tersenyum manis, pura-pura malu-malu, lalu menyodorkan tangan ke para paman dan bibi yang lebih tua. Hasilnya? Lumayan! Uang kertas baru bertumpuk di tangan, bau khasnya lebih harum dari ketupat opor yang tersaji di meja.
Tapi sekarang? Situasinya berbalik! Dulu saya yang berdiri dengan tangan terbuka, sekarang justru saya yang harus siap dengan amplop berisi uang untuk para keponakan. Rasanya luar biasa melihat wajah mereka berbinar menerima THR, tapi jujur, dompet saya menangis diam-diam di dalam saku. Dulu saya tidak pernah berpikir bagaimana rasanya jadi paman atau bibi yang harus membagikan uang, sekarang saya paham mengapa mereka dulu hanya tersenyum sambil berkata, “Jangan dihabiskan buat beli petasan ya!”
Dulu tatap muka, sekarang tatap layar

Selain THR, hal lain yang sangat saya rindukan dari lebaran di desa adalah keakraban yang terasa lebih hangat. Dulu, setiap rumah yang kami datangi terasa penuh dengan suara tawa dan obrolan seru. Semua orang saling bertukar cerita, saling ejek, dan tentu saja, saling berebut makanan. Tidak ada yang sibuk dengan gadget, karena satu-satunya teknologi canggih yang kami punya saat itu adalah televisi tabung yang hanya menayangkan siaran ulang film Warkop DKI dan Rhoma Irama.
Sekarang, suasana berbeda. Di setiap rumah yang saya kunjungi, banyak yang sibuk menunduk memainkan ponsel. Anak-anak tidak lagi berlarian ke sana kemari, mereka duduk di sudut ruangan dengan headset di telinga. Bahkan momen makan bersama pun diiringi suara notifikasi dari berbagai media sosial.
Saya jadi rindu masa kecil, di mana satu-satunya “notifikasi” yang saya dengar saat lebaran adalah suara ibu yang memanggil, “Jangan kelamaan di rumah orang, ayo pulang!”
Lebaran di kampung yang kian berubah

Perubahan memang tidak bisa dihindari. Desa yang dulu hijau kini lebih banyak beton. Sawah yang dulu luas kini sudah berganti dengan deretan rumah-rumah baru. Suasana lebaran pun ikut berubah—lebih modern, tetapi juga kehilangan banyak kehangatan yang dulu saya rasakan.
Meskipun begitu, satu hal yang tidak berubah: lebaran tetap menjadi momen istimewa. Meskipun takbiran tidak lagi seheboh dulu, meskipun saya tidak lagi jadi penerima THR, dan meskipun gadget sudah mengambil alih sebagian interaksi, makna lebaran tetap sama. Ini adalah hari untuk merayakan kemenangan, memaafkan, dan tentu saja, menikmati ketupat dan opor dalam porsi yang tidak wajar.
Namun, sesekali, saya tetap berharap bisa kembali ke masa kecil, meskipun hanya sehari. Masa di mana lebaran adalah tentang obor yang menyala, suara beduk yang menggelegar, uang THR yang mengalir deras, dan interaksi yang terasa lebih nyata tanpa gangguan layar ponsel. Ah, lebaran di desa, kau selalu kurindukan!