Jurnalis Tangerang Gelar Aksi Tolak RUU Penyiaran

Tangerang, IDN Times - Puluhan jurnalis di Tangerang menggelar aksi untuk menolak rencana undang-undang (RUU) Penyiaran Tahun 2002 yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senin (27/5/2024) di depan Gedung DPRD Kota Tangerang.
"Hari ini aksi dilakukan gabungan dari aliansi jurnalis di Tangerang Raya dan mahasiswa di Tangerang Raya untuk menghentikan RUU Penyiaran disahkan," kata Hendrik Simorangkir, Perwakilan Jurnalis Tangerang.
1. Aksi diwarnai dengan teatrikal
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, salah satu jurnalis melakukan aksi teatrikal dengan meneteskan lilin ke tubuhnya sebagai gambaran diberangusnya kebebasan pers di Indonesia dengan dilakukannya RUU Penyiaran.
Pemeran aksi ini juga diikat tali di leher dan digiring untuk menggambarkan ingin diikatnya kebebasan pers sesuai dengan keinginan penguasa. "Aksi teatrikal ini dilakukan sebagai lambang bahwa kebebasan pers sedang dibungkam," jelasnya.
2. Ada tiga poin yang disampaikan
Dalam aksi tersebut, ada tiga poin yang disampaikan terkait RUU Penyiaran, yakni menuntut DPR RI untuk menghentikan RUU Penyiaran, kedua DPR harus melibatkan pers dalam hal RUU Penyiaran.
"Karena kami adalah garda terdepan untuk masyarakat, lalu yang ketiga adalah menuntut Ketua DPRD harus menandatangani integritas bersama kita untuk pembahasan RUU penyiaran untuk menolak ini," tuturnya.
3. Beberapa pasal yang dianggap membungkam kebebasan pers
Adapun, beberapa pasal yang dianggap membungkam kebebasan pers yakni:
a. Pasal 8A huruf (q)
Dalam Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
"Ini bertentangan dewan UU Pers pasal 15 ayat 2 huruf D yakni salah satu Dewan Pers ialah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya sengketa pers haruslah diselesaikan di Dewan Pers," kata Hendrik.
b. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)
Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
"Pasal ini bertentangan dengan UU Pers pasal 4 ayat 2 yang berbunyi, pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran," jelasnya.
c. Pasal 50B ayat 2 huruf (k)
Di kala banyak pihak meminta agar "Pasal Karet" dalam UU ITE diubah karena banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik, draf revisi UU Penyiaran justru memuat aturan serupa. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (k), dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.
"Ini bisa berakibat hilangnya lapangan kerja bagi para pekerja kreatif seperti konten kreator atau penggiat media sosial," ungkapnya.
d. Pasal 51 huruf E
Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan usai sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI.
"Ini juga bertentangan dengan UU Pers, sehingga kami meminta RUU ini dihentikan," tegasnya.