JPPI: Satgas Antikekerasan Kampus Hanya Seremonial dan Tak Efektif

- Tak ada political will dari elit kampusMenurut JPPI, minimnya kemauan politik dari pimpinan kampus dan ketakutan untuk membuka aib institusi menjadi penyebab utama lambatnya pembentukan Satgas PPKPT.
- Satgas dinilai tak efektif, pengawasan pemerintah lemahJPPI mengkritik lemahnya pengawasan Kemendikbudristek terhadap pelaksanaan Satgas di lapangan. Indikator efektivitas Satgas bukan diukur dari sedikitnya laporan kekerasan, melainkan dari peningkatan laporan yang diikuti dengan sanksi tegas dan transparan terhadap pelaku.
- Butuh partisipasi mahasiswa dan anggota independenKeberhasilan Satgas PPKPT bergantung pada ke
Tangerang, IDN Times – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai banyak perguruan tinggi di Indonesia gagal menjalankan amanat pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) secara serius. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut sebagian besar kampus justru membentuk Satgas secara reaktif dan seremonial tanpa kesungguhan dalam penegakan aturan.
“Sebagian besar kampus terlambat. Jika pun membentuk Satgas, sifatnya hanya reaktif dan seremonial. Kultur kekerasan, terutama senioritas dan patriarki, masih mendominasi dan bahkan dipertahankan oleh beberapa pimpinan kampus,” kata Ubaid, Minggu (26/10/2025).
1. Tak ada political will dari elit kampus

Menurutnya, minimnya kemauan politik (political will) dari pimpinan kampus dan ketakutan untuk membuka aib institusi menjadi penyebab utama lambatnya pembentukan Satgas PPKPT. Ia menilai banyak perguruan tinggi masih berupaya menjaga citra lembaga, alih-alih melindungi korban kekerasan.
“Kampus belum bentuk Satgas PPKPT karena takut membuka aibnya sendiri. Padahal transparansi dan keberanian menghadapi masalah adalah bagian dari tanggung jawab moral kampus,” tegasnya.
2. Satgas dinilai tak efektif, pengawasan pemerintah lemah

Ubaid juga mengkritik lemahnya pengawasan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terhadap pelaksanaan Satgas di lapangan. Ia menyebut kementerian hanya memeriksa dokumen administratif tanpa menilai efektivitas kinerja Satgas.
“Kemendikti hanya mengecek legalitas, bukan efektivitas. Tidak ada sanksi bagi rektor yang melindungi pelaku atau menutupi kasus, dan tidak ada hukuman bagi Satgas yang sudah terbentuk tapi tidak berfungsi,” ujarnya.
Menurut JPPI, indikator efektivitas Satgas bukan diukur dari sedikitnya laporan kekerasan, melainkan dari peningkatan laporan yang diikuti dengan sanksi tegas dan transparan terhadap pelaku.
“Kalau Satgas sudah ada tapi laporan nihil, itu bukan tanda kampus aman, tapi tanda Satgas mandul dan sengaja meredam suara korban,” tegas Ubaid.
3. Butuh partisipasi mahasiswa dan anggota independen

Ubaid menekankan bahwa keberhasilan Satgas PPKPT bergantung pada kepercayaan publik kampus dan partisipasi aktif mahasiswa. Tanpa kontrol sosial dari mahasiswa dan civitas akademika, Satgas hanya akan menjadi formalitas belaka.
“Keterlibatan mahasiswa dan masyarakat kampus mutlak diperlukan. Keberhasilan PPKPT bukan diukur dari SK Satgas, tapi dari kepercayaan publik terhadap kinerjanya,” katanya.
JPPI juga mendesak pemerintah untuk menjatuhkan sanksi administratif berat kepada rektor yang pasif serta mewajibkan adanya anggaran khusus Satgas. Ia menegaskan bahwa keanggotaan Satgas perlu menyertakan unsur independen dari luar kampus agar kerja pengawasan berjalan objektif.
“Jika kekerasan diabaikan, kampus akan menjadi lingkungan toksik yang menghancurkan korban secara mental dan akademik. Itu artinya pendidikan kita sedang gagal mencetak SDM berintegritas,” pungkas Ubaid.


















